SUARA UTAMA – Sumber daya air seharusnya menjadi hak bersama: milik publik, terjaga, dan dikelola dengan transparan serta berkelanjutan. Namun, polemik yang kini mengemuka terkait sumber air merek Aqua (Danone-Aqua) menyadarkan kita bahwa kenyataan bisa jauh dari citra komersial. Saat ini, publik menuntut jawaban atas satu pertanyaan dasar: dari mana sebenarnya air itu diambil? Apakah benar berasal dari mata air pegunungan yang murni, seperti yang lama dipasarkan? Atau justru berasal dari sumur bor dalam yang konsekuensinya sangat berbeda — baik dari sisi lingkungan maupun etika konsumen?
Asak Mula Polemik ? Video Inspeksi hingga Gelombang Kritik Publik
Isu ini mencuat tajam setelah insiden inspeksi oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ke salah satu pabrik Aqua di Subang. Dalam video yang viral, ditemukan bahwa beberapa sumber air perusahaan berasal dari sumur bor dalam — bukan aliran mata air permukaan seperti imaji “pegunungan” yang sering ditampilkan di iklan. (suara.com)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Video ini memantik kemarahan publik dan mendorong lembaga negara untuk bertindak. DPR pun mempertimbangkan untuk memanggil pimpinan Danone Indonesia agar memberi klarifikasi atas tuduhan penggunaan sumur bor yang mungkin menyesatkan konsumen. (suara.com)
Klarifikasi Danone-Aqua: “Sumur Bor Tapi Tetap dari Pergunungan”
Menanggapi gelombang kritik, Danone-Aqua merilis pernyataan resmi. Mereka menegaskan bahwa meskipun pengeboran dilakukan, sumbernya tetap dari akuifer dalam di wilayah pegunungan — lapisan batuan yang terlindungi secara alami dan tidak bersentuhan langsung dengan air tanah dangkal yang digunakan masyarakat. (IDN Times)
Menurut Danone, proses seleksi titik sumber sangat ketat: terdapat 19 sumber pegunungan di berbagai wilayah, dan setiap titik dipilih melalui kriteria ilmiah (9 kriteria) dan tahapan evaluasi selama minimal satu tahun. (Aqua) Mereka juga mengutip studi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Padjadjaran (Unpad) yang memperkuat klaim bahwa akuifer yang digunakan tidak bersinggungan dengan air masyarakat umum. (Aqua)
Lebih jauh, Vera Galuh Sugijanto (VP General Secretary Danone Indonesia) menjelaskan di hadapan DPR bahwa pengeboran bukanlah bentuk manipulasi, melainkan cara teknis untuk mencapai akuifer yang terlindungi:
“Pengeboran … adalah cara yang harus dilakukan untuk bisa mendapatkan air dari sumber tanah dalam … akuifer … terlindungi … sehingga tidak ada risiko terkontaminasi … sehingga sumber airnya adalah air pegunungan, sesuai dengan hidrogeologi tersebut.” (detikfinance)
Tuntutan Konsumen dan Lembaga : Transparansi dan Perlindungan Hak Publik
Di sisi lain, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyatakan telah memanggil Danone mengenai polemik ini. (Antara News) Ketua BPKN, Mufti Mubarok, mengatakan bahwa penjelasan perusahaan sudah diterima, yaitu bahwa memang ada pengeboran, tapi mereka menekankan bahwa air tersebut berasal dari pegunungan. (Kontan Nasional)
Namun, publik dan konsumen menilai bahwa penjelasan teknis seperti itu belum cukup. Banyak yang merasa narasi pemasaran Aqua (air pegunungan murni) menyesatkan, jika di satu sisi proses pengeboran sangat dominan. DPR dari Fraksi Gerindra, misalnya, menyebut temuan ini sebagai “persoalan serius” dan menuntut tindakan tegas agar konsumen mendapatkan informasi yang jujur. (Hukamanews, Lugas dan Mencerahkan)
YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) pun menyoroti potensi pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen: jika label dan iklan Aqua memberi kesan air langsung dari mata air pegunungan, tetapi kenyataannya adalah pengeboran ke dalam tanah, ini bisa termasuk praktik menyesatkan. (Hukamanews, Lugas dan Mencerahkan)
Pandangan Pakar Hidrogeologi dan Ilmiah
Pakar hidrogeologi dari UGM, Heru Hendrayana, memberi catatan penting: istilah “air pegunungan” sangat kompleks dan tidak selalu berarti air itu diambil dari mata air yang mengalir di permukaan gunung. Ada akuifer dalam di pegunungan yang bisa dieksploitasi melalui pengeboran secara teknis. (www.jpnn.com) Ia menjelaskan bahwa perusahaan besar cenderung memilih sumber dari akuifer dalam karena “kuantitas dan kualitasnya sudah jelas”. (www.jpnn.com)
Namun, meskipun aspek ilmiah bisa dijelaskan, dia menekankan bahwa publik butuh pemahaman: pengeboran bukan berarti air itu “bukan pegunungan” secara hidrogeologi, tetapi persepsi publik terhadap “mata air alami” mungkin perlu dibedah ulang. (www.jpnn.com)
Tanggungjawab Negara: Regulasi dan Evaluasi Izin
Menanggapi tekanan publik, Kementerian ESDM menyatakan akan mengevaluasi izin pengambilan air tanah (sumur bor) yang digunakan Aqua. (Antara News) Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menegaskan bahwa jika dari evaluasi muncul pelanggaran—misalnya izin tak lengkap atau kerusakan lingkungan — maka izin bisa diperbaiki atau bahkan dicabut. (Antara News)
Peraturan yang jadi dasar perizinan ini merujuk kepada Permen ESDM No. 14 Tahun 2024 tentang izin pengusahaan air tanah dan persetujuan air tanah. (Antara News) Selain itu, Yuliot menyatakan, Aqua bukan satu-satunya perusahaan yang menggunakan sumur bor: hingga 17 Oktober 2025, sudah ada ribuan izin air tanah yang dikeluarkan untuk berbagai perusahaan AMDK (air minum dalam kemasan). (ANTARA News)
Isu Etika, Komunikasi, dan Kepercayaan Publik
Di balik semua penjelasan teknis, ada dimensi komunikasi dan etika yang mendalam. Seorang dosen komunikasi dan praktisi Humas, Rachman Salihul Hadi, menulis bahwa iklan Aqua telah lama membangun citra “mata air pegunungan murni” dalam imajinasi konsumen — imaji yang kini retak di hadapan fakta pengeboran. (indonesiamediacenter.com)
Menurut Hadi, masalahnya bukan hanya apakah air itu berkualitas, melainkan apakah konsumen mendapatkan gambaran jujur atas asal-usul air yang mereka konsumsi. Jika narasi iklan dibiarkan tanpa konteks “akuifer dalam” dan pengeboran, maka perusahaan bisa dinilai “mengkotbahkan kenangan, bukan realitas”. (indonesiamediacenter.com)
Potensi Dampak Lingkungan dan Sosial
Mengebor hingga kedalaman 60–140meter ke akuifer memang bisa menjamin kemurnian air, tetapi bukan berarti tanpa risiko. Jika tidak dikelola secara hati-hati, ekstraksi dari lapisan dalam bisa berdampak pada muka air lokal, ekosistem, dan persediaan air bagi masyarakat sekitar.
Meskipun Danone-Aqua menyatakan bahwa pengeboran dilakukan dengan studi hidrogeologi yang komprehensif — termasuk studi isotop untuk memastikan asal air — publik tetap punya hak untuk menuntut audit independen. Proses pengambilan air dalam skala besar perlu diawasi secara jangka panjang agar tidak merusak sumber air masyarakat atau mengubah keseimbangan alam.
Rekomendasi Kebijakan dan Kesimpulan
Berdasarkan polemik ini, berikut beberapa rekomendasi kebijakan yang layak diperjuangkan:
- Audit Terbuka Sumber dan Izin: Pemerintah harus mendorong audit publik terhadap titik sumber Aqua: peta lokasi sumur bor, kedalaman bor, volume yang ditarik, serta status izin. Audit ini sebaiknya dilakukan oleh lembaga independen (universitas, LSM) agar tidak ada konflik kepentingan.
- Pemantauan Hidrologi Jangka Panjang: Pantauan muka air tanah, level akuifer, dan dampak ekstraksi harus dilakukan secara berkala. Data ini harus transparan dan bisa diakses publik sehingga masyarakat lokal bisa memantau apakah pengambilan air oleh perusahaan berdampak buruk.
- Penguatan Perlindungan Konsumen: Badan seperti BPKN dan YLKI harus memastikan bahwa label dan iklan merefleksikan realitas hidrogeologi: jika menggunakan akuifer dalam lewat pengeboran, konsumen harus diberi konteks yang jelas. Klaim “mata air pegunungan” tanpa penjelasan tambahan bisa menyesatkan.
- Sosialisasi Ilmiah kepada Publik: Kampanye edukasi diperlukan agar masyarakat memahami istilah hidrogeologi: perbedaan antara mata air permukaan, akuifer dalam, sistem pegunungan, dan proses pengeboran. Dengan pemahaman ilmiah, publik bisa menilai klaim komersial dengan lebih kritis.
- Sanksi Bila Ada Pelanggaran: Jika evaluasi ESDM menemukan izin yang tidak sesuai atau dampak lingkungan negatif, harus ada tindakan tegas: perbaikan izin, kewajiban konservasi, atau bahkan penghentian pengambilan air. Ini penting agar tidak terjadi eksploitasi berkelanjutan tanpa tanggung jawab.
Kesimpulan: Isu sumber air Aqua dari sumur bor dalam bukan sekadar kontroversi citra pemasaran: ini soal hak publik atas informasi, jaminan keberlanjutan lingkungan, dan tanggung jawab negara sebagai regulator.
Meskipun Danone-Aqua memberi klarifikasi teknis bahwa air mereka berasal dari akuifer dalam di wilayah pegunungan, masyarakat berhak menuntut keterbukaan penuh — terutama ketika imaji “mata air murni” telah jadi bagian dari identitas merek. Pemerintah, melalui ESDM dan lembaga terkait, harus menindaklanjuti dengan evaluasi izin, audit lapangan, dan pengawasan jangka panjang. Selanjutnya, perusahaan juga harus memperbaiki komunikasi: transparan bukan hanya soal kualitas produk, tetapi juga soal asal usul dan dampak operasional.
Akhirnya, kita harus menegaskan ulang satu prinsip sederhana: air itu hak bersama, bukan sekadar komoditas untuk dijual. Jika negara dan korporasi memperlakukan sumber daya ini dengan serius, maka polemik seperti ini bisa menjadi titik awal reformasi pengelolaan air yang lebih adil dan berkelanjutan.
Penulis : Tonny Rivani
Sumber Berita : Referensi: 1. Tempo Magazine 2. Mongabay Indonesia 3. Kompas 4. Basuki Rahmat, Dr. (Institut Pertanian Bogor) 5. Prof. Henri Subagyo 6. WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Nur Hidayati (Direktur Eksekutif Nasional WALHI) Siaran Pers WALHI,2024. 7. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Data Lingkungan Hidup 2018–2023. • Kementerian ESDM,Jurnal Hidrologi Indonesia, Artikel akademik mengenai dampak pengambilan air tanah dan mata air besar secara industri.Volume 8–12, 2016–2023. 11. Media Daerah (Jawa Barat, Jawa Timur, Bali)














