Langkah Bayangan Halus Gubernur Dedi Mulyadi Intervensi Kewenangan Bupati/Walikota Jawa Barat?

- Penulis

Sabtu, 1 November 2025 - 18:34 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi Gambar dari jabarprov.go.id/selayang-pandang 2025. (tonny Rivani/SUARA UTAMA)

Ilustrasi Gambar dari jabarprov.go.id/selayang-pandang 2025. (tonny Rivani/SUARA UTAMA)

SUARA UTAMA – Langkah “halus” Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dalam mengintervensi kewenangan bupati dan wali kota diduga dilakukan melalui mekanisme pengawasan, penegakan aturan, dan penguatan administrasi di tingkat provinsi.

Intervensi ini tidak muncul dalam bentuk perintah langsung atau keputusan politik terbuka, melainkan melalui jalur birokrasi yang legal secara hukum. Pendekatan seperti ini membuat kewenangan kepala daerah tetap terlihat berjalan, tetapi ruang gerak mereka secara perlahan menjadi terbatas.

Secara hukum, tindakan Gubernur ini memiliki dasar yang kuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menegaskan bahwa gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah dan memiliki wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah kabupaten/kota.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Langkah Bayangan Halus Gubernur Dedi Mulyadi Intervensi Kewenangan Bupati/Walikota Jawa Barat? Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pasal 91 hingga 93 menjelaskan bahwa gubernur berhak menilai, mengevaluasi, serta mengoreksi kebijakan daerah jika dianggap tidak sejalan dengan aturan provinsi atau nasional.

Selain itu, dalam pasal 266 hingga 269 ditegaskan bahwa seluruh perencanaan pembangunan daerah wajib diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) provinsi dan nasional. Inilah celah hukum yang digunakan untuk mengontrol kebijakan di tingkat kabupaten/kota.

Namun, pertanyaannya kemudian bergeser dari legalitas ke substansi demokrasi. Apakah pengawasan ini murni pembinaan, atau sesungguhnya bentuk baru sentralisasi kekuasaan? Di lapangan, pola intervensi yang dilakukan tidak bersifat eksplisit.

Gubernur memperkuat peran Inspektorat Provinsi untuk lebih intens melakukan audit dan evaluasi terhadap kebijakan kabupaten/kota. Banyak kepala daerah akhirnya merasa harus menyesuaikan semua programnya agar tidak bertentangan dengan rencana provinsi.

Selain itu, pengendalian terhadap perizinan tambang, tata ruang, dan investasi besar semakin dipusatkan di pemerintah provinsi, sehingga bupati atau wali kota tidak memiliki ruang menentukan arah pembangunan tanpa “izin” dari atas. Arahan juga sering diberikan melalui forum rapat koordinasi, musyawarah Forkopimda, atau komunikasi informal, bukan melalui surat resmi. Dengan cara ini, gubernur tidak tampak mendikte, tetapi tetap mengendalikan.

Sejumlah pakar pemerintahan daerah menilai langkah ini sebagai fenomena yang perlu dikritisi. Prof. Djohermansyah Djohan, pakar otonomi daerah dari IPDN, menyebut bahwa gubernur memang berhak mengawasi, tetapi tidak seharusnya menggantikan kewenangan teknis kabupaten/kota. Jika pengawasan berubah menjadi instruksi, hal ini bertentangan dengan semangat desentralisasi.

BACA JUGA :  Ada Opini dan pertanyaan di Kecamatan Sandai Kabupaten ketapang Prov. Kalbar

Sementara itu, Prof. Ryaas Rasyid menilai bahwa langkah semacam ini merupakan reinkarnasi dari gaya sentralistik ala Orde Baru: kekuasaan dikendalikan dari atas, tetapi dibungkus rapi dengan istilah pembinaan. Pakar lainnya, Dr. Luthfi J. Kurniawan, mendefinisikan pola seperti ini sebagai “otoritarianisme halus tingkat lokal”—birokrasi bekerja dengan wajah demokrasi, tetapi substansinya tetap mengontrol.

Pandangan media nasional juga tidak jauh berbeda. Harian Kompas memandang bahwa pengawasan provinsi memang diperlukan agar kebijakan daerah tidak simpang siur dan anggaran tidak disalahgunakan. Namun media ini mengingatkan bahwa pembinaan tidak boleh berubah menjadi dominasi kekuasaan.

Tempo menilai strategi ini sebagai cara baru menundukkan kepala daerah—menggunakan hukum dan regulasi untuk melemahkan otonomi tanpa perlu konflik terbuka. Sementara itu.

CNN Indonesia dan Republika mengangkat suara beberapa kepala daerah yang merasa takut mengambil keputusan sendiri karena khawatir tidak mendapatkan restu provinsi. Akibatnya, muncul budaya “asal aman” atau “asal gubernur senang”.

Dengan demikian, Langkah halus yang diambil Gubernur Jawa Barat berada di wilayah abu-abu: secara hukum sah karena sesuai dengan UU Otonomi Daerah, namun secara demokratis menimbulkan pertanyaan serius. Di satu sisi, pengawasan provinsi dapat menciptakan keteraturan, keselarasan pembangunan, serta mencegah penyimpangan anggaran. Tetapi di sisi lain, jika dilakukan berlebihan, hal ini justru menggerus makna otonomi daerah, membuat kepala daerah seperti operator kebijakan provinsi, bukan pemimpin mandiri yang dipilih rakyat.

Kesimpulannya,

  • Langkah Dedi Mulyadi tergolong “intervensi administratif”, bukan politik langsung.
  • Legal di atas kertas, karena merujuk pada pasal pengawasan dalam UU 23/2014.
  • Namun bisa mengikis demokrasi lokal, jika dijalankan secara dominatif dan menimbulkan ketakutan di tingkat bupati/wali kota.
  • Diskursus ini bukan soal hukum semata, tetapi juga etika kekuasaan dan masa depan otonomi daerah.

Jadi apa yang dilakukan merupakan bentuk intervensi administratif yang elegan dan sulit digugat secara hukum, tetapi tetap memancing perdebatan etika kekuasaan. Pertanyaan akhirnya adalah: apakah ini cara efektif mempercepat pembangunan, atau strategi halus menciptakan sentralisasi kekuasaan baru di era otonomi daerah?

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 14 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Berita Terbaru

Foto bersama usai kegiatan meeting perdana Pengurus DMI TTS di Masjid Agung Al Ikhlas Soe (Muhazir Syukur/SUARA UTAMA)

Berita Utama

Perkuat Struktur Organisasi, DMI TTS Gelar Meeting Perdana

Minggu, 7 Des 2025 - 21:00 WIB

Foto bersama kegiatan Pesantren Kilat yang dilaksanakan oleh Cahaya Hijrah di depan Masjid Arrahman Batuputih saat kegiatan Sanlat Ramadhan lalu (Muhazir Syukur/SUARA UTAMA)

Berita Utama

Cahaya Hijrah Launching Sanlat Akhir Tahun di Batuputih

Minggu, 7 Des 2025 - 15:56 WIB