Tuntutan UU Perampasan Aset Koruptor: Harapan Tegaknya Hukum, Ancaman bagi Demokrasi?

- Penulis

Kamis, 4 September 2025 - 16:10 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar Ilustrasi Simbol Pembela Keadilan (Pixabay)

Gambar Ilustrasi Simbol Pembela Keadilan (Pixabay)

SUARA UTAMA – euforianya tuntutan rakyat yang disuarakan dari berbagai kalangan masyarakat sejak periode Presiden Jokowi sebelumnya sampai saat ini, Apabila Disahkannya Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor menjadi momentum penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Selama bertahun-tahun, publik geram melihat para koruptor tetap bisa menikmati hasil kejahatannya, meski telah divonis penjara. Dengan lahirnya UU ini, harapan besar menguat bahwa negara akhirnya memiliki instrumen ampuh untuk menutup celah itu. Namun di sisi lain, tak sedikit kalangan mengingatkan adanya potensi ancaman penyalahgunaan yang dapat merusak prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Harapan: Tegaknya Hukum dan Efek Jera

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar (Hukumonline, 2024) menilai UU Perampasan Aset adalah langkah progresif untuk memastikan negara bisa “mengambil alih paksa aset koruptor di luar proses pengadilan yang panjang.” Prinsip follow the money kini bisa berjalan lebih efektif: mengejar harta haram, bukan sekadar menghukum orangnya.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Tuntutan UU Perampasan Aset Koruptor: Harapan Tegaknya Hukum, Ancaman bagi Demokrasi? Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Presiden Joko Widodo (Setkab, 2024) pun menegaskan pentingnya regulasi ini untuk mengembalikan kerugian negara sekaligus memberikan efek jera. Dengan adanya mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF), perampasan aset tidak lagi menunggu putusan pengadilan tetap, sehingga negara tidak lagi dirugikan oleh proses hukum yang berlarut-larut.

Ketua KPK Setyo Budiyanto (Hukumonline, 2025) menambahkan, UU ini memungkinkan penyitaan lebih cepat, terutama pada kasus besar seperti korupsi berjamaah atau pencucian uang, yang selama ini sulit ditangani. Dengan demikian, harta hasil korupsi benar-benar dapat kembali ke rakyat.

Ancaman: Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan

Namun, semangat itu bukan tanpa risiko. Bob Hasan, Ketua Baleg DPR RI (Parlementaria, 2025), mengingatkan adanya potensi tumpang tindih antara UU Perampasan Aset dengan regulasi lain, khususnya UU TPPU. Kekaburan ini bisa membuka ruang multitafsir dalam implementasi.

Yusril Ihza Mahendra, Menko Polhukam (Indonesia.go.id, 2025), mengingatkan bahwa UU ini harus tetap tunduk pada prinsip due process of law. Tanpa mekanisme pengadilan yang transparan, perampasan aset bisa menjelma menjadi alat represif terhadap lawan politik.

Pandangan serupa disuarakan oleh PPATK melalui Deputi Fithriadi Muslim (Hukumonline, 2025), yang menekankan perlunya instrumen hukum ini dijalankan secara profesional, karena membuktikan keterkaitan aset dengan tindak pidana bukan perkara sederhana. Jika tidak hati-hati, bisa muncul kriminalisasi atau kesewenang-wenangan aparat.

Pandangan Media Nasional, Internasional, dan Ormas Islam

Media nasional seperti Kompas menulis bahwa UU ini adalah “uji komitmen negara dalam menegakkan integritas hukum,” sementara Tempo menyebutnya “pedang bermata dua” yang harus diawasi ketat.

Reuters menyoroti bahwa UU ini penting untuk memperbaiki iklim investasi Indonesia, namun The Diplomat mengingatkan adanya risiko penyalahgunaan seperti di beberapa negara Asia Tenggara, di mana perampasan aset dipakai menekan oposisi.

Dari kalangan ormas Islam, PBNU menekankan bahwa korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah (ghulul) sehingga harta haram wajib dikembalikan kepada rakyat. PP Muhammadiyah menyebut pemberantasan korupsi bagian dari jihad kebangsaan, namun mendesak agar implementasi UU ini dilakukan dengan transparansi penuh. Sementara itu, MUI mengingatkan agar perampasan aset tanpa pengadilan tetap tidak boleh melanggar prinsip keadilan syariah.

Belajar dari Negara Lain

Beberapa negara telah lebih dulu menerapkan UU Perampasan Aset, dengan hasil yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia:

  1. Italia
  • Menerapkan Non-Conviction Based Asset Forfeiture sejak era 1980-an untuk melawan mafia.
  • Hasilnya, banyak aset mafia yang berhasil dirampas dan dialihkan untuk kepentingan publik, misalnya menjadi fasilitas sosial.
  • Namun, sejumlah kasus menunjukkan penyalahgunaan oleh aparat lokal yang menggunakan mekanisme ini untuk membungkam oposisi politik.                                                                                                                                  2.Amerika Serikat
  • Dikenal dengan praktik civil asset forfeiture, di mana aparat dapat menyita aset meskipun pemiliknya tidak terbukti bersalah di pengadilan.
  • Meski efektif memberantas narkotika dan kejahatan terorganisir, praktik ini menuai kritik keras karena kerap disalahgunakan oleh kepolisian untuk keuntungan anggaran daerah.                                                                               3. Filipina
  • Pasca jatuhnya Ferdinand Marcos, pemerintah menggunakan instrumen perampasan aset untuk mengembalikan miliaran dolar hasil korupsi keluarga Marcos.
  • Walau sebagian besar berhasil, proses panjang di pengadilan internasional memperlihatkan tantangan besar dalam membuktikan keterkaitan aset dengan tindak pidana.                                                                                           4. Nigeria
  • Menggunakan perampasan aset untuk mengembalikan dana hasil korupsi diktator Sani Abacha, yang disembunyikan di bank-bank Eropa.
  • Berhasil mengembalikan lebih dari USD 1 miliar, tetapi sebagian dana yang dipulangkan kembali dikorupsi karena lemahnya mekanisme pengawasan.                                                                                                                            5. Inggris
  • Melalui Proceeds of Crime Act 2002 (POCA), Inggris menerapkan mekanisme perampasan aset baik melalui pengadilan pidana maupun sipil.
  • Mekanisme ini relatif berhasil karena ditopang sistem peradilan yang independen dan transparansi publik, sehingga tingkat penyalahgunaannya rendah.
BACA JUGA :  Menakjubkan! Kisah Seorang Guru dengan Siswa yang Cerdik dan Bijak

Jalan Tengah: Pengawasan Publik dan Transparansi

Agar UU ini benar-benar menjadi instrumen keadilan, bukan alat kekuasaan, beberapa prasyarat mutlak harus dipenuhi:

  1. Transparansi prosedur: setiap proses penyitaan dan perampasan aset harus bisa diakses publik.
  2. Independensi peradilan: hakim harus bebas dari tekanan politik maupun kepentingan kelompok.
  3. Pengawasan publik: media, masyarakat sipil, dan ormas keagamaan perlu dilibatkan.
  4. Akuntabilitas lembaga penegak hukum: KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan harus terbuka terhadap evaluasi publik.

Penutup, UU Perampasan Aset Koruptor adalah simbol harapan baru bagi bangsa Indonesia untuk menegakkan hukum dan mengakhiri budaya impunitas koruptor. Namun, pengalaman negara lain membuktikan bahwa UU semacam ini bisa berhasil memberantas korupsi, tetapi juga bisa menjadi alat penyalahgunaan jika tanpa pengawasan.

Indonesia harus mengambil pelajaran: keberhasilan bukan hanya pada keberanian merampas aset koruptor, tetapi juga pada keberanian memastikan prosesnya adil, transparan, dan akuntabel. Hanya dengan itu, UU ini dapat mewujudkan keadilan tanpa meruntuhkan demokrasi.

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 21 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Berita Terbaru