SUARA UTAMA – Keputusan partai politik menonaktifkan seorang anggota DPR RI selalu memunculkan perdebatan publik. Di satu sisi, langkah tersebut dipandang sebagai mekanisme internal partai untuk menjaga marwah dan disiplin organisasi. Di sisi lain, hal itu menimbulkan pertanyaan lebih besar: sejauh mana etika politik dan tanggung jawab moral harus menjadi landasan dalam setiap keputusan yang menyangkut wakil rakyat?
Kasus Lima Legislator yang Dinonaktifkan
Pada awal September 2025, publik dikejutkan dengan keputusan beberapa partai politik yang menonaktifkan lima anggotanya di DPR RI. Mereka adalah:
- Ahmad Sahroni (Fraksi Partai NasDem)
- Nafa Urbach (Fraksi Partai NasDem)
- Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) (Fraksi PAN)
- Surya Utama (Uya Kuya) (Fraksi PAN)
- Adies Kadir (Fraksi Partai Golkar)
Kelima legislator ini dinonaktifkan menyusul pernyataan dan tindakan mereka yang dianggap melukai perasaan publik serta memicu gelombang unjuk rasa. Keputusan itu berlaku mulai 1 September 2025 dan diumumkan resmi oleh masing-masing partai.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski demikian, pengamat hukum dan tata negara menegaskan bahwa istilah nonaktif tidak dikenal dalam Undang-Undang MD3. Artinya, para legislator tersebut tetap sah sebagai anggota DPR RI, masih menerima gaji, tunjangan, serta fasilitas negara. Di sinilah letak paradoks etika politik: partai ingin menunjukkan ketegasan, namun secara hukum, penonaktifan tidak serta-merta mencabut kedudukan mereka sebagai wakil rakyat.
penonaktifan diumumkan oleh masing-masing partai dan mulai berlaku sejak 1 September 2025 beritasatu.com– Kompas.tv– Monitor Indonesia– detiknews+1Wikipedia.
Partai sebagai Rumah Etika Politik
Partai politik tidak hanya berfungsi sebagai mesin elektoral, tetapi juga sebagai institusi pendidikan politik. Menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia, Dr. Ari Dwipayana, penonaktifan anggota DPR oleh partai harus dilihat bukan semata sebagai bentuk hukuman, melainkan sebagai penegasan bahwa partai memiliki standar etika yang harus dijaga. “Legislator adalah wajah partai di parlemen. Setiap pelanggaran etik yang dilakukan anggota, secara otomatis mencoreng nama besar partai. Karena itu, partai harus tegas,” ujarnya dalam wawancara dengan Kompas.
DPR dan Beban Moral Perwakilan Rakyat
Namun, persoalan menjadi lebih kompleks karena anggota DPR RI bukan hanya kader partai, tetapi juga wakil rakyat yang dipilih langsung melalui pemilu. Media nasional seperti Tempo menyoroti dilema tersebut: apakah langkah partai menonaktifkan kader otomatis mengurangi legitimasi perwakilan rakyat? Dalam editorialnya, Tempo menulis, “Parpol perlu transparan dan proporsional. Jangan sampai penonaktifan hanya menjadi alat politik internal yang mengabaikan hak rakyat atas wakilnya.”
Etika, Integritas, dan Tanggung Jawab Publik
Tokoh senior partai sekaligus mantan Ketua MPR, Amien Rais, menegaskan bahwa persoalan etika dalam politik tidak bisa dinegosiasikan. Ia berpendapat, “Ketika seorang anggota DPR melakukan tindakan yang mencederai integritas, maka ia telah melanggar kontrak moral dengan rakyat. Partai punya kewajiban menjaga integritas itu.” Pernyataan senada juga datang dari akademisi Universitas Gadjah Mada, Prof. Sutoro Eko, yang menilai penonaktifan harus dipandang sebagai upaya mengembalikan kepercayaan publik.
Prediksi dan Dampak terhadap Politik Nasional
Media internasional seperti The Diplomat menyoroti tren serupa di banyak negara berkembang, di mana partai semakin ketat menegakkan disiplin terhadap kader legislatif. Namun, tanpa disertai transparansi, langkah itu rentan dituding sebagai manuver politik. Jika fenomena ini terus terjadi, publik berpotensi kehilangan kepercayaan bukan hanya pada individu anggota DPR, tetapi juga pada partai sebagai institusi demokrasi.
Menurut analis politik dari CSIS, Arya Fernandes, efek jangka panjangnya bisa berdampak pada pergeseran perilaku pemilih. “Masyarakat akan lebih kritis dalam menentukan pilihan pada pemilu berikutnya. Mereka akan menilai, apakah partai konsisten dalam menegakkan etika atau justru selektif demi kepentingan politik.”
Penutup: Momentum Etika Politik
Penonaktifan anggota DPR RI oleh partai politik hendaknya tidak dilihat semata sebagai sanksi internal, melainkan sebagai momentum untuk meneguhkan kembali etika politik. Demokrasi tidak hanya ditopang oleh aturan formal, tetapi juga oleh standar moral yang dijaga secara konsisten.
Jika partai mampu menjadikan etika sebagai fondasi, maka setiap keputusan, termasuk menonaktifkan kader, akan dipandang publik sebagai langkah berani demi menjaga kehormatan politik nasional. Sebaliknya, jika keputusan hanya dilandasi pertarungan internal, maka yang lahir hanyalah kekecewaan dan apatisme rakyat.














