SUARA UTAMA – Kehadiran Peter Berkowitz, akademisi Amerika yang dikenal memiliki pandangan pro-Zionis, dalam forum resmi Akademi Kepemimpinan Nasional NU pada tanggal 15/8/2025 yang digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memantik kontroversi luas. Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), mengaku tidak mengetahui latar belakang ideologis undangan tersebut. Namun, bagi publik dan sejumlah kalangan, peristiwa ini dianggap sebagai blunder diplomasi yang berulang, sekaligus menimbulkan pertanyaan serius tentang arah kebijakan luar negeri kultural PBNU.
Kontroversi Kehadiran Tokoh Pro-Zionis
Forum internasional yang diinisiasi PBNU sejatinya dimaksudkan sebagai ruang diskusi membahas Hukum dan HAM. Namun, kehadiran Berkowitz berstatus Profesor itu justru memunculkan kritik keras, mengingat posisinya yang kerap membela kebijakan Israel atas Palestina.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Editorial Harian Nasional menyebut undangan ini sebagai “kelalaian fatal yang menggores solidaritas umat.” Sementara itu, Republika menilai langkah ini mencederai sensitivitas mayoritas umat Islam Indonesia yang sejak lama konsisten membela Palestina.
Pakar hubungan internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, menilai kasus ini sebagai cerminan lemahnya verifikasi politik dalam diplomasi kultural NU.
“Tokoh seperti Berkowitz punya rekam jejak ideologi yang mudah dilacak. Tidak mungkin PBNU tidak punya instrumen untuk menyaring. Jika klaim ‘tak tahu’ benar, maka ini menunjukkan governance yang lemah,” tegasnya.
Analis politik dari CSIS, Arya Fernandes, menambahkan bahwa kesalahan ini bisa dimanfaatkan oleh kelompok anti-NU untuk mendeligitimasi posisi PBNU di tengah umat.
“Ini bukan sekadar urusan internal NU, tapi juga menyangkut citra bangsa Indonesia di dunia Islam,” jelasnya.
Respons keras datang dari sejumlah ormas Islam. Ketua PP Muhammadiyah bidang hubungan internasional menyatakan keprihatinannya.
“Kehadiran tokoh pro-Zionis di forum ormas Islam terbesar di Indonesia adalah tamparan moral. Palestina adalah isu bersama umat, bukan isu eksklusif,” ungkapnya.
Sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan:
“PBNU seharusnya lebih berhati-hati. Kehadiran Berkowitz memberi kesan normalisasi terhadap Zionisme yang jelas-jelas bertentangan dengan politik luar negeri Indonesia dan prinsip kemanusiaan.”
Dr. Najib Burhani, peneliti LIPI, menyebut langkah PBNU ini berpotensi merusak legitimasi moral NU:
“NU adalah ormas Islam terbesar di dunia. Jika salah melangkah, resonansinya bukan hanya domestik, tapi juga internasional. Indonesia dikenal sebagai champion isu Palestina. Jangan sampai posisi itu tercederai.”
Media Nasional dan Persepsi Publik
Media arus utama menyoroti insiden ini dengan berbagai nada. Kompas menulis bahwa blunder ini menimbulkan dilema antara visi PBNU yang ingin terbuka pada dialog internasional dengan sensitivitas umat terkait Palestina. Tempo bahkan menyebutnya sebagai “cedera diplomasi kultural” yang melemahkan posisi moral Indonesia di forum global.
Timeline Blunder Serupa PBNU
Peristiwa undangan Peter Berkowitz ini bukan kali pertama PBNU tersandung kontroversi. Ada beberapa catatan blunder diplomasi sebelumnya:
- 2018 – Gus Yahya Bertemu PM Israel Netanyahu di Yerusalem
Pertemuan pribadi Gus Yahya dengan Netanyahu memicu kritik luas. Banyak pihak menilai langkah itu kontraproduktif dengan sikap resmi Indonesia yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. - 2022 –Polemik Undangan Tokoh Hindu Nasionalis India
Kehadiran tokoh Hindu India yang diketahui dekat dengan rezim BJP (Bharatiya Janata Party) memicu pertanyaan, mengingat rekam jejak diskriminatif partai tersebut terhadap minoritas Muslim di India. - 2024 – Lima Tokoh Nahdliyin Muda ke Israel, Sejumlah tokoh muda NU melakukan kunjungan ke Israel dan bertemu Presiden Isaac Herzog. Meski disebut sebagai misi dialog, langkah ini dinilai publik sebagai bentuk soft normalization. Kritik keras mengalir karena pertemuan tersebut terjadi di tengah agresi Israel yang semakin brutal terhadap rakyat Palestina.
Rangkaian insiden ini memperkuat kesan bahwa PBNU kerap mengabaikan sensitivitas geopolitik umat Islam dalam agenda internasionalnya.
Arah Baru atau Blunder Berulang?
Klaim Gus Yahya bahwa dirinya tidak mengetahui latar belakang pro-Zionis Berkowitz menimbulkan pertanyaan serius: apakah PBNU benar-benar lalai, ataukah ada strategi keliru dalam membaca geopolitik internasional?
Apapun alasannya, umat Islam Indonesia berharap PBNU tetap menjadi garda moral bangsa. Moderasi Islam tidak boleh diartikan sebagai kompromi terhadap penjajahan.
Sebagaimana dikatakan pengamat politik UIN Jakarta, “NU harus belajar dari blunder-blunder sebelumnya. Diplomasi kultural membutuhkan kehati-hatian, bukan sekadar keterbukaan.”
Jika tidak, PBNU akan terus terjebak dalam blunder berulang yang justru melemahkan kredibilitasnya, baik di tingkat nasional maupun global.
Kesimpulan: Kontroversi undangan Peter Berkowitz menegaskan bahwa PBNU menghadapi tantangan serius dalam menjalankan diplomasi kultural internasional. NU adalah ormas Islam terbesar di dunia, dengan bobot moral yang tak bisa dipandang remeh. Setiap langkahnya tidak hanya mewakili organisasi, tetapi juga wajah umat Islam Indonesia di mata dunia.
Blunder-blunder serupa yang berulang menunjukkan adanya kelemahan pada aspek tata kelola, verifikasi tokoh, dan sensitivitas geopolitik. Jika dibiarkan, PBNU berisiko kehilangan kepercayaan publik sekaligus melemahkan posisi moral Indonesia yang sejak lama dikenal sebagai pembela Palestina.
Rekomendasi Kebijakan untuk PBNU
- Membentuk Dewan Seleksi Tokoh Internasional, PBNU perlu membuat tim khusus beranggotakan pakar politik, akademisi, dan ulama yang bertugas menyaring tokoh-tokoh asing sebelum diundang dalam forum NU.
- Menyelaraskan Agenda dengan Politik Luar Negeri Indonesia, NU harus memastikan setiap agenda internasional selaras dengan kebijakan resmi negara, terutama terkait isu Palestina yang merupakan amanat konstitusi dan konsensus nasional.
- Memperkuat Konsultasi dengan Ormas Islam Lain, Agar tidak berjalan sendiri, PBNU sebaiknya berkonsultasi dengan ,,ormas Islam besar lainnya, seperti Muhammadiyah dan MUI, sebelum membuat agenda global yang menyentuh isu sensitif umat.
- Transparansi Agenda Internasional, Setiap undangan kepada tokoh asing perlu diumumkan terbuka sebelum acara. Hal ini mencegah kesalahpahaman sekaligus menjadi bentuk akuntabilitas kepada publik.
- Mengembalikan Fokus pada Visi NU Global, NU perlu kembali menegaskan posisinya sebagai pembawa Islam rahmatan lil ‘alamin tanpa mengorbankan prinsip kemanusiaan, khususnya dalam membela bangsa tertindas seperti Palestina.
Penutup: PBNU adalah aset bangsa. Namun aset sebesar ini harus dikelola dengan kehati-hatian dan integritas. Moderasi Islam yang diperjuangkan NU memang penting, tetapi moderasi tidak boleh berarti kompromi terhadap penjajahan, apartheid, dan penindasan.
Jika PBNU mampu berbenah dengan serius, maka organisasi ini akan tetap menjadi garda moral Islam Indonesia yang dihormati dunia. Namun jika blunder berulang terus terjadi, maka kepercayaan umat bisa terkikis—dan NU kehilangan posisi strategisnya dalam diplomasi global.














