SUARA UTAMA – Beberapa hari kedepan Indonesia akan merayakan HUT RI ke 80, untuk itu Penulis mencoba menelisik Kembali bahwa peringatan Hari Kemerdekaan yang biasa dirayakan secara khidmad dan meriah dilaksanakan serentak mulai dari pusat pemerintahan sampai pemerintah local Desa bahkan masyarakat biasa pun ikut serta untuk berpartisipasi dalam berbagai event sebagai sebuah kegembiraan yang tak dapat dinilai secara material.
Namun dalam hiruk pikuk itu kita kadang lupa, awal kemerdekaan itu bisa terlaksana dan sukses diproklamirkan dan dipublikasikan ke semua pelosok persada Nusantara dan ke penjuru dunia.
Tahun 1945 itu sudah bagian sejarah masa silam tapi masa lalu itu sangat berharga bagi kita semua. Ingar Bangsa yang yang kehilangan Kesdaran masa lalunya perlahan lahan akan kehilangan dirinya (Milan Kundera). Merefleksinya selang waktu antara 1945 – 2025 sebagai kilas balik masa lalu dan untuk masa depan yang kita harapkan diraih.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Delapan dekade setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Indonesia berdiri sebagai negara yang penuh dinamika.
Namun pertanyaan mendasar kembali menyeruak setiap peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia: Apakah realitas Indonesia hari ini masih mencerminkan amanat luhur Proklamasi 1945, atau justru memperlihatkan jurang pemisah antara cita-cita dan kenyataan? Pertanyaan ini penting bukan hanya sebagai refleksi sejarah, tetapi juga sebagai evaluasi atas arah bangsa.
Amanat Proklamasi 1945: Sebuah Janji Kemanusiaan dan Keadilan
Proklamasi 1945 bukan hanya pernyataan politik untuk melepaskan diri dari penjajahan, melainkan juga janji moral kepada rakyat Indonesia untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut sejarawan Prof. Dr. Azyumardi Azra (alm), Proklamasi adalah “landasan spiritual dan politik bangsa” yang meletakkan tanggung jawab besar bagi generasi selanjutnya untuk membuktikan makna kemerdekaan melalui tindakan nyata.
2025: Antara Kemajuan dan Kesenjangan
Di tahun 2025, Indonesia mencatat sejumlah capaian penting: pembangunan infrastruktur besar-besaran, pertumbuhan ekonomi stabil, transformasi digital yang pesat, dan peran geopolitik yang makin diakui di kawasan Indo-Pasifik.
Namun, di sisi lain, jurang ketimpangan ekonomi, krisis keadilan hukum, kerusakan lingkungan, serta meningkatnya intoleransi menjadi sorotan utama. Di sinilah banyak pihak melihat adanya “jarak moral” antara nilai-nilai Proklamasi dan kenyataan saat ini.
Pandangan Akademisi
Prof. Dr. Sulfikar Amir (sosiolog NTU Singapura) menyatakan: “Kita membangun fisik negara, tapi kehilangan ruh kebangsaannya. Proklamasi 1945 mengusung nilai emansipasi sosial, tapi realitas hari ini justru menunjukkan eksklusi dan disparitas.”
Dr. Yayan Hidayat dari Universitas Padjadjaran menambahkan: “Kemerdekaan politik sudah kita raih, namun belum diiringi oleh kemerdekaan ekonomi bagi mayoritas rakyat. Struktur oligarki masih dominan.”
Suara dari Dunia Politik
Beberapa tokoh politik menyuarakan keresahan serupa. Wakil Ketua MPR, Jazilul Fawaid, dalam pidato refleksi kemerdekaan 2024 lalu, menegaskan:
“Kita perlu meredefinisi makna kemerdekaan. Jangan sampai Proklamasi hanya jadi seremoni tahunan tanpa aktualisasi.”
Sementara itu, aktivis dan mantan pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, menyindir:
“Kalau kita serius bicara Proklamasi, mari ukur: sudahkah keadilan sosial dirasakan warga desa, masyarakat adat, buruh, dan petani?”
Tinjauan Media Nasional
Media nasional seperti Kompas dan Tempo secara konsisten menyoroti kegagalan negara dalam merealisasikan butir ke-5 Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dalam editorial Kompas edisi Agustus 2024 tertulis:
“Kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan, tapi juga bebas dari kemiskinan struktural, korupsi, dan keterbelakangan. Di titik inilah amanat Proklamasi diuji.”
Sorotan Media Internasional
Media internasional seperti The Diplomat, BBC, dan The New York Times kerap menempatkan Indonesia sebagai “rising democracy with fragile foundations.” Dalam laporan The Diplomat edisi Mei 2025 disebutkan:
“Indonesia’s democratic outlook is often celebrated, but the socio-political inequalities and systemic corruption still hinder the true meaning of its hard-fought independence.”
Antara Cermin dan Jurang
Apakah Proklamasi 1945 kini menjadi cermin yang memantulkan realitas atau jurang yang menunjukkan betapa jauhnya cita-cita dari kenyataan?
Dr. Imam Prasodjo, sosiolog UI, menjawab:
“Cermin itu retak. Tapi justru dari retakan itu kita bisa melihat apa yang belum kita selesaikan.”
Penutup: Menghidupkan Kembali Amanat Proklamasi
Refleksi HUT RI ke-80 bukan sekadar rutinitas tahunan penuh simbolisme, tetapi seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi: sudah sejauh mana amanat Proklamasi benar-benar hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah cita-cita luhur yang diikrarkan Soekarno dan Hatta pada pagi 17 Agustus 1945 masih menjadi kompas moral kita hari ini—atau justru hanya tinggal retorika yang kehilangan makna?
Perlu diingat, detik-detik menjelang Proklamasi bukanlah masa yang tenang atau mudah. Itu adalah masa ketegangan, tekanan, bahkan pertaruhan nyawa. Para pemuda “menculik” Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok karena takut kemerdekaan hanya akan jadi titipan Jepang. Malam harinya, naskah proklamasi ditulis terburu-buru di ruang tamu Laksamana Maeda, sementara bom-bom Sekutu masih terdengar di kejauhan. Semua serba darurat, tetapi semangatnya mutlak: Indonesia harus merdeka, sekarang juga.
Kemerdekaan itu diperoleh bukan dari hasil diplomasi manis, melainkan dari keberanian melawan kekuasaan, mempertaruhkan kehormatan, dan menolak tunduk pada kekuatan asing maupun domestik yang ingin menunda pembebasan.
Kini, 80 tahun berselang, kita hidup dalam era yang lebih nyaman, namun kadang lupa bahwa kenyamanan itu dibangun dari darah dan tekad mereka yang mendahului kita. Maka menjadi tanggung jawab generasi hari ini untuk menyalakan kembali api Proklamasi—tidak sekadar mengibarkan bendera setiap 17 Agustus, tapi benar-benar memerdekakan rakyat dari ketidakadilan, kebodohan, kemiskinan, dan ketakutan.
“Proklamasi adalah warisan. Tapi yang lebih penting, ia adalah tugas.”
— Tugas untuk terus bertanya, terus memperjuangkan, dan terus menyempurnakan kemerdekaan yang telah diperoleh dengan susah payah.














