SUARA UTAMA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) yang memperketat persyaratan bagi kuasa hukum di Pengadilan Pajak. Regulasi ini disebut akan menggantikan PMK 184/2017 dan menambahkan sejumlah syarat baru bagi pihak yang ingin menjadi pendamping wajib pajak dalam sengketa pajak.
Namun, rencana tersebut menuai kritik dari sejumlah kalangan. Praktisi pajak sekaligus anggota Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Eko Wahyu Pramono, menyampaikan keprihatinannya atas regulasi ini. Ia menilai langkah tersebut belum sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 26/PUU-XXI/2023, yang mengamanatkan peralihan kewenangan pengadilan pajak ke Mahkamah Agung (MA) paling lambat 31 Desember 2026.
“Jika pengadilan pajak akan berada di bawah MA, maka kewenangan terkait syarat kuasa hukum seharusnya juga beralih ke lembaga yudikatif. Regulasi ini justru dapat memperpanjang dominasi eksekutif atas proses peradilan,” ujar Eko di Surabaya, Kamis (24/6).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
RPMK yang sedang dirancang memuat dua syarat tambahan utama:
- Kepemilikan Surat Keterangan Kompetensi (SKK) atau izin praktik konsultan pajak.
- Pengalaman kerja minimal dua tahun di bidang perpajakan, akuntansi, atau hukum dalam lima tahun terakhir.
Eko menegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak, syarat untuk menjadi kuasa hukum hanya mencakup tiga hal: kewarganegaraan Indonesia, pengetahuan dan keahlian di bidang perpajakan, serta ketentuan lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
“Penambahan syarat memang sah menurut undang-undang, tapi perlu dikaji lebih dalam dampaknya terhadap akses keadilan. Apakah persyaratan tambahan benar-benar diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendampingan, atau justru membatasi akses wajib pajak terhadap pembelaan yang layak?” tuturnya.
Ia juga mengingatkan agar tidak muncul kesan bahwa regulasi ini membuka peluang dominasi pihak tertentu dalam hal pelatihan dan sertifikasi kuasa hukum pajak.
“Kalau tujuan utamanya adalah peningkatan kualitas advokasi, maka pemerintah juga perlu menyampaikan data atau evaluasi yang menjadi dasar pembentukan aturan ini. Transparansi akan memperkuat legitimasi regulasi yang dibuat,” lanjutnya.
Menurut Eko, penting bagi Kementerian Keuangan untuk tetap menjalankan fungsi regulatif dan administratif secara proporsional, tanpa mereduksi kewenangan yudisial yang semestinya dijalankan secara independen.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














