Ketika Angka dan Kebijakan Tak Lagi Mewakili Rakyat

- Penulis

Senin, 14 Juli 2025 - 17:09 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Eko Wahyu Pramono
Mahasiswa Hukum, Tax Accountant, Anggota IWPI

 

SUARA UTAMA – Saya seringkali termenung, bukan karena tugas kuliah atau tekanan pekerjaan, melainkan karena pertanyaan yang makin hari makin sulit dijawab: “Kenapa negara yang begitu kaya seperti Indonesia justru terasa begitu berat untuk ditinggali oleh rakyatnya sendiri?”

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Ketika Angka dan Kebijakan Tak Lagi Mewakili Rakyat Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pertanyaan ini bukan muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari data, dari laporan resmi lembaga negara, dari berita yang menghiasi layar ponsel setiap hari, dan dari kenyataan pahit yang saya lihat dan dengar dari orang-orang di sekitar saya.

Potret Buram di Balik Data

Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) terbaru menyebut bahwa 19,8% anak Indonesia mengalami stunting satu dari lima anak tumbuh dengan gizi buruk yang berdampak permanen pada masa depannya. Ini bukan hanya statistik. Ini adalah potret generasi masa depan yang terancam kehilangan hak paling dasar: tumbuh dengan sehat.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan 78 ribu anak putus sekolah pada 2023/24. Dan pada Februari 2025, angka pengangguran mencapai 7,28 juta orang, naik 83.440 orang dibandingkan tahun sebelumnya.

Lebih menyakitkan lagi, data dari World Bank (Juni 2025) memperlihatkan:

  • 5,4% hidup di bawah US$3/hari (kemiskinan ekstrem),
  • 19,9% hidup di bawah US$4,20/hari (kemiskinan menengah bawah), dan
  • 68,3% atau sekitar 194 juta orang Indonesia hidup di bawah US$8,30/hari, garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas

Angka-angka ini bukan milik negara miskin di Afrika sub-Sahara. Ini adalah data tentang Indonesia negeri dengan cadangan nikel terbesar dunia, penghasil batu bara, minyak, emas, kelapa sawit, dan kekayaan laut tak terhingga. Tapi mengapa rakyatnya tak ikut sejahtera?

Alih-alih menjawab krisis ini dengan keberpihakan, kita justru melihat bagaimana kebijakan negara berjalan menjauh dari nalar keadilan sosial. Tahun 2025 dihiasi dengan berbagai skandal pemborosan dan dugaan korupsi yang mencederai rasa keadilan publik:

  • Jet pribadi KPU untuk kunjungan Pemilu 2024, dengan jumlah perjalanan dan pengeluaran yang tak transparan.
  • Pengadaan Chromebook senilai Rp9,9 triliun yang manfaatnya diragukan dan kini tengah diselidiki Kejaksaan Agung.
  • Dugaan korupsi impor minyak oleh Pertamina Patra Niaga dengan potensi kerugian negara hingga Rp193,7 triliun, salah satu yang terbesar sepanjang sejarah republik.
  • Proyek-proyek infrastruktur tidak efisien di bawah Kementerian PUPR yang justru diakui sendiri oleh menterinya sebagai boros, dengan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang terlalu tinggi.
  • Di tingkat daerah, seperti Sumatera Barat, audit BPK mengungkap kelebihan pembayaran miliaran rupiah untuk perjalanan dinas, pengadaan videotron, dan dana pokir DPRD yang disinyalir sarat penyimpangan.

Sudah ada Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja negara. Tapi semua itu hanya selembar kertas jika pengawasan dan penegakan hukumnya lemah.

BACA JUGA :  Pemuda Melek Politik, Ketua DPD Partai Gelora Gunungkidul Serukan Urgensi Kesadaran

Kekecewaan saya semakin dalam ketika menyaksikan bagaimana rakyat kecil justru menjadi korban dari sistem perpajakan yang tidak berpihak:

  1. UD Pramono di Boyolali, seorang pengusaha kecil yang harus kebinggungan dengan usahanya setelah rekeningnya diblokir karena tunggakan PPN senilai Rp671 juta  meski ia sudah membayar Rp200 juta.
  2. @nuke.limanov, pedagang ayam yang viral di TikTok, terkejut ketika dikenai tagihan pajak Rp500 juta untuk tahun 2020 tanpa pemahaman fiskal yang cukup di masa awal usahanya.
  3. Sistem pajak digital CoreTax yang gagal total di awal 2025, menyebabkan gangguan besar, denda yang tak akurat, dan rusaknya kepercayaan publik.

Di saat UMKM diburu dengan tagihan, korporasi besar dan institusi negara justru terbebas dari sanksi moral maupun hukum atas pemborosan dan penyalahgunaan dana publik. Sistem keadilan fiskal menjadi timpang, bahkan menindas.

Namun yang lebih menyakitkan: ketika rakyat menderita, pemangku kebijakan justru bersiap menaikkan beban.

  • Dirjen Pajak menyebut bahwa tarif PPN 11% masih rendah, dan “masih ada ruang” untuk menaikkan menjadi 12%  dibandingkan negara OECD dan BRICS yang notabene jauh lebih makmur.
  • DPRD Kota Malang mengesahkan tarif 10% pajak daerah untuk pelaku usaha kecil dengan omzet hanya Rp15 juta per bulan.

Apakah para pengambil kebijakan ini tidak menyadari bahwa rakyat sedang bertahan hidup, bukan menumpuk kekayaan?

Apakah Kita tidak belajar dari peristiwa 1998?

Saya hanya rakyat biasa. Seorang mahasiswa hukum. Seorang pekerja kantoran. Saya tidak memiliki kekuasaan. Tapi saya memiliki suara dan saya ingin suara ini didengar.

Saya ingin mengingatkan bahwa sejarah telah mencatat bagaimana runtuhnya Orde Baru bukan hanya soal politik, tetapi juga soal perut. Kelaparan, pengangguran, dan ketidakadilan sosial adalah bahan bakar bagi ledakan rakyat.

Apakah kita harus menunggu Reformasi Jilid Dua terjadi baru para pejabat tersadar?

Apakah rakyat harus kembali turun ke jalan hanya agar suara mereka didengar?

Saya tidak sedang mengajak pemberontakan. Saya mengajak kita semua para pembaca, pemimpin, wartawan, dan warga biasa untuk berpikir ulang tentang arah bangsa ini.

Apakah kita masih berjalan menuju keadilan sosial seperti tertulis dalam Pancasila? Atau sudah menyimpang terlalu jauh?

Penutup

Saya menulis ini bukan karena benci pada Indonesia. Justru karena saya mencintainya. Karena saya percaya negeri ini bisa lebih baik. Karena saya ingin anak-anak Indonesia tumbuh sehat, belajar tanpa takut putus sekolah, dan punya masa depan yang layak.

Kita butuh negara yang hadir, bukan yang menyakiti.
Kita butuh pemimpin yang mendengar, bukan yang membebani.
Kita butuh keadilan, bukan statistik yang membius.

Dan selama itu belum ada, suara seperti ini akan terus bergema.

 

 

Penulis : Odie Priambodo

Editor : Andre Hariyanto

Sumber Berita : Wartawan Suara Utama

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 45 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Berita Terbaru