SUARA UTAMA-
KMP Potensi di Atas Kertas
Pemerintah Indonesia tengah menggulirkan proyek raksasa bertajuk Koperasi Merah Putih (KMP) yang menargetkan pembentukan koperasi di seluruh desa dan kelurahan. Proyek ini diluncurkan melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025, dengan ambisi besar: membentuk 80.000 koperasi yang tersebar merata hingga ke pelosok.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Data hingga 28 Mei 2025 mencatat bahwa sebanyak 60.806 desa dan kelurahan telah resmi membentuk KMP melalui musyawarah desa khusus (musdesus). Namun, dari jumlah tersebut, baru 70 koperasi yang memiliki badan hukum sah melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) hingga akhir April.
Pemerintah menargetkan seluruh koperasi Merah Putih berbadan hukum paling lambat akhir Juni 2025, sebelum peluncuran resmi pada 12 Juli. Program ini melibatkan lintas kementerian, pemda, BUMN, dunia usaha, dan sektor swasta lainnya. Setiap koperasi dirancang untuk mendapat akses pembiayaan hingga Rp5 miliar—dari APBN, APBD, Dana Desa, bank Himbara, hingga mitra swasta. Total pembiayaan nasional diperkirakan mencapai Rp400 triliun.
Secara konseptual, proyek ini adalah langkah revolusioner. Bila dikelola secara jujur dan profesional, KMP berpotensi menjadi lokomotif kebangkitan koperasi rakyat: menciptakan lapangan kerja, memperkuat ketahanan pangan, dan memperluas akses permodalan hingga akar rumput.
Realitas di Lapangan
Namun di balik ambisi itu, muncul tantangan nyata. Sejarah koperasi Indonesia memperlihatkan banyak koperasi gagal bertahan. Data Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan sekitar 30% koperasi tidak aktif atau mati suri. Penyebab utamanya: tata kelola lemah, partisipasi anggota minim, dan pemahaman ekonomi rendah.
Di banyak tempat, koperasi dibentuk bukan dari kebutuhan riil masyarakat, melainkan sekadar menjalankan instruksi dari atas. Akibatnya, koperasi menjadi formalitas administratif tanpa kegiatan nyata. Hal ini berisiko terulang pada KMP jika pendekatannya masih top-down.
Koperasi sejatinya adalah organisasi ekonomi milik bersama, bukan lembaga penyalur bantuan. Ia menuntut partisipasi aktif, tanggung jawab kolektif, dan kejelasan arah usaha.
Catatan Kritis: Antara Idealisme dan Realitas
Sebagai pemerhati koperasi yang juga pernah berkecimpung dalam dunia pemerintahan desa, saya melihat bahwa kekuatan koperasi ada pada anggotanya. Tapi justru di situ pula letak titik lemahnya.
Koperasi berjalan dengan prinsip satu anggota, satu suara. Ideal, memang. Tapi dalam dunia usaha, keputusan kadang perlu cepat dan strategis—sementara koperasi sering terjebak dalam proses musyawarah yang lamban. Demokrasi ekonomi tak selalu sejalan dengan efisiensi bisnis.
Lebih dari itu, banyak anggota koperasi belum memiliki pemahaman ekonomi yang memadai. Mereka cenderung ikut-ikutan saat musyawarah tanpa memahami arah bisnis koperasi. Ini bisa membuat keputusan strategis jadi kurang berkualitas.
Koperasi yang kuat harus punya sistem manajemen profesional, pengurus yang berani mengambil risiko, dan anggota yang cerdas serta kritis. Tanpa itu, koperasi akan stagnan: semangat tinggi di awal, tapi kehilangan arah saat menghadapi realitas pasar.
Kesimpulan: Jangan Ulangi Kesalahan Lama
Koperasi Merah Putih punya potensi besar. Tapi potensi itu bisa berubah jadi bencana bila kita mengulang pola lama: pendekatan top-down, manajemen birokratis, dan partisipasi semu.
Kini saatnya menjadikan KMP bukan sekadar proyek elit berbungkus rakyat, tetapi gerakan ekonomi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Itu hanya mungkin jika masyarakat diberi ruang, dipercaya, dan dibekali kapasitas untuk mengelola dirinya sendiri.
Tanpa itu, kita hanya akan menambah daftar panjang koperasi yang gagal—bukan karena kurang modal, tapi karena kehilangan jiwa.
Penulis : Nafian Faiz, Jurnalis pernah menjadi Kepala Desa 2 Preode, akitivis sosial tinggal di Lampung.














