SUARA UTAMA- Pagi itu, Novita Sari melilitkan karung bekas di belakang motornya. Bukan untuk mengangkut hasil panen atau barang dagangan, melainkan botol plastik, kardus, dan kaleng bekas yang disetor warga.
Dengan tangan dan hati yang terlatih, ia menimbang, mencatat, lalu menyapa satu per satu nasabahnya—bukan di bank biasa, tapi bank sampah.
Di Kampung Tri Tunggal Jaya, Kecamatan Banjar Agung, Kabupaten Tulang Bawang, sebuah gerakan kecil telah tumbuh menjadi semangat besar. Namanya Bank Sampah Sweet Home.id, berdiri pada 28 Januari 2025. Di baliknya, ada lima anak muda kampung yang berani bermimpi: Joko Riyanto, Novita Sari, Antoni Miftah, Tri Pujianto, dan Lina Rosita.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka bukan pejabat, bukan aktivis yang dibayar. Mereka hanya anak-anak muda yang resah melihat kebiasaan warga membakar sampah di pekarangan. Bau menyengat, asap menggumpal, dan tanah makin kering. Tapi daripada mengeluh, mereka memilih bergerak. Maka lahirlah ide: menjadikan sampah sebagai tabungan, bukan beban.
Mengubah Cara Pandang, Mengubah Kebiasaan

“Selama ini sampah dianggap tak punya nilai. Padahal, kalau dipilah dan dikelola, bisa jadi sumber rezeki,” kata Antoni Miftah, sang bendahara. “Kami ingin masyarakat melihat bahwa ini bukan soal buang atau bakar, tapi soal nilai. Sampah bisa jadi rupiah. Bahkan jadi berkah.”
Bank Sampah Sweet Home.id membuka pintu bagi siapa pun yang ingin menyetor sampah kering: plastik keras, kardus, botol, kaleng, kertas, dan barang anorganik lainnya. Sampah ditimbang, dicatat secara digital, lalu hasilnya dikonversi menjadi saldo yang bisa dicairkan kapan pun. Hingga kini, sudah lebih dari 400 warga menjadi nasabah aktif. Tak hanya dari Banjar Agung, tapi juga dari Way Kenanga di Tulang Bawang Barat.
“Awalnya banyak yang ragu,” ujar Lina Rosita, admin lapangan yang rajin blusukan dari rumah ke rumah. “Tapi begitu lihat hasilnya bisa jadi uang dan lingkungan jadi bersih, mereka pelan-pelan ikut.”
Gerakan dari Bawah, Solusi untuk Semua
Gerakan ini lahir dari komunitas Anak Muda Berkarya Club. Mereka sadar, perubahan tak bisa hanya menunggu program pemerintah. Harus ada contoh nyata. Harus dimulai dari rumah.
Joko Riyanto, ketua bank sampah ini, percaya kekuatan komunitas adalah kunci. “Kami tak punya dana besar. Tapi kami punya niat dan konsistensi. Kami datang ke rumah-rumah, kami layani sendiri penimbangan, kami edukasi dengan bahasa yang sederhana. Sampah bukan akhir, tapi awal perubahan.”
Kini, bank sampah ini mengelola tak kurang dari 25 jenis sampah non-organik yang dipilah dan disetor rutin ke pengepul besar. Selain memberi penghasilan tambahan bagi warga, gerakan ini juga berhasil mengurangi pembakaran sampah, menjaga udara tetap bersih, dan mendorong kebiasaan hidup sehat.
Membangun Masa Depan dari Hal Kecil
Apa yang dilakukan Bank Sampah Sweet Home.id bukan hanya soal daur ulang. Ini adalah pendidikan gaya hidup. Mereka menyasar rumah tangga, tapi juga aktif menggandeng aparatur kampung, sekolah, dan komunitas lain. Tujuannya sederhana tapi penting: membentuk budaya baru soal sampah.
“Bayangkan kalau setiap rumah mau pilah sampah. Sungai kita bersih, udara lebih sehat, dan kita bisa hidup lebih nyaman. Ini bukan mimpi, ini soal kebiasaan,” tegas Joko.
Dengan pendekatan yang ringan, bersahabat, dan solutif, gerakan ini memberi harapan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari tempat terkecil: dapur rumah, sudut halaman, atau karung di belakang motor.
Bahwa masa depan lingkungan Indonesia tidak ditentukan oleh proyek miliaran rupiah, tapi oleh anak-anak muda yang mau turun tangan. Karena di tangan mereka, sampah bukan lagi sisa. Tapi sumber daya. Sumber harapan.
Penulis : Nafian Faiz
Sumber Berita : Bank Sampah Sweet Home.id














