SUARA UTAMA- WC umum, bagi sebagian orang, masih dianggap sebagai tempat yang identik dengan kekumuhan. Meski menjadi bagian dari fasilitas umum yang wajib ada di rumah makan, SPBU, atau layanan publik lainnya, ironisnya banyak fasilitas ini tetap memungut biaya dari pengguna. Lebih aneh lagi, meski sudah berbayar, kebersihan dan kenyamanan sering kali tak terjamin.
Di sisi lain, ada juga WC umum gratis yang justru terawat dengan sangat baik. Kebersihannya dijaga oleh petugas, bukan untuk menarik uang dari pengguna, tetapi memastikan kenyamanan mereka.
Namun, kali ini saya tidak ingin membahas WC umum dari sisi kebersihan atau biaya. Saya ingin berbagi cerita yang menyimpan filosofi kepemimpinan, sebuah pelajaran yang saya dapatkan dari kakak kandung saya saat saya masih duduk di bangku SLTA, beberapa puluh tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kita harus banyak belajar dari WC umum,” ujar kakak saya suatu ketika saat kami berbincang tentang kepemimpinan.
Beliau melanjutkan, “Coba perhatikan saat kita masuk ke WC umum yang jorok. Kita mungkin kaget dengan bau tak sedap, lantai licin berlumut, dinding bocor, atau pintu yang engselnya rusak. Awalnya, semua itu terasa sangat mengganggu, tetapi tidak lama. Beberapa detik kemudian, tubuh dan indra kita mulai beradaptasi. Kita akhirnya terbiasa.”
“Kalau WC itu gelap, jangan berteriak. Pejamkan mata sejenak agar penglihatanmu menyesuaikan. Kalau baunya menyengat, jangan mencaci-maki. Tutup hidung, tutup mulut, dan selesaikan urusanmu. Setelah selesai, keluarlah dengan sadar bahwa orang setelahmu mungkin merasakan hal yang sama.”
Cerita sederhana ini selalu saya ingat. Kakak saya ingin menyampaikan pelajaran penting: dalam kehidupan, termasuk dalam kepemimpinan, kita sering menghadapi situasi seperti WC umum. Lingkungan yang buruk bukan alasan untuk menyalahkan orang lain. Menuduh pihak sebelumnya sebagai penyebab kekacauan hanya akan menunda solusi.
Sebagai pemimpin, kita tidak boleh hanya bertindak sebagai “pengguna” yang pasif. Kita harus berperan sebagai “pemilik” yang bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan. Langkah bijak adalah dengan fokus pada perbaikan sistem, fasilitas, dan lingkungan sehingga semua yang terlibat merasa nyaman dan taat aturan.
Cerita ini memberi kita analogi sederhana tetapi mendalam: kepemimpinan yang baik bukan tentang menyalahkan, melainkan memperbaiki. Layaknya WC umum, organisasi atau institusi juga membutuhkan pemimpin yang mau membersihkan, memperbaiki, dan menciptakan kenyamanan untuk semua.
(Tulisan ini pernah dimuat di Facebook Nafian Faiz, 5 September 2021).
Penulis : Nafian faiz