SUARA UTAMA
Pendahuluan Kemajuan suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh kekayaan sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga sangat ditentukan oleh kualitas manusia yang mengelolanya. Dalam konteks Indonesia, pencapaian visi “Indonesia Maju” sangat bergantung pada transformasi mentalitas manusia Indonesia itu sendiri. Mentalitas merupakan cerminan dari pola pikir, sikap, dan cara bertindak individu maupun kolektif masyarakat. Apabila mentalitas masyarakat, khususnya aparatur negara sebagai penggerak birokrasi, belum bertransformasi, maka upaya pembangunan bisa tersendat.
Budaya Lama yang Menghambat Kemajuan Salah satu penghambat besar kemajuan Indonesia adalah masih kuatnya budaya lama yang tidak adaptif terhadap perubahan. Budaya seperti feodalisme, mentalitas instan, sikap permisif terhadap pelanggaran, dan ketergantungan terhadap instruksi atasan masih mewarnai pola pikir sebagian masyarakat. Feodalisme menyebabkan masyarakat enggan bersikap kritis terhadap pemimpin. Budaya instan melahirkan cara-cara tidak etis demi hasil cepat, termasuk dalam praktik korupsi. Sementara itu, ketergantungan pada negara menjadikan masyarakat pasif dalam pembangunan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Prof. Komaruddin Hidayat menekankan bahwa mentalitas adalah “perangkat lunak” dalam sistem kehidupan berbangsa. “Jika perangkat lunak manusia belum diperbarui, maka secanggih apa pun perangkat kerasnya, peradaban tidak akan bergerak maju,” tegasnya (Kompas, 2016).
Karakter Mentalitas Aparatur Negara Saat Ini Aparatur negara sebagai ujung tombak pelayanan publik dan pengelola kebijakan memiliki peran strategis dalam mendorong transformasi bangsa. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa mentalitas sebagian besar aparatur negara masih berkutat pada pola-pola lama. Beberapa karakter mentalitas yang menonjol antara lain:
- Mentalitas birokratis dan kaku: Banyak aparatur negara masih memandang jabatan sebagai status, bukan sebagai tanggung jawab pelayanan. Prosedur administratif menjadi tujuan, bukan alat untuk mencapai efisiensi.
- Zona nyaman dan minim inovasi: Karena jaminan pekerjaan yang tinggi dan sistem penghargaan yang tidak selalu berdasarkan kinerja, inovasi sering tidak menjadi prioritas.
- Budaya ABS (Asal Bapak Senang): Loyalitas kepada atasan seringkali lebih diutamakan daripada profesionalitas dan integritas.
- Resistensi terhadap perubahan: Banyak aparatur yang enggan berubah karena takut kehilangan posisi, kewenangan, atau merasa nyaman dengan cara lama.
Menurut Dr. Paulus Wirutomo, sosiolog dari Universitas Indonesia, “Aparatur negara harus menjadi model transformasi mental. Jika mereka sendiri enggan berubah, maka masyarakat tidak akan percaya bahwa perubahan itu mungkin.”
Karakter Mentalitas Masyarakat Saat Ini Selain aparatur negara, karakter mentalitas masyarakat Indonesia secara umum juga memainkan peran penting dalam menentukan arah perubahan bangsa. Beberapa karakter mentalitas yang masih menjadi tantangan antara lain:
- Mentalitas konsumtif dan hedonistik: Budaya konsumsi berlebihan tanpa diiringi produktivitas masih marak. Gaya hidup mewah dijadikan simbol kesuksesan, bahkan jika harus dicapai melalui cara-cara tidak sehat.
- Kurangnya rasa tanggung jawab kolektif: Banyak warga yang lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok sempit daripada kepentingan bersama. Hal ini terlihat dari rendahnya kepatuhan terhadap peraturan publik, seperti dalam kasus lalu lintas atau pengelolaan sampah.
- Ketergantungan pada negara: Masyarakat seringkali bersikap pasif, menunggu bantuan dari pemerintah tanpa inisiatif untuk mandiri atau berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
- Rendahnya budaya literasi dan berpikir kritis: Masih banyak masyarakat yang mudah terpengaruh hoaks, propaganda, atau ujaran kebencian di media sosial karena kurangnya kemampuan menyaring informasi secara rasional.
- Gotong royong yang memudar: Nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong royong dan solidaritas sosial mulai tergerus oleh individualisme yang semakin meningkat.
Dr. Eko Prasetyo, pakar sosial dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan bahwa “masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang memiliki kesadaran kolektif untuk maju bersama, bukan saling menjatuhkan atau hanya mengandalkan elite untuk membawa perubahan.”
Menuju Paradigma Baru Paradigma baru yang harus dibangun adalah mentalitas progresif yang ditandai dengan integritas, profesionalisme, etos kerja tinggi, keterbukaan terhadap kritik, dan semangat pelayanan. Ini memerlukan perubahan di berbagai level:
- Level individu: Setiap aparatur harus memiliki kesadaran diri untuk berubah dan belajar.
- Level institusi: Budaya organisasi harus dibangun berdasarkan meritokrasi dan sistem evaluasi berbasis kinerja.
- Level kebijakan: Pemerintah perlu menanamkan nilai-nilai revolusi mental ke dalam pendidikan ASN, sistem promosi, dan reward-punishment.
Presiden Joko Widodo sejak awal menjabat sudah menggalakkan gerakan “Revolusi Mental”. Namun, menurut banyak pengamat, implementasinya masih dangkal. Perubahan mentalitas tidak cukup dengan pelatihan singkat atau kampanye seremonial. Ia harus menjadi gerakan yang sistemik, terus-menerus, dan didukung keteladanan dari pemimpin.
Pandangan Presiden Prabowo Subianto Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan juga menekankan pentingnya pembentukan karakter dan mentalitas bangsa yang kuat, disiplin, dan berorientasi pada kerja keras. Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI tahun 2024, beliau menyatakan bahwa “untuk menjadikan Indonesia negara yang berdiri tegak di antara bangsa-bangsa besar, kita harus membentuk manusia Indonesia yang bermental pejuang—yang jujur, disiplin, mencintai tanah air, dan tidak mudah menyerah.”
Lebih lanjut, Prabowo juga menekankan perlunya reformasi birokrasi yang nyata dan tidak hanya bersifat administratif. Ia menggarisbawahi bahwa aparatur negara harus menjadi pelayan rakyat yang efektif dan efisien. “Kita tidak bisa membiarkan mentalitas lamban dan birokratis terus menghambat pelayanan publik. Setiap pejabat harus merasa bahwa mereka digaji untuk bekerja, bukan untuk duduk dan memerintah,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Nasional Reformasi Birokrasi 2025.
Pandangan ini menguatkan pentingnya transformasi mentalitas sebagai syarat utama untuk mendobrak stagnasi birokrasi dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berdaya saing.
Penutup Transformasi mentalitas adalah jalan panjang menuju Indonesia Maju. Budaya lama yang tidak produktif harus ditinggalkan, dan paradigma baru yang pro-inovasi, pro-integritas, dan pro-pelayanan harus dibangun. Aparatur negara sebagai motor utama birokrasi harus menjadi pionir dalam perubahan ini. Tanpa mentalitas baru, pembangunan hanya akan menjadi rutinitas teknokratis tanpa jiwa. Tetapi dengan mentalitas yang telah tertransformasi, Indonesia bukan hanya bisa maju, tetapi juga bisa menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaya saing global.












