SUARA UTAMA, MANOKWARI – Jurnalis wartawan dari beberapa platform media di Manokwari, Papua Barat turut ambil bagian dalam aksi tolak pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP yang akan dibahas dan disahkan oleh DPR RI di Senayan, Jakarta.
Aksi diikuti tujuh jurnalis. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan tolak Pasal-pasal, RKUHP melakukan aksi di segitiga pertigaan Haji Bauw jalan Trikora Wosi Senin (5/12/2022) . Para jurnalis itu melakukan orasi secara bergantian dengan poin menolak pengesahan RKUHP yang memuat 19 pasal yang berpotensi memberangus kebebasan pers dan kebebasan berekspresi warga negara.
“Kami menolak RKUHP yang akan dibahas oleh DPR RI dalam waktu dekat” kata Alex Tethol, jurnalis dari Aliansi Jurnalis Independen AJI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hans Kapisa, jurnalis lainnya di Manokwari menilai rancangan UU KUHP yang akan dibahas dan ditetapkan oleh DPR tidak baik. “Di tanah Papua ini kita sedang mendorong kebebasan pers, namun RUU KUHP yang akan disahkan ini akan memberangus kebebasan pers dan juga kebebasan ber ekspres bagi masyarakat umum” katanya
Dia meminta masyarakat Papua mendukung penolakan RKUHP. Sebab itu akan memberangus kebebasan berekspresi warga negara, termasuk orang Papua yang kerap menuliskan status di sosial media maupun berkomentar mengkritik pemerintah di media massa.
Safwan Azhari, anggota AJI Jayapura di Manokwari dalam orasinya menyebut RUU KUHP hasil revisi terbaru masih menyisakan masalah. Terdapat 19 pasal yang harus dicabut sebelum DPR mengesahkan.
“RUU KHUP versi terbaru mengancam kemerdekaan pers. Pasal 188 sangat berpotensi digunakan sebagai mempidanakan Jurnalis.,” Kata jurnalis Tribun Papua Barat itu.
Dalam pasal 188, kata dia berpotensi menyasar kerja pers karena berkaitan dengan laporan investigasi bisa saja mengangkat korban-korban stigma komunisme.
Dalam pasal 188 ayat 1 menyebutkan tentang setiap orang yang menyebarkan tentang ajaran komunisme/ Marxisme, leninisme di muka umum dengan lisan maupun tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan hukuman penjara 4 Tahun.
Terpisah Kordinator Amnesty International Indonesia Chapter Universitas Papua, Marcelino Pigai mendesak pengesahan RKUHP jangan terlalu buru-buru dan melalaikan partisipasi publik, yang merespons untuk diperbaiki atau menghapus pasal-pasal karet yang berpotensi mengkriminalisasi rakyat yang kritis.
“Misalnya pasal-pasal terkait penghinaan terhadap pemerintah, pasal penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden dan lainnya,” Kata Marcelino Pigai
“Kami menilai bahwa adanya implikasi kesengajaan pemerintah negara menjerat rakyatnya yang akan mengkritiknya, kalau RKUHP disahkan tanpa diperbaiki pasal-pasal karet itu,” Ujarnya
Dikatakan, karena dalam pandangan hak asasi manusia, pemerintah itu kan, hukum itu sendiri atau lembaga pemerintah itu sendiri, yang diberikan oleh rakyat dari hasil akumulasi hak alami yang melekat pada rakyat. Rakyat yang punya hak sementara pemerintah negara punya kewajiban melindungi rakyat, menghormati rakyat, dan memenuhi kebutuhan hidup rakyat.
“Kalau pemerintah tidak memenuhi kewajiban, maka rakyat punya hak mengkritik terhadap kewajiban negara yang tidak dijalankan,” Tuturnya
Selain itu, dia menilai Pemerintah saat ini yang menjalankan sistem negara yang demokratis terkesan buruk. Pasal-pasal karet itu akan membatasi kebebasan berekspresi rakyat sebagai hak asasi alami yang melekat pada manusia.
“Kalau sikap kritis sebagai ekspresikan diri dibungkam karena pasal-pasal karet itu, maka apa arti dan makna negara Indonesia negara demokrasi. Bukan lagi negara demokrasi tapi negara otoriter terpimpin yang anti demokrasi,” Ujarnya
Oleh karena itu,dia mengharapkan agar menjaga keberadaan negara yang disebut demokrasi, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, maka seharusnya negara melalui pihak terkait berhenti mengesahkan RUU KUHP yang masih bermasalah ini, harus ditunda sebelum diperbaiki pasal-pasal karet itu. (*)