SUARA UTAMA – Tidak mesti mewah untu kembali Fitri, Idul Fitri hanya diraih oleh orang yang serius dalam membersihkan dirinya dan orang yang bertekad untuk menjadi muttaqin.
Kesibukan luar biasa dialami Rika, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di daerah Bekasi, Jawa Barat. Sejak dua pekan sebelum lebaran, ibu tiga anak itu telah sibuk menyisir tiap pusat perbelanjaan di ibukota. “Nyari baju lebaran yang cocok buat anak-anak. Kasihan, kalau lebaran tidak pakai baju baru,” dalihnya.
Bagi Rika, membeli baju baru buat anak menjelang lebaran adalah kewajiban. Belinya pun bukan satu dua potong, melainkan banyak dan bermacam-macam.
Maka, jauh-jauh hari dia telah
mencari rute, tempat belanja mana saja yang harus didatangi agar dapat
barang sesuai kebutuhan. Tentu saja
yang namanya belanja, apalagi untuk
barang yang non primer, waktunya
tidaklah sebentar, pasti lama. Dari pagi sampai malam. Yang jelas, jika sibuk ngurusin belanja buat lebaran, orang akan lupa dengan ibadah Ramadhannya. Apalagi memburu malam lailatul qadar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Baca juga: DPP PWRI Kutuk Aksi Kekerasan Terhadap Wartawan di NTT
Itulah sebagian kondisi umat Islam Indonesia saat menyambut ldul Fitri atau biasa disebut lebaran. Orang sibuk dengan persiapan mudik, jalan-jalan ke pasar atau ke mall membeli baju baru. Jamaah shalat tarawih di masjid atau musholla mulai sepi, sementara pasar dan pusat pusat perbelanjaan semakin ramai.
Ramadhan yang seharusnya menjadi media peningkatan kualitas keimanan
hanya berlalu dalam tradisi dan ritual
semata.
Rasulullah beserta para sahabat,
juga generasi terbaik umat Islam
selanjutnya, justru mengetatkan ikat
pinggang untuk beribadah kepada Allah SWT saat Ramadhan. Mereka benar-
benar tak ingin melewatkan satu malam
pun tanpa ibadah, shalat malam, baca
qur’an, dzikir maupun istighfar kepada-Nya.
Islam tidak mengharuskan para penganutnya untuk melaksanakan hari raya dengan penuh kemewahan. Allah menganggap yang mubazir sebagai saudara setan.
Firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang yang mubazir itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhan,” (QS al-lsra’: 27) Rasulullah saw juga sangat melarang keras pola hidup mubazir ini.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan kamu durhaka kepada ibu, enggan memberi miliknya tetapi meminta-minta milik orang lain. Dan atas kamu tiga perkara, yaitu berbohong dalam cerita, banyak bertanya dan mubazir harta,” (HR Bukhari).
Islam tidak melarang umatnya berbelanja, tetapi lslam hanya
mengajarkan umatnya tata cara
berbelanja dengan benar, yaitu berbelanja secara sederhana. Ketika
berbelanja menyambut lebaran, kita Juga seharusnya memikirkan nasib
saudara seagama, yang menyambut
lebaran dalam keadaan serba
kekurangan. Alangkah indahnya jika
kelebihan harta yang digunakan
untuk berbelanja yang tidak perlu itu,
diarahkan ke zakat, infak dan sedekah.
Bulan Ramadhan juga memiliki
dimensi sosial yang tinggi dengan beragam syariat di dalamnya.
Baca juga: Muhammdiyah Tetapkan 2 Mei 2022 Idul Fitri, Bagaimana dengan NU dan Pemerintah
Menahan lapar dan haus adalah satu tarbiyah Islam agar umatnya dapat merasakan lapar dan dahaga yang dirasakan kaum fakir miskin. Di sini, umat Islam diminta kepekaan dan sensitivitasnya terhadap penderitaan orang lain. Dari kepekaan ini akan memunculkan kepedulian dan sikap baik untuk membantu dan menolong orang lain.
Ajaran zakat, infak dan sedekah
memupuk semangat kepedulian dalam
berbagi harta benda pada orang lain. Hal ini dimunculkan agar umat Islam
tidak terlalu mencintai harta benda, juga sebagai penegasan bahwa di dalam harta yang dimilikinya itu, masih ada
hak orang lain yang harus dipenuhi.
Alangkah indahnya ajaran dan prinsip
Islam yang dikombinasi dalam sebuah
bulan yang disebut Ramadhan ini. Itulah mengapa, jika orang-orang yang sukses menggapai “Fitri” adalah orang-orang yang juga sukses dalam menjalani dari
tes dan ujian selama Ramadhan.
Idul Fitri berasal dari bahasa Arab
yang terdiri dari dua kata yaitu id yang artinya kembali dan Fitri yang artinya kembali berbuka. Dengan demikian, makna ldul Fitri adalah kembali kepada berbuka setelah mengadakan
pembersihan diri selama bulan Ramadhan. Mengingat bahwa puasa Ramadhan merupakan pembersihan diri maka sudah pasti bahwa hakikat ldul Fitri hanya diraih oleh orang-orang yang benar benar serius dalam membersihkan dirinya.
Namun secara maknawiyah pengertian Idul Fitri selalu diidentikkan dengan kembali kepada Kesucian karena adanya jaminan dalam hadits bahwa orang-orang yang mengerjakan puasa yang semata-mata karena Tuhan maka akan diampuni dosa-dosanya pada tahun yang lampau.
Baca juga: Penggiat Anti Narkoba Indonesia (PANI) Yogyakarta Kumpul Kopdar Ringan
Dalam sebuah hadits Rasulullah menyatakan, untuk melihat berhasil atau tidak puasa yang dilakukan
seseorang hanya dapat dilihat ketika
puasa telah selesai. Jika perilakunya berubah ke arah yang lebih baik dari sebelumnya, setelah menjalankan puasa maka dapat dikatakan bahwa puasanya berhasil. Demikian sebaliknya.
Langkah awal yang harus ditempuh untuk menyambut hari raya ldul Fitri adalah dengan menyempurnakan jumlah hari-hari puasa pada bulan Ramadhan.
Perintah menyempurnakan ini dapat dilihat dari dua sisi yaitu segi hukum dan segi moral. Dari segi hukum bahwa hari raya ldul Fitri dapat dilaksanakan bilamana bilangan hari pada puasa Ramadhan telah sempurna, sedangkan dari segi moral bahwa latihan yang terdapat pada bulan Ramadhan seperti sabar, pemaaf, tawadhu’ dan lain-lain harus dilakukan dengan baik dan sempurna.
Berangkat dari kesempurnaan dua makna ini maka kehadiran hari raya ldul Fitri harus diisi dengan satu ketentuan
yaitu dengan mengagungkan
(membesarkan) Tuhan, takbir dan tahmid.
So guys, sambutlah ldul Fitri sesuai
dengan fungsi dan hakikatnya. Jangan
menenggelamkan diri pada hal-hal yang jauh dari nilai-nilai keislaman yang tak
sesuai dengan ajaran dan prinsip agama
yang mulia ini. Barulah kita akan benar-
benar kembali ke fitrah, dalam pengertian sebenarnya.
Taqobbalallahu minna wa
minkum