SUARA UTAMA – Subuh itu, Rabu pagi (18/06/2025), saya bangun tepat saat adzan berkumandang. Terburu-buru. Tak seperti biasanya, saya naik sepeda motor ke mushola yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah. Takut tertinggal jamaah.
Motor itu satu-satunya kendaraan yang saya punya – hadiah dari kantor saat pensiun.
Saya sempat salat sunnah dua rakaat, lalu iqamah dikumandangkan. Kami pun berdiri menunaikan salat Subuh. Tak ada firasat apa pun. Namun, baru saja saya mengucap salam, seorang jamaah menepuk bahu saya dan bertanya pelan, “Bapak bawa motor? Parkirnya di mana?”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Saya menoleh ke jendela samping. Ruang parkir di luar gelap, kosong. Motor saya tak ada. Hilang. Digondol maling ketika saya sedang sujud menghadap Allah.
Saya gontai pulang. Hati campur aduk. Rasanya tak percaya. Sepeda motor Vario 125 tahun 2019 itu bukan sekadar kendaraan. Ia teman perjalanan: dari Natar ke Dipasena, ke Kota Agung, ke Lampung Utara, ke masjid, ke rumah saudara. Bahkan pernah sampai Tangerang, Banten. Ia saksi bisu atas puluhan perjalanan penuh cerita. Dan kini, ia raib—di saat saya sedang berupaya untuk berbuat taat kepada-Nya.
Saya manusia biasa. Saya ingin marah. Ingin menangis. Ingin bertanya, “Ya Allah, mengapa di saat aku datang menyembah-Mu, justru ini yang terjadi?”
Kehilangan ini bukan sekadar soal materi. Yang lebih menyakitkan adalah rasa aman yang tercabik, harga diri yang terguncang, dan keimanan yang diuji. Tapi di situlah saya sadar: bukan pencuri yang paling berat saya hadapi, melainkan pertarungan batin saya sendiri. Antara rasa syukur dan amarah.
Antara kecewa dan tawakal.
Saya memilih berdamai—agar hati lebih tenang dan tak gundah gulana. Saya belajar menyelami:
1. Kesedihan itu wajar. Tapi jangan terlalu lama mengikatnya. Saya izinkan diri menangis, tapi tidak untuk tumbang.
2. Saya tidak sendiri. Saya berbagi, dan justru menemukan banyak orang mengalami kehilangan yang lebih berat. Saya jadi lebih kuat karena cerita mereka.
3. Saya berhenti bertanya “mengapa aku” dan mulai bertanya “untuk apa ini.” Dan pelan-pelan, saya sadar: Allah sedang memperhalus hati saya.
4. Saya belajar berbicara lembut kepada diri sendiri. Saya katakan, “Ini bukan hukuman, ini latihan.”
Kini saya harus berjalan kaki. Saat membuat laporan ke kantor polisi kemarin, saya beruntung dipinjamkan sepeda motor oleh salah satu jamaah rutin musala. Mobilitas saya memang terhambat. Tapi bisa jadi ini jalan saya untuk lebih banyak merenung, lebih banyak berdzikir, agar lebih menghayati makna kalimat-kalimat yang dulu saya lafalkan:
“Hasbunallahu wa ni’mal wakil” — Cukuplah Allah, sebaik-baik pelindung.
Dari cerita warga, kehilangan sepeda motor di kampung ini sering terjadi. Subuh itu pun, ada warga lain yang sepeda motornya dicuri saat diparkir di teras rumah sepulang dari pasar. Tiga Subuh sebelumnya, juga ada motor jamaah yang dicuri saat salat Subuh.
Apakah ini peringatan sosial bagi kita semua?
Mungkin kita perlu lebih dari sekadar rajin berjamaah—kita juga harus saling menjaga. Membangun sistem keamanan yang kolektif, dan memastikan ibadah kita berdampak pada lingkungan.
Saya memang kehilangan sepeda motor, tapi saya tidak ingin kehilangan arah. Saya belajar bahwa taat bukanlah jalan tanpa rintangan. Justru ujianlah yang membuktikan kemurnian niat.
Bagi siapa saja yang sedang kehilangan—apa pun bentuknya—izinkan saya berbagi:
Kehilangan memang melukai. Tapi ia juga bisa membuka ruang tumbuh.
Tumbuh menjadi pribadi yang lebih sadar, lebih ikhlas, dan lebih bergantung kepada Yang Tak Pernah Hilang: Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Penulis : Nafian Faiz, jurnalis tinggal di Lampung.
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama