SUARA UTAMA – Surabaya, 12 Desember 2025 — Perjalanan Eko Wahyu Pramono, S.Ak memasuki dunia hukum dan perpajakan tidak lahir dari ambisi semata, melainkan dari pengalaman personal yang membentuk kesadarannya akan pentingnya pengetahuan hukum. Pernah berhadapan langsung dengan persoalan hukum tanpa kecakapan ilmu yang memadai, Eko merasakan sendiri bagaimana ketidaktahuan dapat menempatkan seseorang pada posisi yang lemah di hadapan sistem. Pengalaman inilah yang kemudian menjadi titik balik, mendorongnya berkecimpung secara serius di dunia hukum.
Berangkat dari latar belakang Sarjana Akuntansi (S.Ak), Eko awalnya memahami negara melalui angka, laporan, dan kebijakan fiskal. Namun pengalaman berurusan dengan hukum tanpa bekal pengetahuan yang cukup membuatnya menyadari bahwa keadilan tidak selalu berpihak pada mereka yang benar, melainkan pada mereka yang mengerti hukum. Kesadaran itu mendorongnya menempuh S1 Hukum, lalu melanjutkan ke jenjang S2 Hukum, sebagai upaya membangun kecakapan intelektual agar tidak lagi berada dalam posisi rentan di hadapan kekuasaan.
“Saya pernah berada di posisi bingung, takut, dan tidak tahu harus berbuat apa ketika berhadapan dengan hukum. Dari situ saya belajar bahwa ketidaktahuan adalah kerugian terbesar warga negara. Sejak saat itu saya bertekad untuk memahami hukum, bukan hanya untuk diri saya sendiri, tetapi agar orang lain tidak mengalami hal yang sama,” ujar Eko saat diwawancarai wartawan SUARA UTAMA.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan fondasi multidisipliner tersebut, Eko memilih jalur yang tidak lazim bagi lulusan akuntansi, yakni sengketa perpajakan. Ia mengantongi Izin Kuasa Hukum (IKH) Pengadilan Pajak, yang memberinya kewenangan untuk mewakili Wajib Pajak di hadapan majelis hakim. Dalam praktiknya, ia dikenal menangani perkara-perkara yang tidak hanya berkaitan dengan kewajiban fiskal, tetapi juga menyentuh aspek reputasi, keberlangsungan usaha, dan hak-hak warga negara.
Dalam fase profesionalnya, Eko bergabung dengan Kantor Hukum Subur Jaya, sebuah kantor hukum umum yang menangani berbagai perkara pidana dan perdata. Di lingkungan ini, Eko terlibat dalam penyusunan argumentasi hukum yang berkaitan dengan kebijakan publik dan tindakan administratif pejabat negara. Kehadirannya membawa perspektif unik, menghubungkan aspek teknis administrasi dan fiskal dengan prinsip-prinsip hukum acara dan keadilan substantif.
Selain itu, Eko juga aktif dalam Kantor Konsultan Pajak (KKP) Yulianto Kiswocahyono, S.E., S.H., BKP. Melalui KKP ini, ia terlibat dalam analisis SP2DK, pemeriksaan, keberatan, pendampingan Wajib Pajak, hingga penanganan isu-isu kompleks seperti Bukti Permulaan (BUPER) dan pengawasan berbasis risiko. Kolaborasi tersebut memperkaya pengalamannya, menjembatani praktik teknis perpajakan dengan pendekatan hukum yang lebih berimbang.
Komitmen Eko terhadap kepentingan masyarakat semakin nyata melalui keterlibatannya di IWPI (Ikatan Wajib Pajak Indonesia). Melalui organisasi ini, ia aktif mendorong edukasi publik, perlindungan hak-hak Wajib Pajak, serta kritik konstruktif terhadap kebijakan fiskal yang berpotensi menimbulkan ketimpangan relasi antara negara dan warga.
“Negara memang punya kewenangan, tetapi warga juga punya hak. Hukum seharusnya menjadi jembatan keadilan, bukan alat yang menakutkan. Karena itu, edukasi hukum dan pajak menjadi sangat penting,” tambahnya.
Perhatian publik terhadap Eko semakin menguat ketika ia mengajukan gugatan terhadap Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya terkait penolakan pemrosesan ijazah. Gugatan dengan Nomor Perkara 156/G/2025/PTUN.SBY tersebut dipandang sebagai langkah prinsipil untuk menegaskan bahwa tindakan pejabat publik tidak boleh lepas dari kontrol hukum dan asas pemerintahan yang baik.
Selain aktif sebagai praktisi, Eko juga dikenal produktif menulis opini dan analisis hukum di berbagai media. Gaya tulisannya analitis dan filosofis, sering memadukan pemikiran Friedrich Nietzsche, Baruch Spinoza, dan Ki Ageng Suryomentaram. Dari pengalaman pribadinya berhadapan dengan hukum, ia menarik satu kesimpulan penting: bahwa hukum tanpa pemahaman hanya akan melahirkan ketakutan, sementara hukum yang dipahami akan melahirkan keberanian.
Di tengah sistem hukum dan perpajakan yang semakin digital dan algoritmis, Eko konsisten mengusung gagasan humanisme fiscal pandangan bahwa hukum dan pajak harus kembali menempatkan manusia sebagai subjek, bukan sekadar objek administratif. Sebuah sikap yang lahir bukan dari teori semata, melainkan dari pengalaman hidup yang membentuknya.
Dengan kiprah di Kantor Hukum Subur Jaya, KKP Yulianto Kiswocahyono, serta IWPI, Eko Wahyu Pramono menegaskan posisinya sebagai figur muda yang tumbuh dari pengalaman personal menuju advokasi publik. Sebuah perjalanan yang terus bergerak, seiring keyakinannya bahwa keadilan hanya mungkin tercapai ketika pengetahuan dan keberanian berjalan beriringan.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama












