Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menegaskan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) pedagang eceran dalam pembuatan faktur pajak, sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025. Regulasi ini sekaligus memperbarui dan menyempurnakan ketentuan sebelumnya dalam PER-03/PJ/2022.
Salah satu poin penting dalam peraturan terbaru ini adalah bahwa status sebagai pedagang eceran tidak lagi ditentukan berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU). Sebagai gantinya, status PKP pedagang eceran kini merujuk pada karakter transaksi, bukan pada jenis usaha semata.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (4) PER-11/2025, yang dimaksud dengan PKP pedagang eceran adalah mereka yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) langsung kepada pembeli atau penerima yang berstatus sebagai konsumen akhir. Artinya, selama suatu usaha menjual langsung kepada konsumen akhir, maka dapat dianggap sebagai pedagang eceran meskipun tidak diklasifikasikan demikian dalam KLU.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Definisi Konsumen Akhir
Mengacu pada Pasal 52 ayat (2) dalam peraturan tersebut, konsumen akhir didefinisikan sebagai pihak yang membeli atau menerima barang atau jasa untuk dikonsumsi sendiri, bukan untuk dipakai kembali dalam kegiatan usaha. Dengan kata lain, penggunaan barang/jasa yang bersifat pribadi menjadi kriteria utama dalam penentuan perlakuan khusus faktur pajak.
Kemudahan Administratif dalam Faktur Pajak
PKP pedagang eceran diberikan kelonggaran dalam penyusunan faktur pajak. Mereka tidak diwajibkan mencantumkan identitas pembeli, serta tidak perlu menambahkan nama dan tanda tangan pejabat yang berwenang pada faktur. Meski demikian, ada sejumlah elemen yang tetap wajib dicantumkan, yaitu:
- Identitas PKP penjual: nama, alamat, dan NPWP;
- Informasi transaksi: jenis dan jumlah barang/jasa, harga jual, nilai penggantian, serta potongan harga;
- Jumlah pajak: besaran PPN atau kombinasi PPN dan PPnBM yang dikenakan;
- Nomor faktur: kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan.
Yang menarik, DJP tidak lagi mensyaratkan penggunaan nomor seri faktur yang dikeluarkan oleh sistem DJP. PKP diberikan keleluasaan untuk menetapkan kode dan nomor seri faktur sendiri sesuai praktik usaha masing-masing.
Langkah Konsisten DJP
Regulasi ini menunjukkan keberlanjutan kebijakan DJP dalam mempermudah proses administrasi perpajakan bagi pelaku usaha yang berhadapan langsung dengan konsumen akhir. Dengan melanjutkan prinsip yang telah diperkenalkan dalam PER-03/PJ/2022, DJP berupaya memberikan kepastian hukum dan efisiensi bagi pelaku usaha ritel maupun sektor jasa.
PER-11/2025 diharapkan menjadi angin segar, khususnya bagi pelaku usaha yang sebelumnya tidak termasuk dalam kategori pedagang eceran secara formal, namun dalam praktiknya memang berinteraksi langsung dengan konsumen akhir. Ini mencerminkan respons DJP terhadap perkembangan pola konsumsi dan model bisnis yang semakin beragam di era digital.
Praktisi pajak Eko Wahyu menilai aturan ini sebagai bentuk penyederhanaan yang sangat dibutuhkan oleh pelaku usaha ritel. “Pendekatan berbasis karakter transaksi ini jauh lebih adil dan relevan dengan kondisi di lapangan. Banyak pelaku usaha yang tidak diklasifikasikan sebagai pedagang eceran secara KLU, tapi dalam praktiknya memang menjual ke konsumen akhir,” ujarnya.
Eko juga mengapresiasi fleksibilitas dalam penggunaan nomor seri faktur yang tidak lagi bergantung pada sistem DJP. “Ini akan mempermudah integrasi sistem penjualan internal dengan administrasi perpajakan, apalagi bagi usaha kecil dan menengah yang ingin tetap patuh namun memiliki sumber daya terbatas,” tambahnya.
Menurutnya, PER-11/2025 adalah bentuk adaptasi positif terhadap transformasi digital dan model bisnis baru. Ia berharap ke depan DJP terus membuka ruang dialog dengan pelaku usaha agar kebijakan yang dihasilkan semakin responsif dan aplikatif.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Mas Andre Hariyanto