SUARA UTAMA- Di era digital yang serba cepat ini, gaya hidup konsumtif sering kali dijadikan tolok ukur keberhasilan. Banyak orang—termasuk mereka yang berpenghasilan rendah—terjebak dalam pola hidup mewah semu demi memenuhi standar sosial dan eksistensi maya. Fenomena ini kian terasa bahkan di wilayah perdesaan seperti Rawajitu Timur, di mana masyarakat rela berutang demi membeli gawai terbaru atau tampil ‘wah’ di media sosial. Ini bukan lagi sekadar persoalan gaya, melainkan refleksi dari krisis nilai dan ketidakseimbangan antara realitas dan ilusi.
Ada sejumlah faktor yang mendorong kecenderungan ini:
1. Tekanan Sosial dan Media Sosial
Media sosial menampilkan kehidupan orang lain yang tampak glamor dan tanpa cela. Sayangnya, banyak yang lupa bahwa apa yang terlihat hanyalah potongan terbaik, bukan kenyataan utuh. Tekanan untuk terlihat “sukses” menjadi pemicu utama munculnya gaya hidup pura-pura.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
2. Kurangnya Literasi Finansial
Minimnya pemahaman dasar tentang keuangan pribadi membuat banyak orang tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Bahkan di sekolah, literasi finansial belum menjadi materi yang diajarkan secara sistematis.
3. Kebutuhan Akan Pengakuan Sosial
Setiap manusia ingin dihargai. Di era sekarang, banyak yang merasa hanya bisa diakui jika memiliki barang branded, kendaraan keren, atau bisa bepergian ke tempat-tempat mewah, meski secara finansial tidak memadai.
4. Budaya Konsumerisme yang Masif
Iklan dan promosi terus menanamkan gagasan bahwa kebahagiaan ada di barang-barang yang bisa dibeli. Kampanye-kampanye ini seringkali membentuk ilusi: “kalau belum punya ini, kamu belum layak disebut bahagia.”
5. Ketiadaan Rambu Sosial di Lingkungan Terdekat
Di beberapa komunitas, tidak ada pembatas nilai yang mencegah gaya hidup pamer. Justru, yang sering dipuji adalah siapa yang paling “nampak sukses,” bukan siapa yang paling jujur dan tangguh dalam hidup.
Jika terus dibiarkan, perilaku ini dapat menimbulkan dampak yang lebih serius:
1. Krisis Keuangan dan Utang Konsumtif
Cicilan yang menumpuk, terutama dari pinjaman online, kini menjadi masalah umum bahkan di desa. Banyak keluarga yang akhirnya harus menggadaikan aset demi menutupi gaya hidup semu.
2. Gangguan Mental dan Kecemasan Sosial
Ketika standar kebahagiaan ditentukan oleh validasi dari luar, seseorang mudah merasa gagal dan tak berharga. Ini menjadi pintu masuk bagi stres, rasa iri, bahkan depresi.
3. Menurunnya Rasa Kepedulian
Fokus berlebihan pada diri sendiri mengikis empati sosial. Gaya hidup pamer membuat masyarakat menjadi individualistis dan kurang peka terhadap penderitaan sekitar.
4. Terputus dari Realitas Hidup
Obsesi terhadap penampilan di dunia maya bisa membuat seseorang kehilangan makna kehidupan nyata. Yang dikejar hanya pujian digital, bukan kebermanfaatan sosial.
Fenomena ini tidak cukup hanya dihadapi secara personal, tapi perlu pendekatan kolektif:
1. Tingkatkan Literasi Finansial Sejak Dini
Sekolah dan keluarga perlu aktif membekali generasi muda dengan keterampilan mengelola keuangan, menghindari utang konsumtif, dan menanamkan prinsip hidup sederhana namun berkualitas.
2. Kritisi dan Batasi Konsumsi Media Sosial
Masyarakat harus diajak untuk menyadari bahwa tidak semua yang dilihat itu benar. Menyaring konten dan mengurangi waktu berselancar di dunia maya penting untuk menjaga kesehatan jiwa.
3. Bangun Budaya Hidup Bersahaja di Komunitas
Pemuka masyarakat, guru, dan tokoh agama dapat berperan aktif mempromosikan gaya hidup sederhana, jujur, dan saling menolong, bukan pamer dan membandingkan.
4. Fokus Pada Proses dan Nilai Hidup
Daripada mengejar pencitraan, lebih baik bangga pada proses, usaha, dan perjuangan nyata. Menghargai kerja keras lebih penting daripada mengidolakan hasil instan.
5. Ciptakan Ruang Diskusi di Masyarakat
Diskusi kelompok remaja, pengajian ibu-ibu, hingga pertemuan RT bisa dijadikan ruang edukasi ringan tentang pentingnya bijak dalam bergaya hidup.
Gaya hidup mewah yang tak ditopang oleh kemampuan finansial dan kesadaran sosial hanya akan membawa kehampaan. Nilai sejati kehidupan bukan pada seberapa gemerlap yang bisa ditampilkan, melainkan seberapa besar manfaat yang bisa dibagikan. Mari kita ajarkan diri dan generasi muda untuk hidup lebih sadar, lebih bersahaja, dan lebih bermakna—karena hidup bukan tentang siapa yang paling terlihat, tapi siapa yang paling berdampak.
Referensi:
Przybylski, A.K., et al. (2013). Fear of Missing Out. Computers in Human Behavior.
Lusardi, A. & Mitchell, O. S. (2014). Financial Literacy. Journal of Economic Literature.
Baumeister, R.F., & Leary, M.R. (1995). The Need to Belong. Psychological Bulletin.
Schor, J. (1998). The Overspent American.
Keles, B., McCrae, N., & Grealish, A. (2020). Social Media and Mental Health. Int. J. Adolescence and Youth.
Penulis : Yoni Wahyu Sampurna, S.Pd.Gr. – Guru Bahasa Indonesia SMPN Satu Atap 1 Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung
Editor : Nafian Faiz














