SUARA UTAMA – Fenomena meningkatnya eskalasi aksi massa di berbagai daerah Indonesia akhir-akhir ini menimbulkan kekhawatiran akan stabilitas demokrasi dan ketertiban umum. Di tengah kerentanan terjadinya tindakan anarkis, muncul inisiatif dari kalangan aktivis organisasi kemasyarakatan (ormas) kepemudaan dan mahasiswa yang turun langsung sebagai relawan perisai pengamanan. Kehadiran mereka bukan untuk menggantikan aparat keamanan, melainkan sebagai bentuk partisipasi moral dalam menjaga ketertiban sekaligus meredam potensi konflik.
Pandangan Media Nasional
Sejumlah media nasional menilai bahwa peran aktif ormas kepemudaan dan mahasiswa ini mencerminkan kesadaran baru generasi muda untuk ikut serta menjaga ruang demokrasi tetap sehat. Kompas menulis bahwa langkah ini menjadi “sinyal positif di tengah keresahan masyarakat terhadap maraknya aksi massa yang kerap berujung bentrok dan kerusakan fasilitas umum.”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, Media Indonesia menekankan bahwa keterlibatan mahasiswa dan pemuda harus dipandang sebagai gerakan sipil non-partisan. Mereka hadir bukan untuk menghalangi kebebasan berekspresi, melainkan mengingatkan bahwa kebebasan berdemonstrasi selalu melekat dengan tanggung jawab menjaga ketertiban.
Sedangkan Suara Utama ID menyoroti sisi lain: relawan perisai ini juga berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara massa aksi dan aparat keamanan, sehingga mencegah provokasi dari pihak-pihak yang ingin menunggangi demonstrasi.
Pandangan Tokoh Masyarakat dan Akademisi
Tokoh masyarakat sekaligus Ketua Dewan Masjid Indonesia, Jusuf Kalla, memuji langkah ini dengan menyebut bahwa “peran pemuda sebagai penengah konflik adalah tradisi lama bangsa Indonesia, dan kini diperbarui dalam konteks demokrasi modern.”
Akademisi dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Sutaryo, berpendapat bahwa keterlibatan ormas kepemudaan dan mahasiswa dalam pengamanan aksi massa dapat dipandang sebagai fungsi kontrol sosial. “Mereka tidak hanya menuntut perubahan, tetapi juga hadir untuk memastikan proses demokrasi berjalan damai,” jelasnya.
Aktivis senior Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, menambahkan bahwa hal ini menjadi bukti bahwa pemuda tidak sekadar menjadi obyek politik, melainkan subjek aktif dalam menjaga stabilitas nasional.
Implikasi Sosial-Politik
Partisipasi pemuda dan mahasiswa sebagai relawan perisai pengamanan memberi dampak luas. Pertama, menumbuhkan kepercayaan masyarakat bahwa keamanan bukan hanya tanggung jawab aparat, tetapi juga tugas kolektif warga negara. Kedua, memberikan teladan bahwa pemuda tidak selalu identik dengan aksi turun ke jalan, melainkan juga dapat menjadi penjaga demokrasi dari dalam.
Namun, beberapa pihak mengingatkan agar peran relawan ini tidak berkembang menjadi alat politik praktis. Pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro, menekankan pentingnya menjaga independensi gerakan tersebut: “Jika relawan perisai pengamanan ini terseret kepentingan politik tertentu, maka justru akan menimbulkan resistensi dan kehilangan kepercayaan publik.”
Penutup: Fenomena pemuda dan mahasiswa menjadi relawan perisai pengamanan aksi massa adalah potret lain dari dinamika demokrasi Indonesia. Mereka hadir sebagai penyeimbang, peredam potensi konflik, sekaligus penjaga moralitas publik. Dalam konteks yang lebih luas, gerakan ini bisa menjadi warisan demokrasi baru: bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh dipisahkan dari tanggung jawab sosial menjaga kedamaian bangsa.














