Oleh: Abu Mahdi ibn Ibrohim
Pertama, kisah dua anak Nabi Adam ‘Alaihis Salam ketika mereka diperintahkan oleh Allah untuk berkurban. Salah satu anaknya, Habil, sebagai seorang petani, berkurban dengan mempersembahkan hasil pertanian terbaik. Sedangkan saudaranya, Qabil, sebagai seorang peternak, justru berkurban dengan domba (kambing) yang kurus-kurus.
Peristiwa kurban ini adalah awal mula ditetapkannya syariat Allah mengenai qurban bagi manusia. Sebagian ulama tafsir seperti Ibn Jarir Ath-Thobari berpendapat bahwa kisaran jumlah qurban Habil menjadi patokan hukum zakat pertanian. Sedangkan ralat atas kesalahan Qabil kelak menjadi cikal bakal patokan hukum zakat ternak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Allah tidak membutuhkan qurban atau zakat manusia, tetapi yang Allah nilai adalah ketaatan (ketundukan) manusia atas semua perintah-Nya.
Kedua, kisah perkawinan anak-anak Nabi Adam ‘Alaihis Salam. Menurut Imam Abu Ja’far bin Jarir dalam kitab At-Tarikh, Hawa melahirkan 40 anak dalam 20 kali kehamilan. Pendapat ini juga disampaikan oleh Ibnu Ishaq dan dalam Tafsir Al-Qurtubi. Menurut sumber lain, Hawa melahirkan sebanyak 120 kali, di mana setiap kelahiran menghasilkan dua sepasang anak, lelaki dan perempuan. Qabil dan saudarinya, Qalima, adalah anak yang paling tua, sedangkan anak terakhir adalah Abdul Mughits dan saudarinya, Ummul Mughits. Menurut petunjuk Allah, Qabil tidak boleh menikah dengan saudara kembarnya, melainkan dengan saudara kembar Habil, yaitu Labudza. Karena Labudza tidak seberapa cantik seperti saudara kembarnya, Iklima, maka Qabil menolak dinikahkan dengan Labudza. Qabil merasa iri kepada Habil karena mendapatkan istri yang lebih cantik.
Karena peristiwa kurbannya ditolak oleh Allah dan mendapatkan calon istri yang tidak sesuai harapannya, Qabil menaruh dendam kepada Habil dan membunuhnya. Peristiwa pembunuhan ini juga diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 27-31 (baca: Al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 11, hal. 204 dan Al-Qurthubi, cetakan 2003 M: juz VI/hal. 134).
Dari peristiwa tersebut, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa pertentangan hebat seorang manusia berawal dari harta dan wanita. Cinta harta menyebabkan seseorang enggan untuk berinfak (mengeluarkan sebagian rezekinya untuk beramal menolong manusia lainnya), padahal dia tahu benar bahwa Allah tidak membutuhkan hartanya sedikitpun. Allah hanya melihat kebaikan hatinya dalam kepeduliannya kepada sesama manusia. Di situlah nilai kebaikan dan ketaatannya, yang dijanjikan pahala dan kelak akan diganjar dengan surga-Nya. Cinta kepada wanita pun adalah faktor lain yang sangat mempengaruhi nafsu manusia untuk memperturutkan syahwatnya demi meraih kenikmatan yang nilainya kecil sekali jika dibandingkan dengan kenikmatan yang Allah janjikan dalam pernikahan di surga kelak.
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga pernah berpesan agar kita berhati-hati terhadap fitnah wanita, yang diabadikan dalam Al-Qur’an dalam peristiwa yang menimpa Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam pada surat Yusuf ayat 28, dengan lafadz inna kaidahunna ‘adhiim (sesungguhnya tipu daya wanita itu sungguh dahsyat).
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga sudah memperingatkan tentang jebakan harta, sesuai hadits riwayat Abu Hurairah. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
مَا أَخْشَى عَلَيْكُمُ الْفَقْرَ وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمُ التَّكَاثُرَ
“Yang aku khawatirkan pada kalian bukanlah kemiskinan, namun yang kukhawatirkan adalah saling berbangganya kalian (dengan harta).” (HR. Ahmad 2:308. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).
Terhadap fitnah wanita, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga berpesan, dari Sahl bin Sa’d, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِي النَّاسِ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
Artinya, “Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih besar bagi laki-laki selain dari perempuan” (HR Al-Bukhari).
Mudah-mudahan kita diberi kemudahan oleh Allah untuk selamat dari dua musibah yang menyebabkan pertentangan dan fitnah dalam hidup kita, yaitu harta dan wanita. Aamiin.
Penulis : Abu Mahdi Ibn Ibrahim
Editor : Redaksi Suara Utama