Oleh: Prastiyo Umardani
Sekjen lingkaR stUdi maSyarakat dan Hukum (RUSH), menjabat sebagai Ketua Ikatan Alumni Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Entah wacana atau hanya sebuah isu belaka, tersiar kabar bahwa pembatasan kegiatan masyarakat akan kembali diberlakukan. Memberlakukan aturan pengketatan kegiatan dan aktivitas masyarakat tanpa reserve dapat memicu ketidaktaatan pada masyarakat yang lebih luas. Tetapi bukan berarti masyarakat itu dianggap sebagai “Elpidius” atau mau menang sendiri. Mari kita telisik lebih cermat soal ketidaktaatan dan will dari aturan yang meminta seolah harus ditaati.
Ketidaktaatan dan aturan merupakan dua hal yang sandarannya sama tapi struktur pengetahuan atau epistemenya bertolak belakang. Untuk bersikap tidak taat, tidak perlu argumen ketat. Seperti halnya seorang remaja puber yang selalu ogah taat terhadap peraturan sekolah. Tak perlu mencari pertimbangan rasio terhadap ketidaktaatan. Berbeda dengan pengaturan. Aturan memerlukan basis argumen yang kuat dan rasionalitas dalam penerapannya. Tetapi, argumentasi itu tidak berdiri sendiri, ia butuh bersandar pada bangunan kepercayaan. Seseorang harus menaruh kepercayaan terlebih dahulu pada basis-basis argumen yang menyangga aturan tersebut. Barulah ia menerima aturan itu dan mentaatinya.
Ketidaktaatan bersandar ke sisi ketidakpercayaan pada apapun basis argumen dari aturan yang dibuat. Dengan rasio tujuan semulia dan se-urgent apapun, aturan tidak dapat diterima lalu sulit ditaati tanpa sandaran kepercayaan. Ketika ketidakpercayaan itu dapat disingkirkan, aturan akan dapat diterima sekalipun basis argumentnya tidak bisa dapat dicerna, bahkan tidak ada urgensi apapun. Ketaatan dapat terbentuk dengan berdiri di atas kepercayaan saja. Kepercayaan (trust) mampu menghasilkan argumentasi sehingga aturan menjadi lebih rasionable, sekaligus memupus ketidaktaatan. Menuding dan menjudge ketidaktaatan masyarakat pada saat prokes dan PPKM misalnya, bisa sama dengan memupuk ketidakpercayaan menjadi semakin akut.
Antara ketidaktaatan dan aturan keduanya selalu muncul beriringan. Yang mengubah ketidaktaatan secara cepat hanyalah satu: kekerasan atas ketidaktaatan, semua akan taat terhadap peraturan. Yang demikian ini namanya realitas ketaatan dibalut dalam nuansa ketakutan. Yang mengubah ketaatan secara cepat menjadi ketidaktaatan juga hanya satu : musnahnya kepercayaan. Dan seperti halnya perubahan cepat dari gelas dingin menjadi panas akan menghasilkan keretakan: pecah, maka dalam konteks masyarakat, kepercayaan publik yang bergerak arah menjadi ketidakpercayan justru akan menghasilkan energi chaotic.
Ketaatan yang dibalut ketakutan itu juga mengendapkan energi untuk ‘melawan’ ketakutan. Semakin besar tekanan atas rasa takut itu, sebesar itu pula energi perlawanan terhadap ketakutan yang timbul. Semakin besar rasa takut yang disemai pada masyarakat seputar pandemi saat misalnya dan tanggap penanganannnya maka semakin besar energi untuk melawan rasa takut itu. Takutnya pada kekerasan penegakan aturan bukan takut pada pandemi itu sendiri. Ujung dari perlawanan itu adalah : musnahnya kepercayaan pada penegak aturan yang menggunakan cara kekerasan yang bentuk aktualnya adalah pengabaian aturan dan atau perlawanan pada aparat.
Semestinya dalam masa pengendalian wabah, mengertilah kita bahwa menyerang, merepresi, melebelling masyarakat yang tidak taat aturan hanya akan menghasilkan blunder seperti ketidakpercayaan-kepercayaan. Belum lagi menghitung variabel endogen ketidaktaatan masih melimpah dan itu berkelindan dengan ketidakpercayaan
Masa chaotic Romawi diakhiri dengan munculnya Cicero yang mengusulkan ketertiban hukum. Berbilang 17 abad kemudian, Thomass Hobbes menyarankan ketertiban sosial dan tertib politik usai Eropa tenggelam dalam masa pergolakan. Akhir perang dunia I terbit usaha penertiban kekuatan negara dengan asumsi legalistik-normatif. Kalau hukum ditegakkan maka masing-masing pihak akan menjaga stabilitas masyarakat dalam kedamaian. Tapi ini bukan soal perang dan pandemi.