Penulis : Nafian Faiz**
Nafian Faiz Kabiro Tulang Bawang. Suara Utama.id,
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tadi pagi, Sabtu (27/1) sebelum subuh menyapa, saat saya membuka pintu hendak melangkahkan kaki menuju masjid untuk ikut sholat subuh berjamaah-jarak masjid dan rumah hanya berjarak sepelemparan batu saja-saya dikejutkan oleh sesuatu di depan pintu rumah. seonggok karung bekas sak pakan udang memenuhi pandangan saya.
Dengan campuran kebingungan dan rasa penasaran, saya segera membuka karung tersebut, untuk menjawab tanya dalam hati tentang isi karung dari tamu yang tak ingin diketahui identitasnya atau mungkin juga karena tak ingin mengganggu tidur saya dan isteri tadi malam. Ternyata isinya Timun lalapan yang masih seger sekitar 10-15 Kg.
Seingat saya, kami beranjak tidur sekira jam 23.00, karena jam 21.30 saya sampai rumah habis menghadiri acara doa kenduri tetangga yang akan menyelenggarakan acara resepsi pernikahan anaknya. Artinya ada kemungkinan tamu yang membawa “hadiah” itu datang ke rumah di atas jam tersebut.
Kejadian serupa bukan hal asing bagi kami sekeluarga, sering sekali saat kami tak ada di rumah, waktu kami pulang ada saja kantong kresek dicantolkan di depan pintu ataupun di dalam rumah. Pintu rumah kami tak pernah dikunci. Tapi itu dulu, saat keadaan ekonomi masyarakat masih tak sesulit saat ini.
Setelah salat subuh berjamaah, saya merenung dan mengaji diri. Kiriman misterius ini tidak hanya sekadar timun, melainkan sebuah pesan tersirat dari Tuhan.
Pertanyaan muncul dalam hati: Mengapa kiriman ini datang dan pada saat kami sedang tertidur. Saya percaya, ini lebih dari sekadar kebetulan. Ini adalah panggilan untuk merenung dan menghargai kebaikan yang tersembunyi di balik kejadian sehari-hari.
Mungkin, karung timun ini adalah simbol dari kebaikan dan kemurahan hati yang selalu hadir di tengah-tengah kesulitan. Saat masyarakat mengalami tantangan ekonomi dan ketidakpastian, kiriman ini menjadi bukti bahwa kebaikan masih ada, meskipun dalam bentuk yang sederhana.
Bisa jadi, di antara sekelumit kesulitan hidup, ada orang atau kelompok yang peduli. Tidak perlu mengenal mereka secara langsung, tetapi mereka ada di antara kita, ingin berbagi keberkahan dengan cara mereka sendiri. Timun yang saya terima, barangkali, hanyalah lambang dari dorongan untuk berbagi di tengah kesulitan yang melanda.
Ini mengajarkan kita untuk selalu membuka hati dan pikiran terhadap kebaikan yang mungkin datang dari tempat yang paling tak terduga.
Saatnya kita semua meresapi nilai kebersamaan dan saling peduli, sekaligus memberikan inspirasi untuk melakukan tindakan kecil yang dapat membawa perubahan besar. Mungkin, sebuah senyuman, pertanyaan “Bagaimana kabarmu?” kepada tetangga, atau tindakan sederhana lainnya dapat menjadi bentuk kebaikan yang menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik.
Saya bersyukur atas kiriman timun misterius ini, karena telah mengingatkan saya bahwa kebaikan ada di sekitar kita. Mari kita terus membuka mata dan hati, siap menerima dan memberikan kebaikan, sekaligus menjadi bagian dari keajaiban kehidupan ini.
**Wartawan tinggal di Lampung.