SUARA UTAMA –
Refleksi Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Agama atas Bahaya Kesombongan IntelektualSebuah Kutipan yang Mengguncang
Pendahuluan : Sebuah kutipan yang Mengguncang
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam salah satu kutipan paling tajam yang pernah dilontarkan oleh fisikawan legendaris Stephen Hawking, ia berkata:
“The greatest enemy of knowledge is not ignorance, it is the illusion of knowledge.” Musuh terbesar ilmu pengetahuan bukanlah ketidaktahuan, melainkan ilusi pengetahuan.
Pernyataan ini menyentil sisi terdalam dari dunia keilmuan dan keagamaan sekaligus. Ia bukan sekadar mengkritik ketidaktahuan, melainkan mewanti-wanti tentang musuh yang lebih halus namun berbahaya: kesombongan intelektual—keyakinan palsu bahwa kita sudah tahu semuanya. Dalam era informasi yang melimpah, di mana setiap orang merasa berhak menjadi ahli dalam segala hal, kutipan ini terasa makin relevan.
- Perspektif Ilmuwan dan Pemikir Pengetahuan
- Stephen Hawking: Pengetahuan Harus Rendah Hati
Hawking tidak hanya berbicara dari langit fisika teoritis, tetapi dari pengalaman panjang menggali misteri semesta. Ia tahu, semakin dalam kita belajar, semakin kita menyadari betapa sedikit yang kita ketahui.
“Kita hanya spesies lanjutan dari kera di planet kecil yang mengorbit bintang biasa, tapi kita bisa memahami alam semesta.”
Namun, justru kesadaran akan keterbatasan itu yang membuat ilmu pengetahuan tetap hidup.
- Socrates: “Aku Tahu bahwa Aku Tidak Tahu”
Filsuf Yunani kuno, Socrates, telah lebih dulu mengingatkan tentang bahaya ilusi pengetahuan. Prinsipnya sederhana namun radikal:
“The only true wisdom is in knowing you know nothing.”
Bagi Socrates, orang yang mengaku tahu segalanya justru belum benar-benar bijaksana. Pengetahuan sejati lahir dari kerendahan hati intelektual, bukan keangkuhan.
- Karl Popper: Ilmu Bukan Kebenaran Mutlak
Karl Popper, filsuf ilmu abad ke-20, memperkenalkan konsep falsifiabilitas. Menurutnya, teori ilmiah harus terbuka untuk dibantah.
“Ilmu pengetahuan tumbuh melalui penolakan terhadap asumsi-asumsinya sendiri.”
Artinya, keilmuan bukan soal merasa benar, tapi soal kesediaan untuk dikoreksi. Dan itulah antitesis dari ilusi pengetahuan.
- Perspektif Agama: Ilmu yang Tak Mengantarkan Pada Kerendahan Hati, Akan Menyesatkan
- Al-Qur’an: Ilmu Bisa Jadi Kutukan Bila Tak Dibimbing Hati
Dalam Islam, pengetahuan tidak hanya dipandang sebagai kekuatan, tapi juga sebagai amanah. Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya…” (QS Al-Isra: 36)
Ilmu harus membawa manusia pada tawadhu’, bukan kesombongan. Nabi Muhammad SAW pun bersabda:
“Orang yang paling aku takutkan dari umatku adalah orang alim yang fasik.”
Yakni, orang yang punya pengetahuan, tapi terjerat dalam ilusi kebenaran mutlak dan tidak tahu bahwa ia salah.
- Yesus Kristus: Waspadalah Terhadap Orang yang Merasa Paling Benar
Dalam Injil, Yesus berkali-kali menegur para ahli Taurat dan orang Farisi—mereka yang merasa paling tahu tentang hukum Tuhan tapi kehilangan kasih dan kerendahan hati.
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik!” (Matius 23:27)
Ini adalah contoh ilusi pengetahuan dalam bentuk paling religius.
- Pandangan Buddha: “Tidak Melekat pada Pandangan”
Ajaran Buddha menekankan letting go dari kemelekatan, termasuk kemelekatan pada pandangan sendiri. Dalam Kalama Sutta, Sang Buddha menasihati agar seseorang tidak meyakini sesuatu hanya karena:
- Tradisi
- Otoritas
- Mayoritas
- Logika belaka
Melainkan harus diuji lewat pengalaman langsung dan kebijaksanaan batin. Ini adalah bentuk penolakan terhadap ilusi intelektual.
- Analisis Konteks Kontemporer: Ilusi Pengetahuan di Era Digital
Dalam era media sosial, Google, dan ChatGPT, semua orang merasa tahu. Artikel setengah baca, video TikTok 60 detik, atau status viral seringkali menggantikan studi mendalam. Ini melahirkan apa yang disebut oleh psikolog David Dunning dan Justin Kruger sebagai:
Efek Dunning-Kruger — orang yang tahu sedikit merasa tahu banyak.
Ilusi pengetahuan makin diperkuat dengan algoritma yang membentuk “filter bubble”, membuat seseorang hanya menerima informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri.
Penutup: Rendah Hati Adalah Kunci Ilmu dan Iman
Peringatan Stephen Hawking adalah pengingat bahwa pengetahuan sejati bukan soal tahu banyak, melainkan soal kesediaan untuk terus belajar, mempertanyakan, dan menyadari keterbatasan diri.
Para filsuf, ilmuwan, dan tokoh agama dari berbagai zaman dan tradisi telah lama menekankan hal yang sama: ilusi bahwa kita tahu segalanya adalah awal dari kebekuan, kesombongan, bahkan kehancuran. Baik dalam ruang akademik maupun spiritual, sikap merasa “sudah cukup tahu” adalah jebakan halus yang membunuh semangat pencarian.
Di tengah derasnya informasi digital dan banjir klaim kebenaran di era algoritma, manusia modern justru dihadapkan pada tantangan paling mendasar: membedakan antara pengetahuan sejati dan semu, antara kesadaran intelektual dan keangkuhan batin.
Maka, rendah hati adalah fondasi utama bagi siapa pun yang ingin terus bertumbuh. Sikap yang membuka ruang untuk dialog, refleksi, dan pembelajaran lintas batas. Tanpa itu, kita bukan sedang mencari kebenaran, tapi hanya memelihara ego dalam jubah pengetahuan.
Karena seringkali, bukan ketidaktahuan yang membutakan kita—tetapi keyakinan bahwa kita telah melihat segalanya.












