SUARA UTAMA – Di tahun 2025, perbincangan tentang terorisme—terutama yang diberi label “terorisme Islam”—kembali menuntut perhatian publik Indonesia. Meski data besar menunjukkan tren penurunan insiden dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah peristiwa, penangkapan, dan narasi media membuat isu ini tetap relevan dan sensitif. Tulisan ini mencoba menempatkan fenomena terkini dalam tiga poros: (1) konteks lokal Indonesia, (2) realitas dan dinamika global yang memengaruhi aktor-aktor radikal, dan (3) peran media—nasional dan internasional—dalam membentuk persepsi publik. ANTARA News+1
- Gambaran Aktual, tren menurun, bukan berarti hilang
Laporan indeks global dan analisis sejumlah lembaga menunjukkan perbaikan posisi Indonesia dalam indikator terorisme: Global Terrorism Index 2025 menempatkan Indonesia pada tren yang cenderung lebih aman dibandingkan puncak kekerasan dekade lalu — sebuah sinyal bahwa upaya kontra-teror berjalan, setidaknya dalam hal penurunan insiden besar. Namun, angka statistik ini tidak boleh membuat kita lengah: ancaman berubah bentuk—dari sel terorganisir ke aksi terpapar jaringan kecil, lone-wolf, atau insiden yang mempergunakan aktor muda dan terpapar lewat ruang maya.
- konteks Lokal: Penegakan hukum, pencegahan, dan masalah Struktutal
Secara domestik, aparat keamanan—termasuk Densus 88—terus melakukan penangkapan dan operasi terhadap tersangka jaringan radikal; pada 2024–2025 masih tercatat gelombang penangkapan dan jaringan yang dibongkar. Sementara itu, program deradikalisasi dan pembinaan napi terorisme menjadi pilar kebijakan nasional. Namun sejumlah masalah struktural tetap menantang: kemiskinan lokal, marginalisasi sosial, diskriminasi identitas, dan celah pendidikan agama yang moderat menjadi faktor-faktor yang memudahkan pesan radikal menyasar komunitas rentan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
- Realitas Global:Jaringan,Ideologi, dan Kepulangan aktor asing
Fenomena global—seperti keterkaitan ideologi transnasional, propaganda daring, dan pergerakan foreign fighters—terus memengaruhi lanskap lokal. Isu repatriasi tersangka atau tokoh yang berkaitan dengan peristiwa besar masa lalu (misalnya perdebatan tentang repatriasi tokoh jaringan lama) menjadi sorotan internasional dan domestik, menimbulkan pertanyaan soal akuntabilitas, hukum pidana, dan strategi reintegrasi.
Realitas ini menegaskan bahwa penanganan terorisme bukan sekadar operasi polisi, melainkan soal kebijakan luar negeri, penegakan hukum lintas negara, dan program reintegrasi yang komprehensif.
- Evolusi ancaman: dari sel terorganisasi ke actor terpapar media sosial
Salah satu pergeseran paling menonjol adalah semakin besarnya peran media sosial dan ruang digital sebagai medium penyebaran ideologi radikal—termasuk menarik minat pemuda dan pelaku lone-wolf.
Penelitian dan laporan akademik menunjukkan bahwa narasi kecemasan, ketidakadilan, dan ajakan identitas sering kali menjadi pintu masuk bagi ajakan ekstremisme online. Kasus-kasus insiden yang melibatkan pelaku muda atau ‘terinspirasi’ sendiri (self-radicalized) menuntut strategi pencegahan yang lebih fokus pada literasi digital, pengawasan konten berbahaya, dan program deradikalisasi di ruang maya.
- Perspektif Media nasional: nuansa, kritik dan tekanan publik
Media nasional memainkan dua fungsi bersamaan: (a) pemberi informasi yang membantu kewaspadaan publik; dan (b) pembentuk narasi yang dapat memperkuat stigma atau, sebaliknya, mendorong pemahaman nuansa.
Media arus utama Indonesia—seperti Tempo, Kompas, CNN Indonesia dan kantor berita nasional—melaporkan penangkapan, operasi, dan kebijakan secara detail, sambil terkadang mengangkat suara-suara akademik dan tokoh masyarakat untuk konteks. Namun kritik tumbuh bila pemberitaan terlalu menyederhanakan sebab-akibat (menghubungkan tindakan individu langsung dengan agama mayoritas), atau memberi eksposur berlebihan pada klaim tanpa verifikasi.
Dalam beberapa kasus, tekanan publik untuk “tindakan tegas” juga memengaruhi nada pemberitaan dan kebijakan
- Perspektif media internasional: perhatian dan hak asasi
Media internasional (Reuters, AP, The Guardian, Al Jazeera dan lainnya) memantau Indonesia dari lensa yang sering menekankan dua hal: stabilitas regional dan implikasi global (mis. jaringan lintas-negara atau kemungkinan dampak pada wisata & investasi). Mereka juga kerap mengaitkan isu kontra-teror dengan isu HAM ketika terdapat tindakan keras negara—misalnya laporan organisasi HAM tentang pembatasan kebebasan sipil di konteks keamanan—sehingga diskursus internasional sering mengimbangi narasi keamanan dengan catatan hak asasi. Itu penting: tekanan internasional membantu menjaga agar kebijakan kontra-teror tidak berjalan melampaui batas hukum dan HAM.
- Kasus kasus terbaru yang menunjukkan kompleksitas isu
Peristiwa insiden lokal yang melibatkan pelaku muda atau motif yang belum jelas menggarisbawahi kerumitan penanganan: meskipun belum semua peristiwa dipastikan sebagai ‘terorisme’ menurut definisi hukum, dampak psikologis dan politisnya besar—menimbulkan kepanikan, desakan kebijakan, dan simplifikasi narasi.
Contoh-contoh semacam ini menuntut kehati-hatian dalam pelaporan, investigasi forensik, dan komunikasi publik agar tidak memicu stigma terhadap komunitas tertentu
- Dampak Stigma dan Resiko Polarisasi Sosial
Penyebutan “terorisme Islam” sebagai label umum kerap menimbulkan stigma terhadap umat Muslim secara keseluruhan. Padahal, mayoritas komunitas Islam di seluruh dunia justru menolak kekerasan dan menjadi korban dari aksi ekstremis.
Dalam salah satu tulisannya, Prof. John L. Esposito dari Georgetown University menegaskan:
“Label ‘Islamic terrorism’ telah menimbulkan generalisasi yang keliru — seolah kekerasan adalah bawaan dari ajaran Islam, padahal yang terjadi adalah politisasi ekstremisme oleh kelompok kecil yang memanfaatkan simbol agama.” (The Islamic Threat: Myth or Reality? Oxford University Press, 2019).
Pandangan serupa disampaikan oleh Edward Said dalam Covering Islam (1981), yang menyebut bahwa:
“Citra Islam di Barat dibentuk oleh struktur pengetahuan dan media yang sering kali lebih berfungsi politis daripada informatif. Islam digambarkan sebagai ‘yang lain’ yang mengancam, bukan sebagai peradaban yang kompleks dan plural.”
Di media kontemporer, Al Jazeera menulis dalam editorialnya tahun 2024 bahwa:
“Framing ‘Islamic terrorism’ di sebagian besar media Barat masih berakar pada bias kolonial dan kepentingan geopolitik; istilah ini sering dipakai untuk menjustifikasi intervensi dan kebijakan keamanan tertentu di dunia Muslim.”
Sementara media seperti The Guardian menyoroti bahwa:Istilah ‘Islamic terrorism’ tidak digunakan dengan konsistensi yang sama untuk pelaku dari kelompok lain; hal ini menunjukkan bagaimana bahasa keamanan sering kali memantulkan kekuasaan, bukan semata fakta.”
Pandangan-pandangan tersebut menunjukkan bahwa stigma “terorisme Islam” bukan sekadar perdebatan linguistik, melainkan refleksi dari struktur kekuasaan global. Oleh karena itu, media dan pemerintah di Indonesia perlu lebih kritis terhadap istilah yang diimpor dari wacana internasional, agar tidak menimbulkan dampak sosial yang kontraproduktif terhadap kohesi nasional dan hubungan antaragama.
- Rekomendasi Pembuat Kebijakan dan Peran pengaruh Media
Untuk Pemerintah & Aparat Penegak Hukum:Kolaborasi internasional dan transparansi hukum. Perkuat kerja sama intelijen dan mekanisme repatriasi/penuntutan yang patuh hukum internasional. The Guardian;Fokus pada pencegahan melalui pendidikan, ekonomi lokal, dan program rehabilitasi. Pendekatan multisektoral mengurangi basis perekrutan. Scholar UI;Perlindungan HAM saat operasi keamanan, Jaga akuntabilitas agar tindakan tak memicu kritik internasional atau mengikis kepercayaan publik. AP News
Untuk Media Nasional: Lapor dengan konteks dan verifikasi fakta, Hindari headline yang memicu stigma; gunakan istilah hukum yang tepat (mis. “diduga teroris” vs label agama). Tempo.co;Angkat suara lokal progresif, Beri ruang pada ulama moderat, akademisi, dan keluarga korban untuk memperkaya narasi;Bersinergi dengan program literasi digital, Bantu publik memahami bagaimana propaganda daring bekerja sehingga celah perekrutan menyempit. Scholar UI
Untuk Masyarakat Sipil & Komunitas Agama:Perkuat inisiatif deradikalisasi berbasis komunitas. Komunitas sering kali lebih cepat melihat tanda-tanda awal radikalisasi.;Bangun jaringan dukungan bagi keluarga terduga pelaku. Pendekatan restoratif mengurangi potensi pembalikan ke kekerasan.
- Wacana Barat dan Kostruksi terhadap Islam
Isu terorisme yang dilekatkan pada Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang konstruksi wacana global, terutama sejak era pasca-Perang Dingin dan tragedi 11 September 2001. Dalam konteks ini, sejumlah pakar dan media internasional mengkritik bahwa narasi “Islam sebagai ancaman” kerap berfungsi bukan sekadar analisis keamanan, tetapi juga alat politik dan geopolitik.
a) Framing Politik Pasca 9 September: Menurut Noam Chomsky dalam 9/11 and the Aftermath (2011), istilah “War on Terror” yang digagas Amerika Serikat menciptakan kerangka global di mana tindakan politik, militer, dan ekonomi dibungkus dengan legitimasi moral melawan “terorisme”, meski definisinya sangat lentur.
“Ketika istilah ‘terorisme Islam’ digunakan secara selektif, ia menjadi instrumen pembenaran kebijakan luar negeri, bukan sekadar deskripsi ancaman.” — Noam Chomsky, 2011.
Peneliti hubungan internasional Mahmood Mamdani dalam bukunya Good Muslim, Bad Muslim (2004) juga menyatakan bahwa dikotomi antara “Muslim baik” dan “Muslim jahat” diciptakan untuk memisahkan dunia Islam ke dalam kategori politik yang menguntungkan kekuatan Barat:
“Narasi ini mengamankan legitimasi moral bagi intervensi dan dominasi global, dengan menyembunyikan faktor sejarah kolonial dan ekonomi yang sesungguhnya berperan besar.”
b) Peran media dan persepsi public global: Kajian Media, War and Conflict Journal (2023) menemukan bahwa berita mengenai kekerasan yang melibatkan pelaku Muslim tiga kali lebih mungkin menggunakan istilah “terorisme” dibanding berita dengan pelaku non-Muslim. Ini menunjukkan bias struktural yang mengakar dalam pemberitaan global.The Guardian dalam editorialnya tahun 2024 menulis:
“Ketika kekerasan dilakukan oleh orang kulit putih, narasinya adalah ‘gangguan mental’; tetapi ketika pelaku Muslim, ia segera menjadi isu ‘terorisme’. Bias semacam ini memelihara ketakutan dan polarisasi.”
Media Timur Tengah seperti Al Jazeera dan Middle East Eye sering menyoroti bagaimana wacana ini membentuk opini publik dunia dan melemahkan solidaritas antarnegara Muslim.
“Konsep ‘Islamic terror’ telah dijadikan bahasa universal untuk menjustifikasi intervensi, embargo, bahkan proyek politik tertentu di dunia Muslim.” — Al Jazeera Editorial, 2024.
c) Respon dan Pembalikan narasi di dumia islam: Negara-negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia, kini berupaya membalik narasi tersebut dengan menegaskan bahwa Islam bukan sumber teror, melainkan sumber kedamaian dan kemanusiaan. Pemerintah Indonesia dalam beberapa forum internasional, seperti ASEAN Ministerial Meeting on Counter-Terrorism (2024), menekankan pentingnya menghapus label agama dari istilah terorisme.
Sebagaimana disampaikan Prof. Azyumardi Azra (alm.), seorang cendekiawan Muslim Indonesia yang sering menjadi rujukan internasional:
“Radikalisme bukan produk Islam, melainkan hasil dari kombinasi antara politik global, ketimpangan sosial, dan krisis keadilan. Mengaitkannya dengan Islam hanya memperpanjang luka peradaban.”
d) Arah baru, Dekontruksi dan Pendidikan Publik: Ke depan, tantangan terbesar bukan hanya menumpas jaringan teror, melainkan menumpas narasi yang menyimpang. Literasi media dan pendidikan sejarah global menjadi kunci. Universitas, media, dan lembaga keagamaan perlu bersinergi membongkar bias kolonial dalam pemberitaan serta mengajarkan pembacaan kritis terhadap istilah-istilah keamanan global.
Kesimpulan: Isu “terorisme Islam” di Indonesia 2025 harus dilihat dalam lensa yang lebih luas: bukan sekadar ancaman keamanan, tetapi juga pertempuran makna di tingkat global. Stigma yang dibentuk oleh wacana Barat selama dua dekade terakhir telah menciptakan bayangan panjang terhadap umat Islam di seluruh dunia.
Dengan pendekatan yang cerdas, inklusif, dan kritis terhadap media, Indonesia berpotensi menjadi suara penting dalam merumuskan narasi baru — bahwa keamanan global tidak dapat dibangun di atas stigma agama, tetapi atas dasar keadilan dan saling pengertian antarperadaban.
Penulis : Tonny Rivani
Sumber Berita : Referensi: • Global Terrorism Index 2025 (laporan & temuan). Vision of Humanity • Antara / Hukumonline: pelaporan perbaikan peringkat Indonesia di GTI 2025. ANTARA News • Liputan dan arsip berita nasional: Tempo, CNN Indonesia (tag Jamaah Ansharut Daulah). Tempo.co+1 • Laporan AP tentang insiden terbaru dan investigasi motif pelaku (laporan insiden sekolah/masjid). AP News • Laporan organisasi HAM tentang konteks penegakan hukum dan kebebasan sipil. AP News • Analisis akademik dan briefing intelijen tentang evolusi ancaman dan pencegahan di Indonesia. g2webcontent.z2.web.core.usgovcloudapi.net+1














