Ironis ! Donald Trump Merangkul Netanyahu si Pendekar Genosida, Tapi Menendang Pejuang Kemanusiaan Dunia

- Penulis

Sabtu, 26 Juli 2025 - 15:13 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar Ilustrasi dari pixabay : Humanity

Gambar Ilustrasi dari pixabay : Humanity

SUARA UTAMA – “Semua manusia diciptakan setara”—begitulah salah satu kalimat pembuka dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776. Kalimat tersebut menjadi fondasi moral dan politik yang menginspirasi gerakan hak asasi manusia di seluruh dunia. Namun kini, prinsip luhur itu seolah terkubur di tengah kebijakan dan retorika Donald J. Trump.

Mantan Presiden AS dan Menjadi Presiden AS lagi dalam Pilpres 2024 ini kembali menjadi sorotan dunia karena membela mati-matian Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel yang tengah disorot tajam dunia atas tuduhan genosida di Gaza. Di saat sebagian besar pemimpin dunia menyerukan gencatan senjata dan penyelidikan internasional, Trump justru menegaskan bahwa Netanyahu adalah “pahlawan pembela Israel”.

Kontras mencolok muncul saat Trump secara terang-terangan menyerang pejuang kemanusiaan, mulai dari pelapor HAM PBB hingga hakim Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), yang menyuarakan keprihatinan atas penderitaan warga Palestina. Bahkan, Trump sempat menjatuhkan sanksi terhadap Fatou Bensouda, Jaksa ICC yang menyelidiki dugaan kejahatan perang oleh militer AS dan Israel.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Ironis ! Donald Trump Merangkul Netanyahu si Pendekar Genosida, Tapi Menendang Pejuang Kemanusiaan Dunia Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sikap ini bukan hanya kontradiktif, tetapi juga mengkhianati semangat Konstitusi AS dan norma internasional. Konstitusi AS Amandemen Pertama menjamin kebebasan berekspresi dan hak untuk memperjuangkan keadilan. Namun, Trump memilih menyerang tokoh-tokoh seperti Francesca Albanese (Pelapor Khusus PBB untuk Palestina), Greta Thunberg, dan pembela HAM lainnya yang berbicara lantang demi nilai kemanusiaan universal.

Simbol Kebijakan Tanpa Nurani

Netanyahu, dalam laporan PBB dan Amnesty International, diduga bertanggung jawab atas kebijakan militer yang menewaskan lebih dari 35.000 warga Palestina, termasuk ribuan anak-anak. Blokade total terhadap air, listrik, dan bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza telah dikutuk sebagai “bencana kemanusiaan buatan manusia.” Namun, bagi Trump, hal ini dianggap sebagai “tindakan perlindungan diri yang sah”.

Dalam pidatonya di forum keagamaan konservatif di AS awal tahun ini, Trump menyatakan bahwa Netanyahu “melakukan apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan negaranya.” Sebaliknya, ia menyebut PBB sebagai “organisasi korup” yang hanya mempersulit Israel.

Tidak ada satu pun pernyataan belasungkawa dari Trump untuk ribuan korban sipil di Gaza. Yang muncul hanyalah pembelaan mutlak atas sekutu politiknya, disertai retorika yang memojokkan pembela HAM dan komunitas internasional.

Dunia yang Bertanya: Di Mana Amerika?

Reaksi dari media global menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
The Guardian menulis bahwa “Trump menyambut Netanyahu, tapi menutup mata atas kematian anak-anak Gaza.”
Le Monde (Prancis) menyebut kebijakan ini sebagai “lampu hijau bagi kekuasaan tanpa batas.”
Dari Asia, The Hindu (India) menilai bahwa pendekatan Trump “mengikis posisi moral Amerika sebagai jangkar stabilitas global.”

Bahkan Asahi Shimbun (Jepang) menyebut bahwa negara-negara Asia kini mulai mempertanyakan komitmen moral AS, terutama ketika nilai-nilai kemanusiaan mulai dikompromikan demi kepentingan politik.

BACA JUGA :  Reformasi Pajak Yunani: Mitsotakis Umumkan Paket Keringanan untuk Kelas Menengah

The New York Times menyebut kebijakan Trump sebagai bentuk “transactional diplomacy” yang kehilangan jiwa moral.
CNN International menyebut Trump “lebih menyukai diktator daripada diplomat HAM.”
Di Indonesia, Kompas dan Tempo menyoroti ironi ini dalam rubrik luar negeri, menyebut bahwa “dunia sedang menyaksikan kembalinya politik otoriter lewat wajah demokrasi.”

Reaksi Tokoh Agama, Ketua PP Muhammadiyah,  Haedar Nashir, menanggapi fenomena ini secara prinsipil:

“Kemanusiaan adalah nilai universal. Siapapun yang menjauh darinya, apalagi mendukung pelanggarnya, sedang menabrak nurani umat.”

Sementara itu, Prof. Robert George dari Princeton University menilai bahwa politik luar negeri Trump “menciptakan krisis etika bagi generasi muda AS yang tak lagi melihat negaranya sebagai panutan keadilan global.”

Moralitas dalam Krisis ?

Yang dipertaruhkan di sini bukan sekadar kredibilitas politik luar negeri AS, melainkan otoritas moral global. Jika pemimpin negara demokrasi terbesar dunia lebih memilih merangkul pemimpin yang dituduh genosida dan pada saat yang sama menendang pejuang keadilan, maka kita sedang menyaksikan pergeseran global dari nilai menuju kekuasaan.

Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Noah Feldman dari Harvard Law School:

“Ketika seorang pemimpin lebih mendukung penguasa yang dituduh melakukan genosida daripada pendukung hukum internasional, itu adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip pendiri Amerika.”

Penutup: Dunia di Persimpangan Nurani

Kita semua, sebagai bagian dari komunitas global, harus bertanya:
Apakah kita masih memiliki keberanian untuk membela nilai?
Atau justru telah menyerah pada kalkulasi kekuasaan?

Ketika kebenaran dibungkam dan kekerasan dibela, maka diam kita adalah persetujuan. Dan itu bukan hanya ironi sejarah. Itu adalah bencana moral yang kelak akan dikenang sebagai kegagalan besar umat manusia.

Fenomena Donald Trump—yang memeluk tangan berdarah dan menolak tangan bersih—bukan sekadar ironi politik, tapi juga pertanda dekadensi moral dalam diplomasi dunia. Jika pemimpin demokrasi terbesar di dunia membalik standar antara korban dan pelaku, maka dunia kehilangan arah moralnya.

Saatnya publik global, termasuk warga Amerika, merefleksikan kembali makna sejati “life, liberty, and justice for all”—bukan hanya sebagai slogan, tapi sebagai pijakan keberpihakan.

Berita Terkait

Krisis Penegakan Hukum di Indonesia
Pemerintah Sesuaikan PTKP 2025 untuk Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Kaleidoskop 2025: Bukan Sekadar Bencana Alam, tetapi Bencana Tata Kelola
Pernah Berhadapan dengan Hukum, Eko Wahyu Pramono Kini Aktif di Advokasi Publik
Memahami SP2DK dari Kacamata Wajib Pajak dan Fiskus
Moekajat Fun Camp 2025 #1 Sukses Digelar, Pererat Kebersamaan Keluarga Lintas Generasi
FES 2025 Dorong Kolaborasi Positif Generasi Muda Lewat Sport, Expo, dan SEKSOS
Opini: Bayi Panda Raksasa Pertama Indonesia — Harapan Baru Konservasi dari Pelukan Sang Induk
Berita ini 63 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 13 Desember 2025 - 15:21 WIB

Krisis Penegakan Hukum di Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 - 11:16 WIB

Pemerintah Sesuaikan PTKP 2025 untuk Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Jumat, 12 Desember 2025 - 18:30 WIB

Pernah Berhadapan dengan Hukum, Eko Wahyu Pramono Kini Aktif di Advokasi Publik

Jumat, 12 Desember 2025 - 17:49 WIB

Memahami SP2DK dari Kacamata Wajib Pajak dan Fiskus

Jumat, 12 Desember 2025 - 17:13 WIB

Moekajat Fun Camp 2025 #1 Sukses Digelar, Pererat Kebersamaan Keluarga Lintas Generasi

Jumat, 12 Desember 2025 - 16:54 WIB

FES 2025 Dorong Kolaborasi Positif Generasi Muda Lewat Sport, Expo, dan SEKSOS

Jumat, 12 Desember 2025 - 14:45 WIB

Opini: Bayi Panda Raksasa Pertama Indonesia — Harapan Baru Konservasi dari Pelukan Sang Induk

Jumat, 12 Desember 2025 - 09:51 WIB

Menata Ulang Pilkada: Prabowo Tawarkan Model DPRD Tanpa Menanggalkan Kedaulatan Rakyat

Berita Terbaru

Gambar Kegiatan Jambore Pos Yandu Kabupaten Subang 2025 – Sabtu, 13/12/2025.

Berita Utama

Jambore Posyandu Jadi Momentum, Honor Kader di Subang Dinaikkan

Sabtu, 13 Des 2025 - 22:45 WIB

Dr. Firman Tobing

Hukum

Krisis Penegakan Hukum di Indonesia

Sabtu, 13 Des 2025 - 15:21 WIB