SUARA UTAMA – “Semua manusia diciptakan setara”—begitulah salah satu kalimat pembuka dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776. Kalimat tersebut menjadi fondasi moral dan politik yang menginspirasi gerakan hak asasi manusia di seluruh dunia. Namun kini, prinsip luhur itu seolah terkubur di tengah kebijakan dan retorika Donald J. Trump.
Mantan Presiden AS dan Menjadi Presiden AS lagi dalam Pilpres 2024 ini kembali menjadi sorotan dunia karena membela mati-matian Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel yang tengah disorot tajam dunia atas tuduhan genosida di Gaza. Di saat sebagian besar pemimpin dunia menyerukan gencatan senjata dan penyelidikan internasional, Trump justru menegaskan bahwa Netanyahu adalah “pahlawan pembela Israel”.
Kontras mencolok muncul saat Trump secara terang-terangan menyerang pejuang kemanusiaan, mulai dari pelapor HAM PBB hingga hakim Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), yang menyuarakan keprihatinan atas penderitaan warga Palestina. Bahkan, Trump sempat menjatuhkan sanksi terhadap Fatou Bensouda, Jaksa ICC yang menyelidiki dugaan kejahatan perang oleh militer AS dan Israel.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sikap ini bukan hanya kontradiktif, tetapi juga mengkhianati semangat Konstitusi AS dan norma internasional. Konstitusi AS Amandemen Pertama menjamin kebebasan berekspresi dan hak untuk memperjuangkan keadilan. Namun, Trump memilih menyerang tokoh-tokoh seperti Francesca Albanese (Pelapor Khusus PBB untuk Palestina), Greta Thunberg, dan pembela HAM lainnya yang berbicara lantang demi nilai kemanusiaan universal.
Simbol Kebijakan Tanpa Nurani
Netanyahu, dalam laporan PBB dan Amnesty International, diduga bertanggung jawab atas kebijakan militer yang menewaskan lebih dari 35.000 warga Palestina, termasuk ribuan anak-anak. Blokade total terhadap air, listrik, dan bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza telah dikutuk sebagai “bencana kemanusiaan buatan manusia.” Namun, bagi Trump, hal ini dianggap sebagai “tindakan perlindungan diri yang sah”.
Dalam pidatonya di forum keagamaan konservatif di AS awal tahun ini, Trump menyatakan bahwa Netanyahu “melakukan apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan negaranya.” Sebaliknya, ia menyebut PBB sebagai “organisasi korup” yang hanya mempersulit Israel.
Tidak ada satu pun pernyataan belasungkawa dari Trump untuk ribuan korban sipil di Gaza. Yang muncul hanyalah pembelaan mutlak atas sekutu politiknya, disertai retorika yang memojokkan pembela HAM dan komunitas internasional.
Dunia yang Bertanya: Di Mana Amerika?
Reaksi dari media global menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
The Guardian menulis bahwa “Trump menyambut Netanyahu, tapi menutup mata atas kematian anak-anak Gaza.”
Le Monde (Prancis) menyebut kebijakan ini sebagai “lampu hijau bagi kekuasaan tanpa batas.”
Dari Asia, The Hindu (India) menilai bahwa pendekatan Trump “mengikis posisi moral Amerika sebagai jangkar stabilitas global.”
Bahkan Asahi Shimbun (Jepang) menyebut bahwa negara-negara Asia kini mulai mempertanyakan komitmen moral AS, terutama ketika nilai-nilai kemanusiaan mulai dikompromikan demi kepentingan politik.
The New York Times menyebut kebijakan Trump sebagai bentuk “transactional diplomacy” yang kehilangan jiwa moral.
CNN International menyebut Trump “lebih menyukai diktator daripada diplomat HAM.”
Di Indonesia, Kompas dan Tempo menyoroti ironi ini dalam rubrik luar negeri, menyebut bahwa “dunia sedang menyaksikan kembalinya politik otoriter lewat wajah demokrasi.”
Reaksi Tokoh Agama, Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menanggapi fenomena ini secara prinsipil:
“Kemanusiaan adalah nilai universal. Siapapun yang menjauh darinya, apalagi mendukung pelanggarnya, sedang menabrak nurani umat.”
Sementara itu, Prof. Robert George dari Princeton University menilai bahwa politik luar negeri Trump “menciptakan krisis etika bagi generasi muda AS yang tak lagi melihat negaranya sebagai panutan keadilan global.”
Moralitas dalam Krisis ?
Yang dipertaruhkan di sini bukan sekadar kredibilitas politik luar negeri AS, melainkan otoritas moral global. Jika pemimpin negara demokrasi terbesar dunia lebih memilih merangkul pemimpin yang dituduh genosida dan pada saat yang sama menendang pejuang keadilan, maka kita sedang menyaksikan pergeseran global dari nilai menuju kekuasaan.
Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Noah Feldman dari Harvard Law School:
“Ketika seorang pemimpin lebih mendukung penguasa yang dituduh melakukan genosida daripada pendukung hukum internasional, itu adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip pendiri Amerika.”
Penutup: Dunia di Persimpangan Nurani
Kita semua, sebagai bagian dari komunitas global, harus bertanya:
Apakah kita masih memiliki keberanian untuk membela nilai?
Atau justru telah menyerah pada kalkulasi kekuasaan?
Ketika kebenaran dibungkam dan kekerasan dibela, maka diam kita adalah persetujuan. Dan itu bukan hanya ironi sejarah. Itu adalah bencana moral yang kelak akan dikenang sebagai kegagalan besar umat manusia.
Fenomena Donald Trump—yang memeluk tangan berdarah dan menolak tangan bersih—bukan sekadar ironi politik, tapi juga pertanda dekadensi moral dalam diplomasi dunia. Jika pemimpin demokrasi terbesar di dunia membalik standar antara korban dan pelaku, maka dunia kehilangan arah moralnya.
Saatnya publik global, termasuk warga Amerika, merefleksikan kembali makna sejati “life, liberty, and justice for all”—bukan hanya sebagai slogan, tapi sebagai pijakan keberpihakan.














