Penyair
Jhon Minggus Keiya
Singaraja, 25 Agustus 2024
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dikala sabbath, daku merenung seorang
Sang fajar tersenyum menawan bebalik gunung yang menjulang
Pancaran sinarnya nyaris menggugah remang
Aku sapa sinar pagi “Rahajeng semeng”
Sayang… Tak ada sautan dari si Jegeg
Hanya suara hembusan angin dan desiran ombak menghiburku
Aku lepas seutas kata dihelai kertas
dinding “Inikah rasanya perjuangan sedetik dan menjauh”
Kini aku paham, betapa fajar mengajarkanku arti kehidupan ini
Laut Selatan menawarkan sejuta insani
“Kasihilah aku, rawatlah aku kita akan bersama-sama hidup”
Mengertipun tidak cukup menafsirkan naluri ini
Aku seorang pujangga
Tidaklah Sia-sia daku mengembara
Ku daki gunung, ku jejaki lembah, ku sebrangi lautan hingga ke samudera
Dusta…
Dikau berdusta
Kau menghilang dari utara ke selatan selamanya
Aku bahagia hanya sesaat memandang elok tubuhmu
Wahai mustikaku
Tak kupungkiri harapan dalam rasa tak memiliki yang ditamu
Bila penantian Indah ini tak kunjung akhir disapu
Tak daku peduli hingga uban bertumbuh
Menyesal tak sempat aku meminjam pundakmu
Bersandar, biar aku paham arti nyaman itu
Inikah yang disebut rasa “Indah sesaat”
Aku dalam duniamu bagaikan pujangga tersesat
Andai nyaman terus menemani
Aku berjanji, bersedia terus mewarnai
Walau coretan tinta cerita ini hanya Sepanggal
Aku sadar, semuanya tak seindah mimpi dan khayal
Penulis : Jhon Minggus Keiya