DPRD Kota Sungai Penuh Pangkas Anggaran Publikasi: Efisiensi atau Upaya Membungkam Keterbukaan Informasi Publik?

- Penulis

Minggu, 19 Oktober 2025 - 16:32 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi DPRD Kota Sungai Penuh Pangkas Anggaran Publikasi: Efisiensi atau Upaya Membungkam Keterbukaan Informasi Publik? (Reza Nofri Mulya/SUARA UTAMA)

Ilustrasi DPRD Kota Sungai Penuh Pangkas Anggaran Publikasi: Efisiensi atau Upaya Membungkam Keterbukaan Informasi Publik? (Reza Nofri Mulya/SUARA UTAMA)

SUARA UTAMAKeputusan DPRD Kota Sungai Penuh memangkas anggaran publikasi, memicu perdebatan di kalangan jurnalis, pegiat informasi publik, dan masyarakat.

Dalih efisiensi keuangan daerah menjadi alasan resmi. Namun, banyak yang menilai bahwa kebijakan tersebut justru mengancam transparansi dan kebebasan pers— dua hal mendasar dalam demokrasi lokal.

Dalih Efisiensi yang Sarat Kepentingan

Pemangkasan anggaran publikasi disebut sebagai langkah efisiensi belanja daerah.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 DPRD Kota Sungai Penuh Pangkas Anggaran Publikasi: Efisiensi atau Upaya Membungkam Keterbukaan Informasi Publik? Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, publik patut bertanya: Mengapa efisiensi selalu dimulai dari pos publikasi dan komunikasi publik, dan bukan dari anggaran perjalanan dinas, proyek seremonial, atau belanja konsumtif lainnya?

Lebih jauh lagi, beberapa kalangan menilai langkah ini tidak murni soal keuangan.

Dalam praktiknya, pemangkasan sering terjadi ketika pemberitaan media menjadi terlalu kritis terhadap kebijakan daerah.

Jika kritik mulai meningkat, anggaran tiba-tiba menurun— pola yang menunjukkan gejala politik informasi yang tidak sehat.

Media Lokal: Garda Demokrasi yang Mulai Tersisihkan

Media lokal di daerah seperti Sungai Penuh memiliki peran vital sebagai penyambung lidah rakyat dan pengawas kebijakan publik.

Mereka mengabarkan persoalan di lapangan, menyuarakan aspirasi masyarakat, serta mengkritisi kebijakan pemerintah daerah yang tidak berpihak pada rakyat.

Namun, kebijakan pemangkasan anggaran publikasi justru menekan ruang gerak media.

Bagi banyak media lokal, kerja sama publikasi dengan instansi pemerintah merupakan salah satu sumber pendanaan utama untuk bertahan hidup.

Ketika anggaran itu dipotong tanpa mekanisme yang transparan, bukan hanya kelangsungan media, tetapi juga suara masyarakat.

Media yang melemah berarti hilangnya ruang kontrol atas kekuasaan.

Ketika kekuasaan tidak lagi diawasi, maka kesalahan, penyimpangan, dan korupsi mudah bersembunyi di balik kata “efisiensi”.

Situasi ini memperlihatkan bahwa efisiensi anggaran sering kali tidak berjalan seiring dengan semangat keterbukaan.

Keterbukaan Informasi Adalah Hak Publik

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan bahwa setiap badan publik wajib membuka akses informasi kepada masyarakat.

Artinya, anggaran publikasi bukan sekadar biaya promosi, melainkan instrumen untuk memenuhi hak publik atas informasi.

Ketika DPRD memangkas anggaran publikasi tanpa strategi komunikasi alternatif, itu berarti mereka mengurangi hak masyarakat untuk tahu tentang kebijakan, penggunaan APBD, dan program kerja wakil rakyatnya.

Keterbukaan tidak boleh dikorbankan hanya karena alasan penghematan.

Transparansi bukan beban, melainkan investasi kepercayaan antara pemerintah dan rakyatnya.

BACA JUGA :  Melebar, Dana Bos Belum Kelar,  Inspektorat di Minta Mengaudit Semua Bantuan Yang di Kucurkan Ke SMP dan SMK Nurul Istiqomah Desa Rejing. 

Kritik Bukan Ancaman, Tapi Vitamin Demokrasi

Sayangnya, sebagian pejabat di daerah masih menganggap media sebagai ancaman.

Berita kritis dianggap serangan, sementara liputan tajam dicap tidak mendukung pembangunan.

Inilah pola pikir yang berbahaya karena pemerintah yang alergi terhadap kritik cenderung takut pada kebenaran.

Kritik yang sehat justru membantu memperbaiki kebijakan.

Pemerintah yang terbuka akan menjadikan media sebagai mitra dialog, bukan sebagai musuh yang harus dikendalikan lewat kebijakan anggaran.

Politik Informasi: Mengatur Narasi, Membatasi Suara

Praktik pemangkasan anggaran sering kali dilakukan secara selektif.

Media yang memberitakan positif tetap mendapat ruang kerja sama, sedangkan media yang kritis dipinggirkan.

Inilah bentuk politik informasi yang pelan tapi pasti menciptakan iklim pemberitaan yang tidak bebas.

Di banyak daerah, termasuk Sungai Penuh, pola ini mulai terlihat jelas.

Kerja sama media tak lagi didasarkan pada profesionalisme, tetapi pada loyalitas pemberitaan.

Jika ini terus berlanjut, demokrasi lokal akan kehilangan jantungnya.

Efisiensi Sejati Tak Harus Membunuh Transparansi

Efisiensi memang penting, tetapi tidak boleh membungkam kebebasan informasi.

DPRD dan pemerintah daerah seharusnya melakukan penataan ulang, bukan pemangkasan buta.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:

• Menerapkan seleksi terbuka media mitra berdasarkan kinerja dan kredibilitas.

• Melibatkan Dewan Pers dan Komisi Informasi Daerah dalam pengawasan kerja sama publikasi.

• Membangun portal publikasi bersama yang terbuka bagi semua media.

• Mengedukasi aparatur daerah untuk memahami bahwa transparansi adalah bagian dari pelayanan publik.

Dengan demikian, efisiensi tetap tercapai tanpa harus membungkam suara publik.

Penutup: Jangan Biarkan Informasi Menjadi Gelap

Kota Sungai Penuh, seperti banyak daerah lain di Indonesia, membutuhkan media yang kuat, independen, serta kritis.

Bukan media yang bungkam karena ditekan oleh anggaran.

Pemangkasan anggaran publikasi memang bisa menghemat rupiah, tetapi jika itu dilakukan dengan cara menutup ruang informasi, maka yang dihemat bukan biaya, melainkan demokrasi.

Efisiensi boleh, tetapi jangan sampai dijadikan topeng untuk menutupi suara rakyat.

Tanpa keterbukaan, kekuasaan akan berjalan tanpa kendali, dan itu adalah ancaman terbesar bagi masa depan pemerintahan yang jujur dan berintegritas.

Ketika transparansi dipersempit atas nama efisiensi, yang hilang bukan sekadar anggaran, melainkan cahaya yang menerangi ruang demokrasi.

 

 

Penulis : Reza Nofri Mulya

Editor : Nurana Prasari

Sumber Berita : Suara Utama

Berita Terkait

Eksorsisme atau Skizofrenia? Mengurai Ambiguitas Kerasukan dalam Perspektif Medis dan Teologis
Meriah West Java Festival (WJF) 2025 Guncang Kiara Artha Park Bandung
Tim Jelajah Titik Cahaya Tempuh Perjalanan Ekstrem untuk Survei Kebutuhan Masjid di Pedalaman Timor 
Ambiguitas Konsep ‘Menguji Kepatuhan’ dalam Pemeriksaan Pajak: Kritik terhadap Pasal 12A PMK 15/2025
The Seven Lakes Festival 2025 Probolinggo Sukses di Gelar, Ini Harapan Pengunjung 7 Danau dan 7 Air Terjun 
Terindikasi Dugaan Kongkalikong, Pengadaan Barang dan Jasa serta Pengelolaan Gizi RSUD Waluyo jati 
Hakim Pengadilan Pajak Desak DJP Perbaiki Tata Kelola Pemeriksaan dan Pengawasan
Fenomena Korupsi Kepala Daerah, Mengusik Nurani dan Logika.
Berita ini 27 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 8 November 2025 - 21:28 WIB

Eksorsisme atau Skizofrenia? Mengurai Ambiguitas Kerasukan dalam Perspektif Medis dan Teologis

Sabtu, 8 November 2025 - 20:27 WIB

Meriah West Java Festival (WJF) 2025 Guncang Kiara Artha Park Bandung

Sabtu, 8 November 2025 - 13:19 WIB

Tim Jelajah Titik Cahaya Tempuh Perjalanan Ekstrem untuk Survei Kebutuhan Masjid di Pedalaman Timor 

Sabtu, 8 November 2025 - 13:03 WIB

Ambiguitas Konsep ‘Menguji Kepatuhan’ dalam Pemeriksaan Pajak: Kritik terhadap Pasal 12A PMK 15/2025

Sabtu, 8 November 2025 - 09:02 WIB

Terindikasi Dugaan Kongkalikong, Pengadaan Barang dan Jasa serta Pengelolaan Gizi RSUD Waluyo jati 

Jumat, 7 November 2025 - 17:03 WIB

Hakim Pengadilan Pajak Desak DJP Perbaiki Tata Kelola Pemeriksaan dan Pengawasan

Jumat, 7 November 2025 - 12:14 WIB

Fenomena Korupsi Kepala Daerah, Mengusik Nurani dan Logika.

Kamis, 6 November 2025 - 15:24 WIB

Chilean Paradox dan Kerapuhan Kelas Menengah Indonesia

Berita Terbaru