Diaspora Kader dan High Politic Muhammadiyah
Penulis : Rudyspramz
Ketua Majelis Pustaka & Informasi (MPI)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
PDM Kab.Wonosobo
SUARA UTAMA. Dalam KBBI point dari diaspora adalah tercerai berainya warga ke berbagai negara karena berbagai faktor, dalam konteks Diaspora kader Muhammadiyah di berbagai partai politik menunjukkan memudarnya ikatan ideologis pada diri kader, kalau kita merujuk ke ideologi politik aliran masa lalu yang terbelah dalam nasionalisme, Islam dan komunis.
**//Dapatkan Kabar terbaru dan follow di Google News Berita SUARA UTAMA
Diaspora Kader dan High Politic Muhammadiyah
Padahal tantangan ideologi tidak akan pernah mati, ideologi klasik komunis sosialis memang telah hancur, kapitalisme juga menuju kurang kehancuran kemanusiaan. Respon negara komunis beda seperti China bermetamorfosa, dalam politik di terapkan totaliarianisme khas komunisme, namun di ekonomi mengusung kapitalisme, akhirnya China menjadi salah satu kekuatan politik dan ekonomi dunia, demikian pula dengan AS kapitalisme tetap menghargai sosialisme dengan bantuan-bantuan sosial negara ke rakyat miskin. Selain itu muncul pula ideologi-ideologi kontemporer seperti liberalisme, sekularisme, pluralisme, feminisme, gender, konservatisme, yang masuk melalui kemajuan pesat teknologi informasi dan program2 bantuan maupun pemikiran2 dalam tubuh umat Islam dan berlabuh ke partai2 yg ada dan menjadi kebijakan. Dalam situasi ini sesungguhnya kader politik persyarikatan tetap harus memperhatikan aspek ideologis yang berkembang apalagi muhammadiyah sebagai sebuah gerakan Islam berkemajuan
Bagaimana peran politik Muhammadiyah dalam menyikapi semua tantangan tersebut dan bagaimana peran kader Muhammadiyah di berbagai partai politik di tengah tantangan ideologis tersebut ? Untuk mempelajari hal tersebut perlu melihat perjalanan politik dan ideologi sejarah bangsa dalam kurun waktu lebih dari satu abad.
Mulai dari awal abad 20 sejarah perjuangan bangsa terpolarisasi dalam banyak kutub perjuangan : Nasionalisme Jawa (Budi Utomo), Islamisme (Syarikat Islam) dan komunisme (ISDV) saling berseteru tapi relatif bisa bersatu karena menghadapi musuh yang sama yaitu kolonialisme.
Baca Juga : Gerakan Kritis Transformasi dan G erakan Pelajar Kreatif
Diaspora Kader dan High Politic Muhammadiyah
Jaman kemerdekaan memasuki orde lama dalam pemilu 1955 terjadi polarisasi ideologi politik aliran antara nasionalisme, Islam dan komunisme. Islam sendiri terbelah menjadi 2 : Islam modernis (Masyumi) dan Islam tradisionalis (NU) pertikaian politik ideologispun tak terhindarkan membuat Indonesia belum juga bangkit secara politik, ekonomi dan sosial. Kondisi ini berakhir dengan meletusnya G-30-S PKI sebagai tanda berakhirnya orde lama.
Orde baru kemudian melakukan koreksi dan politik deideologisasi, semua partai dan ormas harus berazas tunggal Pancasila, Pembangunanisme menjadi ideologi baru. Akibat kebijakan deideologisasi umat Islam berada dibanyak partai di Golkar dan PDI, dalam perkembangan dibentuk Baitul Muslimin di kedua partai tersebut, sebagai suatu penghargaan dan strategi politik untuk meraup suara umat Islam, namun dibalik itu ada peluang kader politik islam memainkan perannya mengontrol dan mempengaruhi kebijakan yang bertentangan dengan nilai2 Islam.
Baca Juga : Al Maa’uun sukses
Tantangan ideologi kontemporer
Era reformasi bergulir memunculkan kembali semangat ideologis partai-partai baru maupun kelompok2 Islam namun situasi ‘post ideologi politik aliran’ sudah menjadi masa lalu akhirnya ideologi partai2 mencair dan kontekstual, umat Islam sudah tersebar ke berbagai partai.
Tantangan terbesar selain soal-soal kerakyatan dan kesejahteraan juga penetrasi ideologi kebudayaan kontemporer yang mengancam nilai-nilai luhur bangsa, kasus RUU HIP yang berbau atheisme, salam pembuka semua agama yang mengancam tauhid.
Kepentingan Keumatan Muhammadiyah
Muhammadiyah juga bercermin dari pengalaman pahit pemilu 2019 yang membelah rakyat/umat Islam : Jokowi ma’ruf adalah ‘NU’, non muslim dan kebangsaan sedangkan Prabowo Sandi adalah Muhammadiyah dan kelompok radikal/khilafah. Stigma seperti ini merugikan Muhammadiyah sehingga ketika kemenangan di raih oleh pasangan Jokowi Ma’ruf maka tersisihlah orang Muhammadiyah di jabatan publik/ pemerintahan dan berdampak juga pada AUM.
High Politics Kader
Menyadari hal itu low politic harus dihindari, politik wasathiyah dan moderate muslim dibutuhkan, Muhammadiyah jangan sampai diidentikkan pada satu partai tertentu, perlu perluasan medan dakwah di partai politik, maka Diaspora Kader Muhammadiyah di berbagai politik menjadi niscaya.
Inilah ‘politic garam’ bukan ‘politik gincu‘ ada 2 keuntungan sekaligus, akses/kekuasaan/regulasi diraih dan nilai2 moral keagamaan dan kebangsaan bisa kita dakwahkan ke berbagai partai, sehingga kebijakan politik yang dihasilkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Baca Juga : Muhammadiyah dan Isu Lingkungan
Diaspora Kader dan High Politic Muhammadiyah
Oleh karena itu Muhammadiyah memberi ruang bagi kader-kader yang ingin berjuang lewat partai politik namun harus dalam rangka mewujudkan misi Muhammadiyah di partai tersebut, bukan menjadi pragmatis membenarkan ketika ada yang salah secara nilai dan moral demi kekuasaan seperti isu politik kita hari ini : dinasti politik, hukum jadi alat kekuasaan dan ketidaknetralan lembaga negara dalam pemilu. Muhammadiyah bisa menitipkan pesan bahwa perjuangan politik kader politik kader lebih berorientasi ke arah praksis masa depan demokrasi agar bilamana koalisi partai tersebut menang kader Muhammadiyah tetap bisa memainkan peran politiknya dalam mengawal demokrasi yang sempat buram ketika kontestasi dan bagi Muhammadiyah gerakan dakwah dan amal usaha tetap terlindungi dan berkembang. Namun tentunya lebih baik kalau sejak awal kita berada dalam perahu koalisi partai politik yang benar dan tepat.
Mungkin begitu yg bisa disimpulkan sebagai substansi dalam Diskusi Peneguhan Arah Diaspora Kader Persyarikatan dalam Konstelasi Politik hari ini yang diadakan oleh Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Wonosobo, 29 Desember 2023.
rudyspramz291223