SUARA UTAMA – Perdebatan mengenai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, kembali mencuat ke ruang publik. Banyak yang menilai bahwa di balik kontroversi kekuasaan panjangnya, terdapat capaian monumental yang membentuk pondasi ekonomi, politik, dan kemandirian bangsa Indonesia. Kini, muncul pertanyaan mendasar: apakah sudah saatnya bangsa ini menilai Soeharto dengan perspektif sejarah yang lebih adil?
Stabilitas Nasional yang Diwariskan: Mengingat Salah satu jasa besar Soeharto yang sulit diabaikan adalah keberhasilannya menciptakan stabilitas politik dan keamanan nasional pasca-gejolak 1965.
Ketika Indonesia terpuruk akibat kekacauan politik dan ancaman disintegrasi, Soeharto tampil sebagai sosok yang menata ulang struktur pemerintahan dengan disiplin dan arah pembangunan yang jelas.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Stabilitas yang diciptakannya menjadi landasan kokoh bagi tumbuhnya investasi, pembangunan infrastruktur, serta lahirnya generasi teknokrat dan birokrat yang profesional.
Tanpa fondasi stabilitas tersebut, sulit membayangkan Indonesia dapat melangkah menuju modernisasi ekonomi di dekade 1970–1990-an.
Era Swasembada dan Kemandirian Ekonomi
Puncak prestasi kepemimpinan Soeharto terjadi pada tahun 1984, ketika Indonesia dinyatakan berhasil mencapai swasembada beras oleh FAO (Organisasi Pangan Dunia). Pencapaian ini bukan sekadar kebanggaan simbolik, tetapi bukti nyata kemampuan bangsa dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya.
Program intensifikasi pertanian, pembangunan irigasi, penyuluhan, serta kebijakan harga dasar petani membuktikan bahwa negara mampu hadir secara nyata dalam kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan.
Soeharto juga menekankan pentingnya kemandirian ekonomi nasional, dengan memperkuat industri strategis seperti IPTN (kedirgantaraan), PT PAL (maritim), dan Pertamina. Walaupun banyak yang dikritik karena praktik sentralisasi ekonomi, arah kebijakan industrialisasi tersebut menjadi pondasi penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia modern.
Pembangunan dan Modernisasi Nasional
Selama tiga dekade kepemimpinan Soeharto, Indonesia mengalami transformasi besar-besaran. Program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan Pembangunan Jangka Panjang (PJP I) telah mengubah wajah Indonesia dari negara agraris terbelakang menjadi negara berkembang dengan infrastruktur yang maju.Jalan raya, jembatan, sekolah, rumah sakit, dan jaringan listrik dibangun hingga pelosok daerah.
Selain itu, program transmigrasi dan pemerataan pembangunan daerah mendorong integrasi nasional dan membuka lapangan kerja bagi jutaan penduduk. Di era Soeharto pula, kesadaran akan pentingnya pendidikan dan kesehatan dasar semakin meningkat.
Sisi Kontroversial dan Penilaian Sejarah
Tentu tidak dapat diabaikan bahwa masa pemerintahan Soeharto juga diwarnai oleh kritik: pelanggaran HAM, pembatasan kebebasan politik, serta praktik korupsi di lingkaran kekuasaan. Namun, dalam perspektif sejarah, seorang tokoh tidak hanya dinilai dari kelemahan zamannya, tetapi dari kontribusi total terhadap kelangsungan bangsa.
Banyak negara lain memberi gelar kehormatan kepada pemimpinnya yang berjasa besar, meskipun memiliki sisi gelap dalam pemerintahannya — seperti Park Chung-hee di Korea Selatan atau Mahathir Mohamad di Malaysia.
Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah cukup dewasa untuk menilai Soeharto dengan kacamata keseimbangan antara jasa dan kesalahan?
Pandangan Akademisi dan Tokoh Nasional
Sejumlah akademisi menilai, sudah saatnya bangsa Indonesia melakukan rekonsiliasi sejarah terhadap sosok Soeharto.
Profesor Anwar Sanusi dari Universitas Gadjah Mada menilai bahwa, “Tanpa kepemimpinan Soeharto yang tegas dan terstruktur, Indonesia mungkin tidak akan memiliki stabilitas ekonomi seperti saat ini. Ia bukan malaikat, tapi juga bukan diktator tanpa jasa.”
Sementara tokoh nasional seperti Try Sutrisno dan Wiranto menyatakan bahwa Soeharto telah memberikan dedikasi penuh terhadap bangsa, bahkan hingga akhir hayatnya tetap dihormati oleh kalangan TNI dan masyarakat desa sebagai “Bapak Pembangunan”.
Penutup: Saatnya Menghargai Tanpa Mengultuskan
Memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan berarti menutup mata terhadap kekeliruannya, tetapi bentuk pengakuan atas kontribusinya dalam membawa Indonesia menuju era stabilitas dan kemandirian.
Soeharto telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan panjang bangsa ini — sosok yang melahirkan pembangunan, namun juga meninggalkan pelajaran berharga tentang kekuasaan dan moralitas.
Kini, di tengah kebutuhan bangsa akan figur teladan dan kesadaran sejarah, pengakuan terhadap jasa Soeharto dapat menjadi momentum untuk menyatukan kembali pandangan bangsa atas sejarahnya sendiri.














