SUARA UTAMA – Tahun 2025 menjadi salah satu tahun paling menyakitkan dalam sejarah kebencanaan Indonesia, khususnya di Pulau Sumatera. Dari Aceh di ujung barat hingga Lampung di selatan, rangkaian bencana alam datang hampir tanpa jeda. Hujan ekstrem, banjir bandang, longsor, gempa, hingga badai tropis menandai betapa rentannya wilayah ini.
Indonesia berduka—bukan sekali, tetapi berkali-kali dalam satu tahun yang sama.
Gelombang bencana terbaru yang menerjang Sumatera memperpanjang catatan kelam itu. Banjir besar dan longsor yang dipicu hujan ekstrem dan dampak siklon tropis Senyar menyapu berbagai provinsi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hingga akhir November 2025, korban jiwa tercatat melonjak hingga lebih dari 160 orang, ribuan rumah terendam, dan banyak desa terisolasi. Banyak keluarga kehilangan rumah, sanak saudara, mata pencaharian, bahkan harapan untuk memulai kembali kehidupan dalam waktu dekat.
Aceh: Antara Gempa dan Banjir yang Menghantam Beruntun
Aceh kembali menjadi pusat perhatian nasional setelah dihantam dua bencana dalam waktu berdekatan. Gempa bumi mengguncang wilayah pesisir, memaksa ribuan warga mengungsi. Belum pulih dari trauma dan kerusakan, wilayah ini kembali dihajar banjir besar akibat curah hujan ekstrem dari sistem cuaca siklonik yang melintas dekat Selat Malaka. Rumah-rumah hanyut, jembatan terputus, dan banyak desa terisolasi.
Sumatera Utara: Episentrum Bencana 2025
Sumatera Utara merupakan provinsi dengan dampak paling parah. Kombinasi hujan lebat, banjir bandang, dan longsor melumpuhkan kabupaten-kabupaten di lereng dan dataran rendah. Korban tewas terbanyak berasal dari provinsi ini, banyak di antaranya tertimbun longsor yang terjadi pada malam hari ketika warga sedang beristirahat.
Medan, Deli Serdang, dan Langkat mengalami kerusakan luas. Di daerah pedalaman, akses bantuan tidak dapat masuk karena jalan terputus. Pemerintah provinsi terpaksa menetapkan status darurat untuk mempercepat penanganan.
Sumatera Barat: Abu Vulkanik dan Longsor Memperparah Krisis
Sumatera Barat menghadapi kombinasi bencana dari dua sisi: maraknya longsor akibat tanah jenuh air, dan letusan Gunung Marapi yang menyebarkan abu vulkanik ke daerah pertanian. Sekolah ditutup, transportasi terganggu, dan aktivitas ekonomi merosot. Petani menjadi kelompok paling terpukul akibat rusaknya lahan dan gangguan rantai pasok.
Riau dan Jambi: Kebakaran Hutan Menghitamkan Langit, Lalu Diguyur Banjir
Pertengahan tahun sempat diwarnai kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap pekat meluas. Belum lama setelah itu, hujan ekstrem datang, mengakibatkan banjir di wilayah gambut yang seharusnya menjadi penyangga. Dualitas bencana—api dan air—kembali menjadi ironi tahunan yang belum juga berhasil diakhiri.
Bengkulu dan Sumsel: Infrastruktur Tak Berdaya
Longsor besar di Bengkulu kembali memutus jalur Lintas Barat Sumatera, rute vital ekonomi yang sering menjadi korban bencana berulang. Sementara di Sumatera Selatan, banjir merendam ribuan hektar sawah di Ogan Komering Ilir dan Banyuasin, membuat ribuan keluarga petani kehilangan musim tanam.
Lampung: Badai Tropis, Rob Besar, dan Kerusakan Pesisir
Lampung dihantam badai tropis yang langka. Gelombang tinggi memorak-porandakan kawasan pesisir, merusak perumahan nelayan dan pelabuhan perikanan. Dampaknya bukan hanya kerugian fisik, tetapi juga kerugian ekonomi jangka panjang, mengingat Lampung adalah salah satu simpul logistik penting menuju Jawa.
Mengapa Bencana Menjadi Begitu Parah di Tahun 2025?
- Perubahan Iklim yang Makin Ekstrem
Cuaca tidak lagi bisa diprediksi dengan pola lama. Intensitas curah hujan, frekuensi badai, dan suhu permukaan laut memberi sinyal bahwa bencana hidrometeorologi akan semakin sering.
- Kerusakan Lingkungan yang Berkepanjangan
Deforestasi, pembukaan perkebunan tanpa kontrol, eksploitasi tambang, serta pembangunan yang tidak memerhatikan tata ruang menjadikan Sumatera semakin rapuh.
- Urbanisasi dan Permukiman di Zona Merah
Banyak kawasan rawan longsor dan banjir telah berubah menjadi permukiman karena tekanan ekonomi dan pertumbuhan penduduk.
- Kesenjangan Mitigasi Antardaerah
Tidak semua daerah memiliki early warning system, jalur evakuasi, dan kapasitas relawan yang memadai. Ketimpangan ini terlihat jelas dalam kecepatan respon dan tingkat keselamatan warga.
Duka Panjang Indonesia: Lebih dari Sekadar Bencana Alam
Bencana 2025 bukan hanya tragedi geologis atau meteorologis; ini adalah tragedi sosial dan pemerintahan.Ketika ratusan nyawa melayang dan ribuan rumah rusak, yang juga hancur adalah rasa aman publik. Setiap kali hujan turun, warga di wilayah rawan harus tidur dengan was-was. Setiap getaran kecil tanah bisa memicu trauma lama.
Solidaritas masyarakat, relawan, dan pemerintah pusat memang bergerak cepat, tetapi derajat kerusakan begitu luas sehingga pemulihan membutuhkan waktu lama.
Agenda Kebangsaan: Saatnya Berubah, Bukan Sekadar Meratap
Jika Indonesia ingin mengakhiri siklus duka tahunan ini, maka ada beberapa langkah penting:
- Revolusi Mitigasi Bencana :Pemasangan sensor banjir, sistem peringatan dini, peta rawan bencana yang dipublikasikan secara terbuka, hingga pendidikan kebencanaan wajib di sekolah.
- Reformasi Tata Ruang & Penegakan Hukum Lingkungan : Tidak boleh ada kompromi untuk bangunan di zona berbahaya, pembukaan lahan sembarangan, atau industri yang merusak ekosistem.
- Infrastruktur Tahan Bencana: Jalan, jembatan, bendungan, hingga rumah warga harus dirancang untuk menghadapi cuaca ekstrem dan ancaman geologis.
- Penguatan Daerah: Pemerintah daerah harus dibekali anggaran, SDM, dan kewenangan lebih besar untuk bertindak cepat ketika bencana menghantam.
Penutup: Luka Sumatera adalah Luka Indonesia
Apa yang terjadi dari Aceh hingga Lampung bukan sekadar rentetan bencana, melainkan cermin rapuhnya relasi kita dengan alam dan lemahnya komitmen mitigasi selama ini.Indonesia berduka, tetapi duka harus menjadi titik balik, bukan sekadar catatan tahunan.
Sumatera — pulau saksi sejarah, pulau penyumbang energi dan pangan, pulau peradaban Nusantara — kini meminta satu hal: jangan biarkan bencana terus menjadi tradisi.
Dari reruntuhan dan banjir yang menggenang, Indonesia harus bangkit lebih tangguh. Karena jika Sumatera kembali hancur, maka seluruh Indonesia akan ikut menanggung lukanya.














