SUARA UTAMA – Di Jepang, seorang pejabat bisa meletakkan jabatannya hanya karena merasa gagal menjaga kepercayaan publik. Di Indonesia, pejabat justru kerap memilih bertahan mati-matian, bahkan berlari dari tanggung jawab ketika publik menuntut kejelasan. Dua wajah kepemimpinan yang kontras ini memperlihatkan perbedaan moralitas politik di Asia.
Mundur sebagai Martabat di Jepang
Di Negeri Sakura, jabatan publik dipandang sebagai amanah yang sarat beban moral. Seorang menteri bisa mundur hanya karena salah ucap, terlambat menanggapi bencana, atau tersandung kasus kecil administrasi. Bagi masyarakat Jepang, pengunduran diri bukanlah kelemahan, melainkan bentuk penghormatan kepada rakyat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Media NHK beberapa kali menyoroti bagaimana tradisi “budaya malu” menuntun pejabat untuk bertanggung jawab penuh, bahkan sebelum hukum atau oposisi menekan. Profesor politik dari Universitas Tokyo menyebut hal ini sebagai bentuk giri—kewajiban moral untuk menjaga kehormatan negara di atas kepentingan pribadi.
Lari dari Tanggung Jawab di Indonesia
Sebaliknya, di tanah air, budaya “lari” justru lebih sering terlihat. Ketika tersandung kasus korupsi, kegagalan kebijakan, atau skandal pribadi, pejabat publik kerap memilih bersembunyi di balik klarifikasi panjang, saling menyalahkan, atau berlindung pada prosedur hukum.
Kompas dan Tempo berulang kali mencatat bagaimana pejabat di Indonesia enggan mundur, bahkan meski jelas kehilangan legitimasi moral. Pengamat politik dari Universitas Indonesia menyebut fenomena ini sebagai krisis etika kepemimpinan: jabatan dianggap hak istimewa, bukan mandat yang sewaktu-waktu bisa dilepas demi menjaga marwah.
Pandangan Tokoh dan Ormas
Ketua Umum Muhammadiyah menegaskan, pejabat publik seharusnya meneladani sikap ksatria: berani mengakui kesalahan dan mundur secara sukarela. Dari kalangan Nahdlatul Ulama, pesan serupa digaungkan: jabatan adalah amanah, bukan sekadar kursi yang harus dipertahankan dengan segala cara.
Tokoh lintas agama pun melihat ada krisis teladan. “Budaya malu nyaris hilang. Yang muncul justru budaya pura-pura tak bersalah,” ujar seorang pengamat sosial dari UGM.
Sorotan Media Internasional
Fenomena ini bahkan kerap menjadi bahan sorotan dunia. BBC menulis, seorang pejabat Jepang mundur hanya karena salah mengisi laporan dana politik, sementara di Indonesia, pejabat bisa tetap bertahan meski tersandung kasus miliaran rupiah. Perbandingan ini menyakitkan, tapi sekaligus membuka mata: ada jurang besar dalam standar moralitas kepemimpinan.
Menakar Moralitas Kepemimpinan
Pertanyaannya, apakah Indonesia siap belajar dari Jepang? Demokrasi tanpa moralitas akan melahirkan pejabat yang pandai berkelit, bukan pemimpin yang bertanggung jawab. Jika budaya mundur di Jepang dimaknai sebagai kehormatan, maka budaya lari di Indonesia justru memperlihatkan wajah kekuasaan yang rapuh.
Moralitas kepemimpinan tidak hanya ditakar dari seberapa lama seseorang duduk di kursi kekuasaan, tetapi dari keberanian mundur demi menjaga marwah bangsa. Dan di titik inilah, Indonesia masih tertinggal jauh.
Kesimpulan dan Penutup
Budaya mundur di Jepang lahir dari etika politik yang menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya, sementara budaya lari di Indonesia tumbuh dari mentalitas mempertahankan jabatan dengan segala cara. Kontras ini memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia masih menghadapi pekerjaan rumah besar dalam membangun politik berbasis moralitas, bukan sekadar politik prosedural.
Jika Indonesia ingin keluar dari lingkaran ketidakpercayaan publik, maka diperlukan keberanian kolektif: keberanian pejabat untuk mundur saat gagal, keberanian partai politik untuk menegakkan disiplin moral, dan keberanian masyarakat untuk menuntut standar kepemimpinan yang lebih tinggi.
Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan soal bertahan di kursi kekuasaan, melainkan soal kejujuran pada diri sendiri dan tanggung jawab pada rakyat. Jepang sudah lama mengajarkannya. Pertanyaannya: kapan Indonesia berani mengikuti?














