“Bukanlah peristiwa yang sporadis atau kebetulan.”
Suara Utama – Dalam pendekatan ekonomi-politik kekerasan, bahwa pembunuhan yang terjadi di hutan Patani, Halmahera Tengah, Maluku Utara, bukanlah peristiwa yang sporadis atau kebetulan.
Ini bukan pula kecelakaan sejarah, atau takdir sejarah. Kasus pembunuhan di hutan Patani itu sangat erat kaitannya dengan persoalan ekonomi. Motif-motif lain yang berdekatan dengan masalah, dendam, rasial atau pun agama hanya faktor berikutnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terkait dengan sejarah pembantaian atau pembunuhan di Halmahera Tengah, Maluku Utara tak sepi dari hal itu.
Abad 16,17 dan 18, Halmahera Tengah yang terbentang dari Weda, Patani, Maba, serta Gebe dan Raja Ampat yang merupakan aliansinya, adalah wilayah yang dikontrol penuh oleh Kerajaan Tidore, Belanda, VOC, melalui ekspedisi hongi-nya.
Wilayah Mesa, Wale, Dotte, Patani hingga ke dataran Wasile, sebagaimana digambarkan dalam buku “Dunia Maluku,” yang ditulis Leonard Andaya, merupakan wilayah subur bagi pemasukan keuntungan VOC, Belanda serta Kerajaan.
Orang-orang Weda, Patani, Maba sebagaimana digambarkan juga dalam buku pemberontakan Nuku yang ditulis oleh Muridan, bahwa ketiga wilayah tersebut diwajibkan harus memberikan upeti (pajak) baik berupa komoditas atau manusia belian hasil dari tangkapan dan penjarahan.
Selain itu, tanaman pala yang ditanam, juga buah pala yang dijual harus dalam kontrol kebijakan VOC Belanda yang berorientasi pada kepentingan pasar Eropa. Ini sudah menjadi kewajiban di masa itu dan sudah diatur dalam kesepakatan atau pun regulasi.
Apabila kesepakatan ekonomi atau regulasi itu tidak ditaati oleh orang Weda, Patani, Maba, maka tak heran pada abad 17-18, Leonard Andaya dalam bukunya “Dunia Maluku” menceritakan bahwa orang-orang di tiga negeri (Weda, Patani, Maba), lewat ekspedisi hongi VOC Belanda dan Kerajaan selalu memberikan penghukuman, pembakaran rumah bahkan pembunuhan terhadap mereka.
Ekspedisi hongi VOC Belanda yang didukung oleh Kerajaan Tidore di masa itu telah melenyapkan seperti tiga dari populasi orang Maluku, entah mereka bermigrasi atau dibantai.
Jamil Salmi dengan pendekatan Ekonomi-politik kekerasan, menuliskan bahwa kepentingan ekonomi (akumulasi modal) berbanding lurus dengan akumulasi kekerasan : perbudakan, rasisme, perang, kelaparan dan kejahatan yang tak terungkap.
Lalu bagaimana kita menggunakan pendekatan ekonomi-politik kekerasan dalam melihat persoalan pembunuhan di Hutan Patani, Halmahera Tengah ?
Pertama-tama kita harus membuka diri dan tidak fanatik dalam arti menyangkal bahwa sejarah Halmahera Tengah termasuk wilayah Patani memiliki sejarah kekerasan yang berakar dari persoalan ekonomi rempah-rempah yang di monopoli oleh Kerajaan Tidore pada mulanya dan VOC Belanda ketika kelahirannya hingga menjarah selama kurang lebih 200 tahun.
Menganalisa kekerasan hingga pembunuhan warga di hutan Patani beberapa waktu lalu harus dilihat dari sudut pandang objektif, tak bisa dari sudut pandang pribadi atau pendapat orang per orang. Misalnya kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di hutan Patani itu dikarenakan adanya sakit hati, kebencian, balas dendam atau hal pribadi lainnya.
Selain itu, persoalan rasial dan agama bukan juga sebagai satu faktor utama dalam kekerasan dan pembunuhan. Misalnya menilai bahwa kekerasan dan pembunuhan di hutan Patani itu diduga atau dilakukan oleh orang hutan yang identik dengan suku Togutil atau pula dilakukan oleh kelompok non muslim, ini sangatlah ambigu atau tidak berdasar.
Hanya dengan pendekatan ekonomi-politik kekerasan, tragedi tidak manusiawi di hutan Patani bisa dijadikan dasar utama kekerasan dan pembunuhan terjadi.
Orde Baru, sebagaimana sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kekerasan dan pembunuhan sering terjadi, hal ini dikarenakan sistim kekuasaan dan politiknya sangat otoriter dan militeristik, sudah menjadi pandangan umum di kalangan mahasiswa, akademisi, politisi, pengamat politik, pakar hukum, aktivis dan serikat buruh, serikat tani dan LSM bahwa kekuasaan Orde Baru masa itu sangatlah loyal dengan kepentingan asing.
Tragedi Malari atau peristiwa Malari di tahun 1974 jelas nyata mengungkapkan penolakan modal asing Jepang lewat aksi besar-besaran hingga terjadi penjarahan toko-toko para pengusaha China dan semua yang dianggap berbau modal. Namun itu hanyalah skala kecil dari kepentingan modal asing di Indonesia.
Pintu gerbang modal asing adalah dengan lahirnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UPMA), yang merestui Papua dikuasai Freeport dengan saham milik Amerika, serta beberapa wilayah lain di Indonesia.
PT. Nusa Halmahera Mineral (NHM) yang mengekploitasi kandungan emas di perut bumi Halmahera Utara saat ini, awalnya sudah tercium dari tahun 70-an, namun pasca kerusuhan agama tahun 1999 baru perusahaan tersebut beroperasi secara terbuka, dalam ekploitasinya secara terbuka tentunya membawa dampak pada keberlangsungan hidup orang lokal di sekitar wilayah tambang, terutama kehidupan Suku Kao dengan adanya pengkaplingan dan perampasan lahan serta hutan hingga terjadi penembakan terhadap seseorang yang bernama Rusli Tungkapi.
Tak hanya Halmahera Utara, kepentingan Orde Baru juga memonopoli rempah-rempah di bumi Maluku, juga kepentingan puluhan ribu kubik kayu lewat perusahaan kayu yang beroperasi di jazirah tersebut.
Goerge Djunus Adijondro Sosiolog Universitas Sanata Dharma yang tutup usia beberapa tahun lalu, dalam pekerjaannya sebagai peneliti dan penulis lepas mengungkapkan bahwa di masa Orde Baru ada perusahaan kayu bernama Delta Force beroperasi di dataran Halmahera, namun perusahaan tersebut tidak berkantor.
Tak hanya itu, di bumi Halmahera Tengah, saat ini beribukota di Weda, terutama di pedalamannya, Desa Banemo, wilayah Patani Barat, pada masa Orde Baru eksis beberapa perusahaan logging kayu yang berkepentingan menjarah hutan dan mengambil pohon kayunya yang berkualitas, perusahaan tersebut di antaranya:
Perusahaan logging pertama PT. Barito tahun 1980-1987, yang disinyalir atau diduga milik keluarga Soeharto.
Perusahaan kayu PT. Henrison 1996 dan diusir oleh warga Desa Banemo karena merusak dan menebang pala.
Juga masih di masa Orde baru, ada lagi perusahaan PT. Trisetya dengan kontrak tiga tahun, sikap masyarakat Banemo sama menginginkan tanaman pala mereka serta hutannya jangan dirusak.
Pasca Orde Baru, perampasan ruang hidup masyarakat pun semakin masif, yang menyedihkan ialah pada tahun 2014, hutan Banemo kembali menjadi wilayah empuk untuk sebuah investasi skala besar dengan memetakan wilayah hutan Banemo seluas 11.870 ha untuk dijadikan perkebunan sawit milik PT. Manggala Rimba Sejahtera.
Selain perusahaan perkebunan sawit yang mencoba masuk, juga ada isu perusahaan batu bara yang akan masuk serta emas yang didulang orang di hutan Damuli antara hutan kecamatan Patani Timur dan kecamatan Patani Barat
Rupanya Hutan Patani, memiliki kandungan hasil alam yang tersimpan, berupa nikel, batu bara, emas, biji besi, bauksit, asbes, dan mineral kekayaan lainnya, kandungan mineral ini sangat dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan besar tentunya tergantung seberapa luas sebarannya dan sudah layakkah dieksploitasi.
Dengan terdeteksinya hasil alam tersebut, beberapa bulan ini, warga menemukan beberapa para peneliti di dalam hutan sedang mengambil sampel batuan untuk meneliti kadar keakuratannya.
Tak hanya di darat, di laut pun dieksploitasi sehingga begitu banyak kapal-kapal ikan milik perusahaan beroperasi baik legal mau ilegal di perairan Patani.
Secara geopolitik, wilayah Patani dilirik oleh kepentingan modal, bahkan wilayah ini dihimpit oleh dua wilayah yang sangat strategis secara ekonomi kapitalistik, sebelah timurnya ada dataran Halmahera Timur yang sudah lama beroperasi perusahaan-perusahaan nikel, sedang sebelah utaranya wilayah Weda dimana terdapat perusahaan tambang termasuk beroperasinya perusahaan nikel terbesar di dunia dari Asia Tiongkok yang menjarah habis wilayah tersebut.
Hal ini tak bisa dipungkiri adanya hubungan ekonomi atas lajunya pembangunan infrastruktur berskala nasional di wilayah Patani mulai dari jalan nasional yang menghubungkan Weda sebagai Kabupaten dengan kecamatan-kecamatan di wilayah Patani, juga program lumbung ikan nasional yang sarana dan prasarana pendukungnya akan di bangun.
Hubungan berikutnya adalah kemajuan informasi dan komunikasi untuk akses masyarakat terhadap dunia luar, tanpa disadari, pemikiran global serta kemajuan wilayah luar yang berbasis pada kepentingan asing atau modal asing merubah pola pikir kita, terlebih bagi mereka yang masih awam tanpa dibekali oleh pengetahuan yang dalam akan membawanya pada penerimaan secara positif dan kelak akan menjadi bagian dari masyarakat konsumtif.
Kesemua hal ini justru tidak sejajar dengan sumber daya manusia dan pola hidup sosial masyarakat Halmahera, yang mata pencahariannya bertumpuk atau berbasis pada pala, cengkeh dan kelapa yang tak mampu menopang kesejahteraan mereka.
Artinya tidak ada pengetahuan modern dan tekhnologi dalam sistim pertanian untuk mendukung kesejahteraan masyarakat, pemerintah dalam hal ini lebih memprioritaskan kepentingan modal asing ketimbang Kesejahteraan rakyatnya.
Wilayah Patani yang hutannya masih alami karena belum mengalami kerusakan akibat tambang, kini sudah ada beberapa puluh izin perusahaan yang sejak lama ingin masuk, selain itu hutan Patani pun sudah dihimpit oleh keberadaan dan ekploitasi alam (nikel) di wilayah tetangga, baik sebelah timurnya, Utara, serta selatan.
Meski sekarang hutannya masih belum mengalami kerusakan akibat tambang, namun bisa membawa pengaruh bagi siapa saja yang ingin masuk dan berkepentingan di dalamnya, karena selain kekayaan alam batu bara, nikel, emas, bauksit, biji besi, juga hutan Patani yang menyimpan kekayaan lainnya, seperti puluhan burung yang dilindungi, rusa, babi, serta hutan pala yang luar biasa hasilnya. Kekayaan hutan Patani saat ini tak lagi dimiliki oleh wilayah-wilayah lain.
Mari kita lihat data Forest Watch Indonesia terkait kerusakan hutan Halmahera Tengah (Halteng), berdasarkan data dari Forest Watch Indonesia (FWI) yang mencatat bahwa total deforestasi di Halteng pada periode tahun 2000-2017 mencapai 48.388 hektare. Dan lokasi terjadi deforestasi di Halmahera tengah, secara umum, tersebar di beberapa titik seperti area tambang seluas 16.232 hektare, area Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) seluas 3.510 hektare. Deforestasi juga terjadi pada lahan yang tumpah tindih seluas 8.723 hektare dan pemanfaatan lahan di luar izin seluas 19.923 hektare.
Sementara itu, luas tutupan hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ake Waleh (Sungai Waleh) sendiri sampai dengan tahun 2017 memiliki luas 19.622 hektare, dengan laju deforestasi seluas 4.540 hektare (2000-2017). Kabupaten Halmahera Tengah memang memiliki luas daratan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan luas daerah lautan secara keseluruhan. Luas daratan Halteng adalah 2.276,83 km² atau 27 persen, sedangkan luas lautan mencapai 6.104,65 km² atau sekitar 73 persen dari luas wilayah secara keseluruhan wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang tercatat sekitar 8.381,48 km² (sumber: SIFATARU Maluku Utara dan Papua).
Nah, semua deforestasi hutan terbesar berdasarkan dari data Forest Wacth Indonesia itu berada di wilayah yang bertetangga dengan Hutan Patani.
Sehingga hal ini memungkin hutan Patani yang masih subur itu adalah milik siapa saja, kelompok tak dikenal mana saja, yang kelak bisa saja bersitegang dengan masyarakat asli Patani yang merupakan pemilik sah hutan tersebut.
Hal ini saya buktikan sendiri, namun masih dalam pendapat pribadi, “ketika suatu hari saat masih berkerja di PT. IWIP, teman saya yang tak perlu saya sebutkan namanya dan dari kampung mana mengatakan pada saya bahwa dirinya dan beberapa orang berniat masuk kedalam hutan Patani untuk berburu.
Menurut ceritanya bahwa hutan yang masih tersedia hasil buruan hanyalah di wilayah Patani, wilayah lain seperti Jailolo (Halmahera Barat), dan Halmahera Utara tak lagi tersedia, yang tersedia adalah wilayah hutan Patani dan sebagian hutan Halmahera Timur.
Dari ceritanya itu saya sudah jauh berfikir bahwa ketika dia mengungkapkan niatnya berburu di hutan Patani dan Haltim tentunya sudah ada yang lebih dulu keluar masuk wilayah tersebut berburu dan sebagainya.
Itu hanyalah sekedar gambaran untuk menegaskan bahwa kemungkinannya ada orang atau kelompok yang berkepentingan dengan hutan Patani karena kekayaan alamnya dan ketersedian sumber buruan.
Bisa jadi orang atau kelompok ini adalah manusia-manusia yang di wilayah awalnya tak lagi tersedia sumber penghidupan baginya, ya mungkin saja karena dampak dari kepentingan modal semisalnya tambang yang beroperasi.”
Orang atau pun kelompok masyarakat mana saja akan mengalami frustasi jika sumber kekayaan alamnya berupa hutan mengalami deforestasi (kerusakan) oleh keberadaan tambang sehingga sumber makanannya menghilang, terlebih bagi orang-orang pesisir yang sudah biasa dengan hasil hutan.
Orang-orang yang mulanya tersingkir, pada akhirnya akan mencari wilayah baru untuk memenuhi kebutuhan hidup. Belum lagi ada kelompok yang suka melirik dan berburu hasil mineral bumi seperti emas yang pengambilannya lewat proses dulang, apalagi wilayah hutan Patani tempat terjadinya insiden kekerasan dan pembunuhan disinyalir memiliki hasil emas.
Kemungkinan terburuk lainnya, bahwa bisa saja wilayah hutan Patani yang disinyalir memiliki hasil emas itu sudah merupakan kaplingan pihak tertentu, sebab rentetan masalah sebelum terjadi kekerasan dan pembunuhan, terlebih dahulu muncul teror dari kelompok tak dikenal dengan cara menakuti warga Patani Barat yang pergi di kebun, kelompok tak dikenal itu memanah dan memperlihatkan senjata tajam. Dan teror demikian sering terjadi di lokasi yang disinyalir pula memiliki hasil sumber daya alam.
Dalam ekonomi-politik kekerasan, bahwa kelompok yang masuk hutan Patani atau datang mencari tempat yang subur untuk penghidupan mereka, berburu misalnya, atau kelompok pencari hasil alam mineral, emas, misalnya yang kemudian seringkali bertemu dan bersitegang dengan warga Patani yang memiliki hutan tersebut. Kelompok demikian merupakan korban dari kepentingan ekonomi (akumulasi modal) yang membawa dampak pada perampasan hutan, eksploitasi kekayaan alam sehingga membuat orang-orang di wilayah tersebut kehilangan mata pencaharian, apalagi bagi mereka yang sudah biasa berkebun dan berburu rusa, tentunya akan mengalami ketidakmampuan dalam perubahan pola hidup yang demikian, sehingga hal ini memicu orang-orang atau kelompok untuk mencari nafkah ke dalam hutan yang lebih jauh bahkan bisa masuk sampai wilayah suku tertentu, mulanya mungkin akan biasa saja, namun seiring dengan kebutuhan ekonomi akan memicu terjadinya konflik dan sebagainya, bahkan bisa sampai pada pembunuhan.
Ekonomi-politik kekerasan juga berkerja dengan cara yang lain, misalnya munculnya kepentingan ekonomi yang berkaitan dengan akan masuknya perusahaan di wilayah hutan Patani, yang secara dinamika sosial politik bahwa hampir mayoritas masyarakat Patani menolak adanya perusahaan, penolakan demikian pun bisa juga melahirkan hal-hal seperti teror sehingga membuat masyarakat takut masuk lebih jauh ke hutan atau takut membuka kebun yang lebih jauh lagi.
Inilah yang menurut Jamil Salmi, bahwa kepentingan ekonomi (akumulasi modal) berbanding lurus dengan akumulasi kekerasan: perbudakan, rasisme, kelaparan, pembunuhan hingga kejahatan yang tak terungkap.
Banemo, 27 Maret 2021
Ditulis: Firmansyah Usman, Jurnalis dan Pecinta Sastra
Penulis : Firmansyah Usman