SUARA UTAMA- Setiap kali bencana datang—baik itu kebakaran, gempa bumi, atau banjir—kita sering melihat banyak orang berlarian membantu, sementara yang lain hanya menonton, menangis, atau merekam kejadian tersebut. Dalam dunia yang penuh dengan kepedulian sesaat, apakah kita benar-benar berbuat cukup untuk mereka yang membutuhkan?
Sebagai manusia, kita sering kali tergerak oleh empati saat menyaksikan penderitaan orang lain. Dalam setiap bencana alam, kemiskinan, atau kesulitan yang dialami sesama, rasa iba muncul dengan cepat. Air mata menjadi simbol bahwa kita turut merasakan kesakitan itu. Namun, apakah air mata dan merekam peristiwa benar-benar mencerminkan bentuk kepedulian yang mendalam? Atau hanya reaksi instan yang tidak berujung pada tindakan nyata?
Di era digital ini, kita lebih cepat mengeluarkan ponsel untuk merekam peristiwa daripada memberikan bantuan langsung. Merekam tentu bukan hal yang salah; bisa jadi tindakan tersebut menjadi langkah awal untuk kepedulian. Namun, sejauh mana hal itu dapat mengubah keadaan orang yang membutuhkan?
ADVERTISEMENT
![Air Mata dan Sapu Tangan 3 IMG 20240411 WA00381 Air Mata dan Sapu Tangan Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama](https://suarautama.id/wp-content/uploads/2024/04/IMG-20240411-WA00381.jpg)
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sering kita menyaksikan sekelompok orang berdiri terdiam, menatap dengan sedih, atau menyeka air mata. Mereka mungkin merasa bahwa air mata adalah bentuk simpati terbaik yang bisa diberikan. Namun, dalam banyak hal, air mata saja tidak akan menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh mereka yang menderita.
Seorang ibu yang kehilangan rumahnya karena kebakaran, atau seorang anak yang kehilangan orang tuanya karena bencana alam, tidak hanya membutuhkan air mata—mereka membutuhkan bantuan nyata. Mereka membutuhkan uluran tangan yang dapat mengembalikan sedikit harapan, bukan simpati yang hilang setelah beberapa saat.
Memposting musibah di media sosial atau mengelap air mata mungkin memberi kita rasa lega sesaat, tetapi apakah itu cukup untuk mengubah keadaan mereka yang membutuhkan? Itulah yang lebih penting: apakah simpati kita berlanjut menjadi aksi nyata yang dapat membantu meringankan beban mereka?
Empati sejati seharusnya menggerakkan kita untuk bertindak. Menangis bersama mereka, meski menunjukkan simpati, tidak akan cukup jika dibandingkan dengan memberikan bantuan berupa makanan, tempat tinggal sementara, atau bahkan dukungan moral yang lebih nyata.
Namun, kenyataannya, banyak dari kita terjebak dalam zona nyaman ini—menangis tanpa berbuat apa-apa. Kita merasa cukup dengan perasaan, tanpa benar-benar berusaha untuk mengubah keadaan. Ini adalah kecenderungan manusia untuk merespons secara emosional, tanpa melangkah lebih jauh.
Sudah saatnya kita lebih peka terhadap kenyataan ini. Jika kita benar-benar peduli, maka langkah pertama yang harus kita ambil adalah mengubah air mata menjadi aksi.
Kita bukan hanya penonton penderitaan orang lain. Sudah saatnya kita menjadi agen perubahan, beraksi nyata, dan membuktikan bahwa empati kita bukan sekadar kata-kata, melainkan langkah nyata untuk membantu mereka yang membutuhkan.
Seperti pepatah mengatakan, “Tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata.” Empati yang sejati adalah ketika kita bergerak, bukan hanya merasakan. Tidak ada yang lebih bermakna selain memberikan bantuan konkret yang dapat meringankan beban mereka yang membutuhkan.
Sebagai masyarakat, kita harus belajar untuk tidak hanya menunggu tangisan, tetapi juga menjadi agen perubahan yang menghadirkan solusi. Air mata mungkin membuka mata kita terhadap realitas kesulitan orang lain, tetapi hanya dengan bertindak kita bisa mengubah nasib mereka.
Penulis : Nafian faiz : Jurnalis, tinggal di Lampung