Pajak PBB Picu Fatwa MUI: Di Mana Peran Ulama dalam Dinamika Negara?

- Penulis

Sabtu, 29 November 2025 - 09:46 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar Penampakan Acara Munas 11 MUI di Jakarta 20 – 23 Novenber 2025 di Jakarta.

Gambar Penampakan Acara Munas 11 MUI di Jakarta 20 – 23 Novenber 2025 di Jakarta.

SUARA UTAMA — Pernyataan MUI menyatakan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni (rumah tinggal / hunian non-komersial) seharusnya tidak dikenakan pajak berulang (PBB-P2). Fatwa itu ditetapkan dalam Munas XI MUI pada Minggu, 23/11/2025 bertempat di Hotel Mercure Ancol, Jakarta.

Alasannya: Hunian dan rumah tinggal dianggap sebagai kebutuhan pokok / kebutuhan primer masyarakat, bukan objek yang sifatnya produktif atau sekunder/tersier. Pajak—menurut fatwa—seharusnya dikenakan hanya pada harta yang memiliki potensi produktif atau konsumtif sekunder/tersier, bukan kebutuhan dasar seperti rumah atau sembako.

Ketegangan antara kebijakan negara dan respons keagamaan kembali mencuat ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait praktik Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Polemik ini menunjukkan bahwa relasi antara otoritas keagamaan dan negara masih rapuh serta belum menemukan titik keseimbangan. Negara membutuhkan legitimasi moral, sementara ulama membutuhkan ruang untuk menjaga kepatuhan umat. Ketika salah satu merasa tidak didengar atau dilewati, benturan pun terjadi — dan kasus PBB adalah salah satu cermin utamanya.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Pajak PBB Picu Fatwa MUI: Di Mana Peran Ulama dalam Dinamika Negara? Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Fatwa MUI dan Rasa Ketidakadilan Umat

Fatwa MUI berangkat dari keresahan sebagian masyarakat bahwa beban PBB dianggap semakin berat dan tidak selaras dengan kemampuan ekonomi warga. Di beberapa daerah, kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) memicu keluhan luas, terutama pada kelompok berpenghasilan rendah, pensiunan, dan warga yang tinggal di kawasan yang mendadak dinilai “mahal” oleh kebijakan zonasi.

Dalam kondisi di mana subsidi tidak merata, layanan publik dirasa belum optimal, dan daya beli masyarakat melemah, isu pajak sangat sensitif. Fatwa MUI muncul sebagai respons moral atas situasi yang dianggap tidak adil.

Namun, pertanyaan yang mengemuka adalah: Sejauh mana ulama bisa dan boleh masuk ke wilayah fiskal negara?

Pajak, Kewajiban Warga Negara, dan Batas Intervensi Agama

Dalam sistem demokrasi modern, pajak merupakan instrumen negara untuk menjalankan fungsi publik. Negara memiliki legitimasi berdasarkan konstitusi, bukan legitimasi religius.

Di titik ini, perdebatan menghangat: MUI menilai pajak harus mempertimbangkan aspek keadilan syariah.; pemerintah menegaskan bahwa pajak adalah kewajiban sipil, bukan domain fatwa.

Dalam negara yang mayoritas penduduknya Muslim, garis batas itu kerap kabur. Masyarakat memeriksa kepatuhan agama sekaligus menuntut transparansi kebijakan. Hal inilah yang membuat isu PBB mudah membesar menjadi kontroversi nasional.

Apakah Negara Mengabaikan Peran Ulama?

Polemik ini juga memperlihatkan persoalan lain yang tidak kalah penting: peran ulama dalam pengambilan kebijakan negara.

Selama ini, pemerintah memang melibatkan ulama dalam isu moral, moderasi beragama, hingga deradikalisasi, tetapi ketika menyangkut kebijakan ekonomi, fiskal, atau pertanahan, suara ulama sering dianggap “di luar domain”.

BACA JUGA :  Makna Asas “Ignorantia Excusatur Non Juris Sed Facti” dalam Penegakan Hukum Indonesia

Padahal, di banyak negara: Ulama menjadi bagian dari konstituante moral negara., Institusi agama menjadi mitra strategis dalam advokasi keadilan sosial., Dewan syariah diberi ruang konsultatif, bukan sebagai pembuat kebijakan, tetapi sebagai penjaga etika publik.

Indonesia sendiri memiliki kekayaan tradisi “fiqh sosial” yang seharusnya membuka ruang dialog konstruktif antara pemerintah dan ulama.

Namun faktanya, hingga fatwa keluar, tidak terlihat adanya forum strategis yang coba mempertemukan pihak terkait untuk membahas kenaikan PBB secara inklusif.

Masyarakat Di Tengah Tarikan Negara dan Ulama

Publik, terutama umat Muslim, justru menjadi pihak yang paling terdampak. Ketika negara berbicara dengan dasar regulasi, dan ulama berbicara dengan dasar moral agama, masyarakat sering terjebak di tengah, bingung: mana yang harus didengar terlebih dahulu?

Di lapangan, dampak perdebatan ini muncul dalam bentuk: Kebingungan warga soal kepatuhan pajak.; Potensi turunnya kepatuhan fiskal akibat label “tidak sesuai syariah”.; Menguatnya pandangan bahwa negara kurang sensitif terhadap suara umat.

Polemik PBB membuka ruang baru: bahwa relasi antara negara dan ulama perlu dibenahi dengan komunikasi yang lebih terbuka dan saling menghormati peran.

Perlu Mekanisme Baru: Dewan Etik Publik Nasional

Melihat pola konflik yang semakin berulang — dari vaksinasi, BPJS, hingga kini PBB — Indonesia membutuhkan mekanisme permanen yang mempertemukan tiga unsur: Negara (kementerian teknis);Ulama dan tokoh agama lintas agama ; Akademisi, ekonom, dan pakar kebijakan publik

Model ini bukan untuk mencampurkan agama dengan negara, tetapi untuk menempatkan agama sebagai penasihat etik bagi kebijakan negara.

Dengan demikian: Fatwa bukan lagi reaksi, tetapi masukan sejak awal.; Pemerintah tidak dianggap pragmatis semata.;Ulama tidak dianggap hanya mengkritik di belakang.

Kesimpulan: Menemukan Titik Temu antara Regulasi dan Moralitas Publik

Kasus PBB dan fatwa MUI menunjukkan bahwa relasi negara–ulama masih memerlukan perbaikan fundamental. Negara punya wewenang membuat kebijakan, tetapi ulama juga punya tanggung jawab moral menjaga rasa keadilan masyarakat.

Yang hilang selama ini adalah dialog sistematis, bukan reaksi episodik.

Jika pemerintah mampu membuka ruang konsultasi yang lebih luas dan terstruktur, dan ulama dapat menempatkan fatwa sebagai panduan etis (bukan tekanan politik), maka keseimbangan baru bisa terwujud.

Akhirnya, polemik PBB mengajarkan kita satu hal penting:

Negara tidak boleh berjalan tanpa moral, dan ulama tidak boleh bergerak tanpa memahami realitas kebijakan. Di antara keduanya, masyarakat menunggu keputusan yang adil.

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 17 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Senin, 1 Desember 2025 - 13:17 WIB

Banjir Sumatera: Bukan Soal Warga Lalai Menjaga Hutan, Tapi Ulah Mafia Kekuasaan

Berita Terbaru