SUARA UTAMA – November 2025 menegaskan satu kebenaran pahit: banyak bencana di Indonesia bukan semata soal alam yang murka, tetapi karena tata kelola yang rapuh dan kepemimpinan yang gagal membaca risiko. Banjir, longsor, kebakaran lahan, serta kegagalan infrastruktur yang terjadi di berbagai daerah menunjukkan bahwa akar persoalannya lebih banyak bersifat struktural dan politis.
Media nasional mencatat bahwa hampir seluruh peristiwa November 2025 memiliki pola yang sama: tanda bahaya sudah muncul sejak jauh hari, tetapi tidak ditangani dengan serius. Sebuah editorial harian Kompas menulis, “Kita terlalu sering menunggu bencana datang sebelum bertindak. Ini bukan soal curah hujan, ini soal kepemimpinan.”
Banjir: Ketika Perencanaan Kotapraja Gagal Total
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
BMKG sejak Oktober sudah memberikan peringatan dini bahwa curah hujan ekstrem akan meningkat di awal November. Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG, dalam konferensinya, menegaskan bahwa banjir bukan hanya akibat hujan:
“Curah hujan hanyalah pemicu. Kerentanan muncul karena tata ruang dan kapasitas drainase yang buruk. Itulah akar masalahnya.”
Namun, di banyak kota, drainase yang tersumbat, ruang resapan hilang, dan izin pembangunan seenaknya menjadikan hujan sebagai alasan untuk menutupi keteledoran kebijakan.
Peneliti tata ruang dari ITB, Dr. R. Ismail Aziz, mengatakan bahwa sebagian besar kawasan terdampak banjir November 2025 “sebenarnya sudah diprediksi” sejak kajian risiko lima tahun lalu. “Masalahnya bukan ketidaktahuan, tapi ketidaktegasan,” ujarnya.
Longsor dan Kebakaran Lahan: Siklus yang Tak Pernah Diputus
Longsor yang terjadi di wilayah perbukitan Jawa Barat dan Sulawesi tidak mengejutkan banyak ahli geologi. BNPB bahkan telah menandai 314 titik rawan longsor sejak tahun lalu.
Namun, izin pembangunan di lereng curam terus berjalan. Pengawasan vegetasi minim. Rehabilitasi hutan terbengkalai.
Sementara itu, kebakaran lahan kembali terjadi di Sumatra dan Kalimantan. Padahal pola kebakarannya hampir identik dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pakar lingkungan UI, Prof. Bambang Setiadi, menegaskan:
“Ketika pola bencana berulang identik setiap tahun, itu bukan lagi bencana alam. Itu bencana tata kelola.”
Infrastruktur yang Gagal: Bencana yang Dibangun Manusia
Kerusakan jembatan, tanggul yang jebol, dan runtuhnya beberapa bangunan publik di November 2025 memperlihatkan rapuhnya standar konstruksi di Indonesia.
Media Tempo menyoroti dugaan permainan tender: “Ketika kualitas bangunan dikorbankan demi harga terendah, yang tumbang bukan hanya infrastruktur, tetapi juga kepercayaan publik.”
Seorang insinyur senior dari PUPR—yang diwawancarai secara anonim—mengatakan, “Banyak proyek didesain baik, tetapi dipangkas saat eksekusi. Ini bom waktu yang akhirnya meledak.”
Kegagalan Kepemimpinan: Masalah Sesungguhnya
Jika benang merah semua bencana November 2025 dirangkum, satu kata mencuat paling jelas: kepemimpinan.
Kepemimpinan yang reaktif dibanding preventif.Kepemimpinan yang lebih sibuk menampilkan konferensi pers daripada membangun mitigasi risiko sebelum bencana terjadi.Kepemimpinan yang kompromis terhadap tekanan politik, investor, dan kepentingan jangka pendek.
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP), Dr. Henny Wardani, menyebut situasi ini sebagai:“Bencana struktural yang lahir dari kepemimpinan yang tidak punya keberanian menegakkan aturan.”
Indonesia Tidak Kurang Ahli—Yang Kurang Adalah Kemauan Politik
Indonesia memiliki ahli geologi terbaik, insinyur berkualitas, lembaga riset kuat, dan sistem peringatan dini yang terus membaik. BNPB, BMKG, BIG, dan para akademisi telah memberikan peringatan dan data hampir setiap tahun.
Namun data tidak berarti apa-apa jika pemimpin tidak menggunakannya sebagai dasar kebijakan.
Sebuah laporan investigasi Majalah Gatra merangkum situasi ini:
“Kita bukan bangsa yang tidak tahu. Kita bangsa yang sering kali tidak ingin tahu.”
Pelajaran November 2025: Bencana yang Seharusnya Bisa Dicegah
Pelajaran utama dari November 2025 adalah bahwa bencana di Indonesia bukan hanya fenomena alam, melainkan fenomena politik.
Untuk itu, ada tiga langkah mendesak:
- Pemimpin yang Berbasis Data, Bukan Retorika
Pemimpin daerah dan nasional harus menjadikan kajian risiko sebagai pijakan, bukan formalitas.
- Reformasi Tata Ruang dan Pengawasan
Izin pembangunan harus berbasis risiko lingkungan, bukan transaksi politik-ekonomi.
- Mitigasi Jangka Panjang, Bukan Seremonial
Penguatan drainase, reboisasi, inspeksi infrastruktur, dan penataan ulang ruang publik harus menjadi prioritas nasional.
Penutup: Bencana Kepemimpinan Lebih Berbahaya dari Bencana Alam
Alam memang tak bisa dikendalikan, tetapi dampaknya bisa diatur, dicegah, atau diminimalisir.Yang tidak bisa dikendalikan adalah pemimpin yang tidak mau belajar. November 2025 seharusnya menjadi peringatan keras:
“Jika kepemimpinan tidak dibenahi, bencana berikutnya tinggal menunggu waktu.”














