SUARA UTAMA – Gagasan redenominasi rupiah kembali naik ke permukaan. Pemerintah dan Bank Indonesia menekankan bahwa kebijakan penghilangan tiga nol dalam rupiah hanyalah penyederhanaan pecahan, bukan sanering atau pemotongan nilai.
Sejarah Keberhasilan Redenominasi Mata Uang Global telah dilakukan oleh banyak negara dengan hasil yang berbeda-beda. Namun di antara berbagai contoh di dunia, terdapat beberapa kasus sukses yang sering dijadikan rujukan oleh ekonom dan pemerintah, termasuk oleh Bank Indonesia. Keberhasilan ini umumnya dipengaruhi oleh stabilitas ekonomi, kepercayaan publik, dan transisi yang terencana.
Namun bagi masyarakat, pertanyaannya sederhana dan fundamental: apakah redenominasi benar-benar bermanfaat untuk rakyat dan meningkatkan kesejahteraan, atau hanya kosmetik ekonomi tanpa dampak nyata? Untuk itu ada baiknya kita mengetahui Jenis jebis redenominasi, yaitu:
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
- Redenominasi Stabil: Dilakukan pada saat kondisi ekonomi relatif sehat untuk memodernisasi transaksi, seperti di Turki (2005) atau Rusia (1998).
- Redenominasi Krisis: Dilakukan karena hiperinflasi atau runtuhnya kepercayaan publik, seperti di Zimbabwe atau Venezuela.
Dalam kasus ini, redenominasi biasanya tidak efektif kecuali dibarengi reformasi menyeluruh.
Indonesia mengarahkan kebijakan ini ke kategori redenominasi stabil, karena tujuannya bukan menghadapi hiperinflasi, melainkan melakukan modernisasi sistem pembayaran.
Redenominasi, Apa yang dijanjikan Pemerintah?
Bank Indonesia sejak lama mendorong penyederhanaan rupiah agar transaksi lebih efisien, laporan keuangan lebih ringkas, serta meningkatkan persepsi internasional terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.
Pejabat BI berulang kali menggarisbawahi bahwa redenominasi bukan pemotongan nilai. Seperti disampaikan seorang Deputi Gubernur BI dalam berbagai kesempatan:
“Nilai riil uang tidak berubah. Harga Rp10.000 menjadi Rp10 setelah redenominasi, tetapi daya beli tetap sama.”
Pemerintah menempatkan redenominasi sebagai bagian dari modernisasi sistem pembayaran nasional, terutama di era digital.
Apakah Redenominasi Bisa Meningkatkan Kesejahteraan?
Pertanyaan ini penting. Redenominasi tidak otomatis membuat rakyat lebih sejahtera, tetapi ia dapat memengaruhi beberapa aspek penting:
- Efisiensi Transaksi: Ada Dampak, Namun Tidak Langsung
Harga yang lebih sederhana memang memudahkan pembukuan UMKM, sistem kasir, hingga akuntansi pemerintah.Namun dalam jangka pendek, UMKM justru menghadapi biaya adaptasi: mengganti label harga, menyusun ulang sistem pembayaran, pelatihan pegawai, dan penyesuaian aplikasi.
Ekonom UI menegaskan:
“Efisiensi jangka panjang ada, tetapi bagi rakyat kecil manfaatnya tidak langsung terasa. Dampak kesejahteraan lebih bergantung pada stabilitas ekonomi dan pengendalian harga.”
- Risiko Kenaikan Harga karena Kebingungan Publik?
Beberapa negara yang melakukan redenominasi (Turki, Rusia) pernah mengalami price rounding—pedagang membulatkan harga ke atas.
Kekhawatiran ini juga muncul di Indonesia.
Seorang pengamat ekonomi dari INDEF mengingatkan:
“Redenominasi bisa menjadi celah kenaikan harga yang tidak terkendali jika pengawasan lemah.”
Jika terjadi, justru rakyat kecil yang menanggung bebannya.
- Stabilitas Harga dan Inflasi :Fakto Penentu Keberhasilan
Redenominasi hanya efektif bila inflasi rendah dan stabil.
Pengalaman Turki menunjukkan keberhasilan karena dilakukan saat inflasi menurun drastis.Sebaliknya, Venezuela dan Zimbabwe gagal karena inflasi tak terkendali.
Ekonom Bank Mandiri menjelaskan:
“Syarat utama redenominasi adalah stabilitas ekonomi. Jika harga pangan masih fluktuatif, redenominasi hanya mengganti label tanpa membawa manfaat.”
- Persepsi Psikologis: Rupiah Terlihat Lebih Kuat
Harga yang lebih kecil memang terlihat lebih stabil. Misalnya, Rp10.000 menjadi Rp10. Namun persepsi ini tidak menjamin rakyat lebih sejahtera—kesejahteraan terkait penghasilan, lapangan kerja, dan daya beli, bukan angka nol di uang kertas.
- Bagaimana Sikap Publik dan Media Nasional
Media nasional umumnya menyoroti risiko transisi:
- Kompas menulis kekhawatiran kebingungan masyarakat dalam periode dual-pricing.
- Tempo menegaskan bahwa “redenominasi bukan jawaban atas masalah struktural ekonomi”.
- Kontan menilai redenominasi lebih sebagai reformasi moneter jangka panjang ketimbang kebijakan kesejahteraan.
Di tingkat publik, sebagian mendukung karena dianggap membuat rupiah tampak lebih “keren”, tetapi sebagian lain pesimistis karena khawatir harga naik tanpa kontrol.
- Pandangan DPR RI: Mendukung Namun Menuntut Kepastian!
Beberapa anggota Komisi XI DPR RI menyambut redenominasi selama pemerintah menjamin:
- Tidak ada kebocoran harga.
- Pengawasan ketat terhadap pedagang nakal.
- Edukasi publik dilakukan secara massif.
Seorang anggota DPR menyatakan:
“Kami setuju redenominasi, tapi jangan sampai rakyat kecil dirugikan oleh kenaikan harga terselubung.”
Kesimpulan: Bermanfaat, Tapi Hanya Bila Ekonominya Sehat
Redenominasi rupiah dapat memberikan manfaat jangka panjang berupa efisiensi dan penyederhanaan. Namun dampak langsung terhadap kesejahteraan rakyat relatif kecil, bahkan berpotensi negatif jika dilakukan saat ekonomi belum stabil. Redenominasi bisa sangat sukses, tetapi hanya jika negara: ekonominya stabil, komunikasinya jelas, pengawasannya kuat, dan reformasinya menyeluruh.
Jika dilakukan dalam kondisi kacau, redenominasi justru tidak berarti apa pun (lihat Zimbabwe & Venezuela).Karena itu, contoh global mengajarkan bahwa redenominasi bukan kebijakan tunggal, tetapi bagian dari paket reformasi ekonomi jangka panjang.
Kunci keberhasilannya: Inflasi rendah, Komunikasi publik efektif, Pengawasan harga ketat,Transisi bertahap.
Jika semua syarat tersebut dipenuhi, redenominasi dapat menjadi bagian dari reformasi moneter yang sehat. Namun jika tidak, ia hanya akan menjadi “kebijakan kosmetik” yang tak menyentuh persoalan kesejahteraan rakyat.
Penulis : Tonny Rivani
Sumber Berita : Referensi:• Bank Indonesia – berbagai pidato dan publikasi soal redenominasi. • Kompas – Liputan “Redenominasi Rupiah dan Tantangan Implementasi”. • Tempo – Editorial terkait kebijakan moneter dan stabilitas rupiah. • Kontan – Analisis dampak redenominasi terhadap sektor finansial. • INDEF – Pendapat ekonom mengenai risiko price rounding. • Studi kasus redenominasi Turki, Rusia, Zimbabwe, Venezuela dalam jurnal ekonomi makro internasional.














