SUARA UTAMA – Jakarta, 12 Agustus 2025 – Pemerintahan Presiden AS, Donald Trump, resmi memberlakukan kebijakan tarif perdagangan resiprokal sebesar 19% terhadap Indonesia. Meskipun tarif ini lebih rendah dari level awal yang mencapai 32%, dampak negatifnya terhadap perekonomian Indonesia tetap signifikan, menurut laporan terbaru dari Lembaga Riset Ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia yang berjudul Biaya Mahal Negosiasi Tarif.
Menurut CORE, setidaknya ada tiga kerugian besar yang akan dialami Indonesia akibat kebijakan ini:
- Penurunan Ekspor: Nilai ekspor Indonesia ke AS diprediksi akan berkurang hingga US$ 9,23 miliar akibat kenaikan bea masuk.
- Kewajiban Penghapusan Tarif untuk Produk AS: Indonesia diwajibkan menghapus 99% tarif untuk produk asal AS dan melonggarkan hambatan non-tarif, yang dapat melemahkan sektor manufaktur domestik.
- Ketimpangan Komitmen Dagang: Ketidakseimbangan dalam komitmen dagang bisa merugikan industri lokal dalam jangka panjang.
CORE memperkirakan bahwa penerapan tarif ini akan memangkas kesejahteraan nasional Indonesia sebesar US$ 3,16 miliar, sebagian besar akibat penurunan konsumsi ekspor di pasar AS, yang langsung berdampak pada surplus produsen, terutama di sektor-sektor unggulan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dampak Tarif Resiprokal terhadap Produk Indonesia
Sebagai contoh, produk alas kaki asal Indonesia yang sebelumnya dikenakan bea masuk 12% kini akan mengalami kenaikan tarif hingga 31%, dengan tambahan tarif resiprokal 19%. Indonesia berisiko terkena tambahan tarif 10% sebagai anggota BRICS, yang akan membuat tarif produk alas kaki Indonesia melambung hingga 41%, sementara produk elektronik bisa mencapai 29%. Hal ini jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Filipina.
Meskipun tanpa tambahan tarif BRICS, daya saing ekspor Indonesia diperkirakan akan kalah dibandingkan negara-negara tersebut. Salah satu penyebabnya adalah tingginya biaya logistik domestik yang mencapai 23,5% dari PDB, lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam (16,8%), Filipina (13%), dan Malaysia (13%). Data dari Logistics Performance Index (LPI) juga menunjukkan Indonesia memiliki skor rendah 3,0, yang lebih buruk dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (3,6), Vietnam (3,3), dan Filipina (3,3).
Prediksi Dampak Inflasi di AS
Center of Reform on Economics (CORE) juga memprediksi bahwa penerapan tarif ini akan memicu inflasi sekitar 7% di AS, yang pada gilirannya akan mengurangi daya beli konsumen di AS. Hal ini diperkirakan akan menyebabkan permintaan terhadap produk-produk Indonesia, seperti garmen, pakaian, dan alas kaki, yang merupakan komoditas ekspor utama, menurun.
“Penurunan permintaan ini akan semakin memperburuk kinerja ekspor Indonesia. Masalah ini bukan hanya terkait tarif, tetapi juga daya serap pasar yang semakin melemah,” jelas tim ekonom CORE dalam laporan tersebut.
Praktisi Pajak Eko Wahyu Pramono memberi tanggapan “Pengaruh kebijakan tarif perdagangan resiprokal terhadap Indonesia cukup besar, baik dari sisi ekonomi maupun sektor pajak. Kenaikan tarif yang signifikan terhadap produk Indonesia bisa menurunkan daya saing kita di pasar internasional. Selain itu, dengan kewajiban menghapus tarif untuk produk AS, Indonesia berisiko kehilangan potensi pendapatan dari sektor pajak impor. Hal ini mengingat bea masuk merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang penting. Kebijakan ini juga akan mempengaruhi sektor manufaktur lokal, yang harus bersaing dengan produk asing yang masuk dengan tarif yang lebih rendah.”
Sebagai upaya mitigasi, pemerintah Indonesia perlu fokus pada penguatan sektor manufaktur dalam negeri, terutama dengan memperbaiki infrastruktur logistik dan mengurangi biaya logistik domestik. Selain itu, strategi untuk memperkuat daya saing produk Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional, harus diperkuat melalui peningkatan kualitas dan efisiensi produksi. Kebijakan ini juga menuntut adanya penyesuaian dalam kebijakan pajak yang berfokus pada peningkatan potensi pendapatan dari sektor lain untuk mengimbangi kerugian yang timbul akibat penurunan ekspor.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














