Oleh: Eko Wahyu Pramono
SUARA UTAMA – 4 Agustus 2025 – Dulu nemenin dari belum punya apa-apa. Sekarang, pas sudah mapan malah ditinggal.
Kalimat itu tak lagi sekadar keluhan emosional di linimasa. Di Blitar, ia menjelma menjadi fakta sosial yang menggugah tanya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Baru enam bulan tahun 2025 berjalan, 20 guru PPPK di Kabupaten Blitar mengajukan gugatan cerai.
Iya, dua puluh. Jumlah itu sudah melampaui total pengajuan sepanjang 2024, yang “hanya” 15 kasus.
Yang bikin hati saya mengernyit: 75 persen penggugat adalah guru perempuan.
Dan ini bukan kasus pasangan baru yang gagal menyesuaikan diri. Rata-rata sudah menjalani rumah tangga lebih dari lima tahun.
Sudah melewati masa-masa awal pernikahan. Sudah saling mengenal lelah dan letih. Tapi kenapa justru retak di fase kemapanan?
Naik Kelas, Tapi Hubungan Rapuh di Dalam
Status PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) adalah lonceng kemapanan bagi para guru honorer. Setelah bertahun-tahun bergaji pas-pasan, kini mereka memiliki gaji tetap, jaminan sosial, dan pengakuan sebagai bagian dari ASN.
Namun di balik kemapanan itu, muncul ketegangan tak kasatmata di dalam rumah tangga.
Banyak dari guru perempuan yang kini mandiri secara ekonomi, justru menemukan ketimpangan peran dalam relasinya. Suami yang sebelumnya dipandang sebagai rekan seperjuangan, perlahan terlihat sebagai beban karena tidak bekerja tetap, atau bahkan tidak bekerja sama sekali.
Menurut psikolog keluarga Anna Surti Ariani, M.Psi., Psi., perubahan status ekonomi dapat memicu perubahan persepsi dan ekspektasi dalam hubungan.
“Saat seseorang memiliki penghasilan tetap, muncul rasa percaya diri dan kemandirian. Jika pasangan tidak berkembang bersama, maka jarak psikologis bisa tumbuh secara perlahan namun pasti.”
Dulu, mungkin bisa sabar karena sama-sama susah. Sekarang, saat merasa bisa berdiri sendiri, muncul tanya dalam hati:
“Masih perlu nggak ya bertahan dalam hubungan ini?”
Saat Norma dan Komitmen Tak Lagi Jadi Penjaga
Fenomena ini, dari sudut pandang sosiologi, mencerminkan kondisi yang disebut anomie yakni saat nilai-nilai sosial kehilangan kekuatannya untuk membimbing perilaku individu, terutama dalam situasi perubahan sosial yang cepat.
Menurut Emile Durkheim, anomie terjadi ketika perubahan dalam struktur sosial membuat individu kehilangan pegangan moral. Dalam konteks ini, perubahan ekonomi melalui status PPPK menciptakan jarak antara harapan dan realitas hubungan rumah tangga.
Di rumah, pasangan bukan lagi mitra. Ia bisa terasa seperti beban.
Dan ketika norma tidak lagi cukup kuat untuk menjaga ikatan, keputusan paling logis adalah berpisah.
Antara Hati, Kemandirian, dan Perhitungan
Keputusan bercerai tidak selalu diambil dalam keadaan marah. Banyak yang memilihnya dengan kepala dingin, setelah melalui perenungan panjang.
Dalam teori tindakan sosial, manusia bertindak berdasarkan dua pendorong:
- Voluntarisme — tindakan berdasarkan dorongan hati, perasaan tidak nyaman, keinginan untuk lepas.
- Rasionalisme — tindakan berdasarkan hitung-hitungan: untung-rugi, manfaat jangka panjang, dan masa depan yang lebih terkendali.
Kata psikolog klinis A. Kasandra Putranto,
“Perempuan saat ini makin berani mengambil keputusan ketika merasa tidak dihargai atau tidak mendapat dukungan. Mereka tidak takut dengan stigma janda karena sudah punya penghasilan sendiri dan rasa percaya diri yang lebih kuat.”
Manusia tidak hidup hanya dari cinta. Ada harga diri. Ada rasa ingin tumbuh. Ada kebutuhan akan keseimbangan peran yang sehat.
Ketika Naik Status Membuat Kita Lupa Siapa yang Menemani
Yang membuat saya merenung bukan hanya angka perceraian itu sendiri.
Tapi kenyataan bahwa kesuksesan sosial dan finansial bisa membuat kita lupa siapa yang dulu menggenggam tangan kita di masa paling gelap.
Naik kelas bukan kesalahan. Tapi naik tanpa kesadaran akan relasi, bisa menjebak kita dalam ilusi kemandirian, padahal kita manusia sosial yang tetap butuh relasi yang sehat.
Jika dulu kita menyebut pasangan sebagai “teman perjuangan”, lalu kenapa ketika hidup mulai stabil, kita malah memandangnya sebagai “penghambat”?
Apakah yang dulu terasa cinta, sekarang hanya jadi kenangan?
Catatan Kecil untuk Kita Semua
Agar fenomena ini tidak meluas seperti api di ladang kering, izinkan saya menuliskan beberapa pengingat sederhana bukan sebagai nasihat, tapi sebagai cermin:
- Bangun komunikasi yang jujur dan terbuka. Perubahan peran dan pendapatan harus dibicarakan. Bukan dipendam.
- Jangan remehkan peran yang tak terlihat. Doa, dukungan, dan kehadiran juga kontribusi, meski tak terukur dalam angka.
- Tentukan arah baru bersama. Status baru, visi baru. Tapi jangan dijalani sendiri-sendiri.
- Kendalikan ekspektasi. Jangan biarkan status sosial membuat kita menuntut pasangan jadi orang lain.
- Jangan malu mencari bantuan. Konseling bukan tanda lemah. Justru bukti kita ingin memperjuangkan.
- Ingat awal perjalanan. Kita bisa lupa karena terlalu fokus pada sekarang. Tapi ingatan tentang perjuangan awal bisa jadi jembatan untuk kembali saling paham.
Menjadi Mapan Tidak Harus Membuat Kita Sendirian
Status PPPK adalah kebanggaan. Tapi menjadi pasangan yang tetap setia dan saling bertumbuh adalah prestasi yang tak kalah tinggi.
Semoga kita tidak hanya naik dalam jabatan dan penghasilan.
Tapi juga naik dalam kedewasaan mencintai, dalam cara kita menjaga, dan dalam memilih untuk tetap saling menggenggam meski hidup terus berubah.
Karena sukses bukan hanya tentang apa yang kita capai.
Tapi tentang siapa yang tetap berada di samping kita… saat kita akhirnya sampai.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














