SUARA UTAMA, Tulang Bawang– “Guru adalah pelita, penerang dalam gulita. Tapi bagaimana jika pelita itu harus menyala di ruang yang tak lagi percaya?”
Kalimat itu bukan sekadar perenungan, melainkan gambaran nyata perjuangan para guru di sekolah kecil seperti SMPN Satu Atap 1 Rawajitu Timur. Sekolah negeri sederhana yang terletak di ujung timur Kabupaten Tulang Bawang ini dihuni oleh guru-guru bersertifikasi, sebagian besar di antaranya telah menjadi ASN PPPK.
Dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana, para pendidik di sana tetap teguh berdiri, menjalankan peran penting dalam mendidik anak-anak bangsa. Namun, realita tak selalu berpihak. Bahkan saat sekolah ini berhasil meraih peringkat ketiga Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) tingkat Kabupaten Tulang Bawang tahun 2024, apresiasi justru digantikan dengan cibiran.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sekolah kayak gitu kok terbaik?”
“Cuma guru satap aja, gaya doang lebih.”
“Ngapain bikin kegiatan, buang-buang biaya.”
Komentar-komentar semacam ini sering kami dengar. Kata-kata itu lebih tajam dari ujung pena yang kami gunakan untuk menyusun rencana pembelajaran. Menjadi ironi, ketika semangat memberi justru dibalas dengan sinisme.
Tantangan Tak Selalu dari Luar
Yang lebih menyakitkan, tantangan terkadang lahir dari dalam. Budaya kerja yang kurang sehat seperti saling tunjuk, saling menggantungkan tugas, dan minimnya profesionalisme menjadi batu sandungan tersendiri. Ketika ada guru yang tulus membantu, tak jarang justru dimanfaatkan. Sementara yang bersuara dianggap mengganggu kenyamanan.
“Kita ini guru, seperti artis. Setiap gerak-gerik kita disaksikan publik. Kalau kita sendiri tak saling menghormati, bagaimana orang tua dan siswa bisa menghormati kita?” ujar penulis kepada rekan-rekannya.
Namun, suara seperti itu kerap tenggelam dalam dinamika yang lebih memilih aman, diam, dan nyaman.
Mengapa Wibawa Guru Kian Terkikis?
Setidaknya ada beberapa alasan yang menjadi penyebab merosotnya wibawa guru, terutama di sekolah kecil:
1. Bias terhadap sekolah kecil
Banyak yang mengira mutu hanya milik sekolah besar. Padahal, di sekolah kecil justru terjadi relasi emosional yang lebih kuat antara guru dan siswa.
2. Media sosial dan figur viral tanpa nilai edukatif
Keteladanan guru kini bersaing dengan selebritas instan yang kerap tak mendidik tapi dielu-elukan.
3. Budaya kerja internal yang tidak sehat
Ketika sesama guru tak saling menguatkan, martabat profesi ini perlahan terkikis dari dalam.
4. Kurangnya regenerasi etos kerja
Guru-guru muda tidak dibimbing dalam budaya kerja positif. Mereka akhirnya terjebak dalam rutinitas tanpa semangat tumbuh.
Menjaga Api, Menolak Padam
Meski dalam kondisi penuh tantangan, bukan berarti semuanya suram. Ada harapan dan langkah-langkah sederhana yang bisa ditempuh untuk menjaga wibawa guru tetap menyala.
1. Menanamkan kembali semangat profesi
Mengajar bukan hanya rutinitas, tapi panggilan jiwa. Wibawa tumbuh dari integritas, bukan semata status.
2. Tampilkan hasil nyata, bukan seremoni
Disiplin, prestasi, dan perubahan karakter siswa adalah bukti paling kuat untuk menumbuhkan kepercayaan publik.
3. Bangun budaya kerja tim
Bekerja kolektif, saling menghargai tugas, dan membagi beban secara adil dapat menciptakan iklim kerja yang sehat.
4. Aktif menyuarakan citra positif sekolah
Media sosial, mading, dan media lokal bisa menjadi ruang untuk mengabarkan kisah positif dari sekolah kecil.
Di Sekolah Kecil, Tumbuh Harapan Besar
Menjadi guru di sekolah kecil bukanlah kekurangan, melainkan bentuk panggilan untuk menciptakan perubahan dari tempat yang sering dilupakan. Di sinilah nilai-nilai luhur pendidikan tumbuh: dari kedekatan, kesederhanaan, dan ketulusan.
Mungkin kita belum bisa mengubah cara pandang semua orang. Tapi satu hal yang bisa kita jaga adalah harga diri dan wibawa sebagai pendidik. Teruslah menjadi pelita, meski kecil, karena satu cahaya cukup untuk mengusir gelap.
“Guru bukan dewa yang tak pernah lelah, tapi manusia yang tetap berdiri, walau tak selalu dihormati.”
Jika hari ini kamu merasa sendiri dalam perjuangan ini, percayalah—masih banyak guru di luar sana yang diam-diam sedang menyala. Mari kita terus bersuara, terus bekerja, dan terus menyinari mimpi-mimpi anak negeri.
Penulis : Yoni Wahyu Sampurna, S.Pd.Gr. (Guru Bahasa Indonesia SMPN Satu Atap 1 Rawajitu Timur Kabupaten Tulang Bawang)
Editor : Nafian Faiz














