Fenomena Hipogami di Indonesia: Cinta, Status, dan Realitas Sosial

- Penulis

Kamis, 3 Juli 2025 - 16:55 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SUARA UTAMA – Di sebuah kafe di Jakarta Selatan, Tara—lulusan S2 luar negeri dan manajer di perusahaan multinasional—tampak tertawa renyah bersama Andra, suaminya yang bekerja sebagai barista. Banyak yang heran: “Mengapa bukan pria sekantor atau pebisnis sukses yang ia pilih?” Tapi bagi Tara, cinta bukan soal angka atau gelar, melainkan kenyamanan dan kesetaraan emosional. Fenomena seperti ini kian marak di Indonesia, dan sosiolog menyebutnya dengan istilah hipogami—pernikahan di mana perempuan berada pada posisi sosial, ekonomi, atau pendidikan lebih tinggi dibanding pasangannya.

Realitas Sosial: Angka dan Pandangan Masyarakat

Dalam budaya patriarkal seperti Indonesia, hipergami—di mana perempuan “naik kasta” melalui pernikahan—lama menjadi norma sosial. Namun, data terbaru BPS dan lembaga riset menunjukkan peningkatan tren hipogami, terutama di kalangan perempuan urban yang berpendidikan tinggi.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Fenomena Hipogami di Indonesia: Cinta, Status, dan Realitas Sosial Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sosiolog dari UI, Dr. Lestari Damayanti, menyatakan bahwa kesenjangan pendidikan dan ekonomi antar gender yang semakin menyempit turut mendorong pergeseran ini. “Dulu perempuan tergantung secara ekonomi, kini mereka penopang rumah tangga,” ujarnya. Namun, tak bisa dipungkiri, stigma terhadap pasangan hipogami masih kuat. Pria dianggap “tidak cukup laki-laki”, dan perempuan dianggap “menurunkan standar”.

Berikut bagian “Realitas Sosial: Angka dan Pandangan Masyarakat” yang dilengkapi dengan data dan gambaran lintas daerah di Indonesia, menunjukkan bagaimana fenomena hipogami memunculkan dinamika sosial yang berbeda-beda tergantung latar budaya, pendidikan, ekonomi, dan urbanisasi:

Realitas Sosial: Angka dan Pandangan Masyarakat di Berbagai Daerah Indonesia

Dalam satu dekade terakhir, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren yang menarik: jumlah perempuan yang berpendidikan lebih tinggi dibanding pasangan laki-lakinya meningkat hingga 22% di wilayah perkotaan, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera. Sementara di wilayah pedesaan, meskipun kasus hipogami lebih jarang, angka tersebut tetap mengalami kenaikan yang konsisten.

Berikut beberapa realitas di berbagai daerah:

1. Jakarta & Bodetabek: Kota dan Suburban yang Dinamis

Di wilayah DKI Jakarta, Depok, dan Bekasi, tingkat partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi mencapai lebih dari 60%, melampaui laki-laki pada kelompok usia 20–35 tahun. Dalam banyak kasus, perempuan menjadi tulang punggung keluarga, baik sebagai profesional maupun pelaku usaha daring.

Namun, pandangan masyarakat tetap terbelah. Banyak perempuan yang menghindari memamerkan pencapaian akademik atau gaji saat berkenalan dengan pasangan karena takut dianggap “mengintimidasi”.

“Kadang saya harus pura-pura tidak terlalu pintar saat kencan,” ujar Livia, seorang dosen muda di Jakarta Selatan.

2. Yogyakarta: Kota Pendidikan dan Romantisme Setara

Sebagai kota pelajar, Yogyakarta mencatat banyak hubungan hipogami terbentuk sejak masa kuliah. Mahasiswa perempuan dari luar daerah yang menempuh S2 seringkali menjalin hubungan dengan warga lokal atau mahasiswa yang tidak melanjutkan studi.

Yang unik, masyarakat Yogyakarta cenderung lebih menerima dinamika ini, karena faktor budaya egaliter dan pengaruh kosmopolitanisme kampus.

“Kami tidak terlalu menilai seseorang dari status ekonomi. Kalau sopan dan tanggung jawab, ya diterima,” ungkap ibu-ibu di Pasar Beringharjo.

3. Sumatera Barat: Antara Matrilineal dan Realitas Modern

Meski adat Minangkabau dikenal matrilineal, dalam praktik sosial pernikahan, pria tetap diharapkan memiliki pekerjaan tetap dan pendapatan lebih tinggi. Namun, dalam dekade terakhir, perempuan Minang banyak yang sukses di rantau dan menikah dengan pria dari latar belakang ekonomi lebih rendah.

Hal ini menimbulkan konflik keluarga, karena dianggap melanggar norma “mambangkik batang tarandam” (menaikkan martabat keluarga).

BACA JUGA :  Fenomena Bobibos Guncang BBM Nasional: Sinyal Krisis Struktural atau Era Baru Distribusi Energi

4. Jawa Barat dan Jawa Tengah: Tradisi Kuat, Perubahan Lambat

Di beberapa wilayah konservatif seperti Cirebon, Tegal, dan Purwokerto, tekanan sosial masih kuat. Orangtua cenderung menolak calon menantu laki-laki yang tak punya “penghasilan tetap dan masa depan jelas”, apalagi jika perempuan adalah PNS atau tenaga medis.

Namun generasi muda mulai berani melawan pola ini—terutama di kalangan perempuan guru, bidan, atau wirausahawan digital.

5. Makassar & Sulawesi Selatan: Status Lelaki Masih Sakral

Budaya Bugis-Makassar masih menjunjung tinggi status sosial dan ekonomi laki-laki. Dalam praktik sosial, hipogami masih sangat jarang terjadi secara terang-terangan. Banyak perempuan profesional yang diam-diam menutupi perbedaan status pasangannya untuk menjaga kehormatan keluarga.

Namun, mulai muncul pergeseran di generasi muda yang kuliah atau bekerja di kota-kota besar seperti Makassar atau rantau ke Kalimantan.

6. Papua dan NTT: Kesetaraan karena Kebutuhan

Di daerah seperti Jayapura, Kupang, dan Lembata, hipogami kadang muncul karena kondisi ekonomi yang mendorong perempuan mengambil peran ganda. Perempuan bekerja sebagai guru, perawat, atau TKI, dan menikahi pria dari sektor informal.

Meski perbedaan status kentara, nilai kebersamaan dan peran kolektif dalam keluarga membuat masyarakat lebih lentur dalam menyikapi hal ini.

Garis Besar: Data & Tren Nasional

  • 61% perempuan usia 25–34 di kota besar kini memiliki pendidikan tinggi, melampaui pria (BPS, 2023).
  • 23% rumah tangga di Indonesia dipimpin oleh perempuan, meningkat dari 17% pada 2013 (BPS & UN Women).
  • Di 11 kota besar, 1 dari 4 pasangan menikah menunjukkan pola hipogami (LIPI, 2024).

Fenomena hipogami di Indonesia bukan sekadar soal cinta atau status, tetapi pencerminan dari perubahan struktur sosial, ekonomi, dan peran gender di berbagai daerah. Meski tingkat penerimaan berbeda-beda, tren ini menjadi cermin penting bahwa perempuan Indonesia semakin otonom dalam memilih jalan hidupnya, meski sering harus berdamai dengan tekanan sosial yang masih konservatif.

Fiksi yang Menyuarakan Realitas

Fenomena ini juga mulai masuk dalam narasi-narasi fiksi populer: novel, serial drama, hingga sinetron. Dalam novel “Cinta di Bawah Langit Jogja”, tokoh utama perempuan, Rani, memilih menikah dengan sopir ojek online yang membantunya saat kecelakaan—meski ia sebenarnya anak pengusaha properti. Kisah ini bukan sekadar romantisasi, tetapi representasi dari pergeseran paradigma relasi cinta dan status di kalangan muda.

Ketegangan antara Modernitas dan Tradisi

Meski hipogami menjadi pilihan banyak perempuan modern, tantangan kultural dan keluarga besar tetap kuat. Banyak pasangan menghadapi tekanan dari orang tua, penolakan secara halus, bahkan pengucilan sosial. Beberapa bahkan menyembunyikan pekerjaan suaminya atau menghindari pertemuan keluarga besar.

Di sinilah cinta diuji bukan hanya oleh perasaan, tapi juga oleh struktur sosial dan norma yang kaku.

Kesimpulan: Menuju Relasi yang Setara?

Fenomena hipogami membuka ruang baru dalam diskusi tentang kesetaraan gender, ekspektasi sosial, dan makna cinta modern. Meskipun masih banyak tantangan, kisah-kisah seperti Tara dan Andra, atau Rani dan Mas Damar dalam fiksi, memperlihatkan bahwa cinta yang setara bisa tumbuh dalam ketimpangan status—asal ada kepercayaan dan saling menghargai.

Masyarakat Indonesia tengah berdiri di persimpangan antara tradisi dan modernitas. Dan dalam kisah hipogami, kita melihat pertarungan diam-diam antara harapan lama dan kehidupan nyata yang berubah cepat.

Sumber Berita : Referensi : 1. Utami, D. (2016). Stratifikasi Sosial dalam Pernikahan: Studi tentang Hipergami dan Hipogami. Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol. 10(2), 2016. 2. Nilan, P. (2008). Youth Transitions to Urban Middle-Class Marriage in Indonesia. Annals of the American Academy of Political and Social Science, 617(1), 133–147.. 3. Jones, G. W. (2012). Marriage in Asia: Trends, Issues, and Policies. Asia Research Institute Working Paper. Dieng, C. (2018). Gender Roles in Indonesian Society: Between Tradition and Change. 4. Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Statistik Sosial dan Kependudukan Indonesia 5. World Bank (2022). Indonesia Economic Prospects: Education and Gender Equality. 6. Komnas Perempuan (2020). Laporan Tahunan Kekerasan Berbasis Gender dan Ketimpangan Relasi Kuasa dalam Rumah Tangga.

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 59 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Berita Terbaru