SUARA UTAMA – Komunikasi publik sering kali menjadi hal yang sangat dinantikan oleh masyarakat, ibarat seseorang yang menunggu kabar baik dari kekasih atau keluarga yang tengah dalam keadaan sehat, atau kabar tentang pertemuan yang bisa mengobati kerinduan.
Namun, belakangan ini kita masih sering disuguhkan dengan komunikasi yang kacau dan tidak terstruktur dengan baik, bahkan terlihat tidak memiliki kredibilitas dan kompetensi yang cukup di dalam memegang amanah jabatan, banyak tidak sesuai saat banyak terdapat rusaknya komunikasi publik.
Narasi yang disampaikan kerap kali hanya memperburuk keadaan, membuat kepercayaan publik semakin menurun terhadap pihak yang seharusnya memberikan harapan atau keadilan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Asisten Profesor di Sekolah Tata Kelola Universitas Utrecht, Belanda, Stephan Grimmelikhuijsen menjelaskan tiga dimensi yang berpengaruh terhadap pembentukan kepercayaan pada pemerintah yaitu kompetensi (competence), kebajikan (benevolence), dan kejujuran (honesty).
Kompetensi mengacu pada berfungsinya organisasi pemerintah itu sendiri, kebajikan menggambarkan bagaimana organisasi pemerintah yang benar-benar peduli pada masyarakat yang dilayaninya kemungkinan besar akan dianggap baik hati, sementara kejujuran mengacu pada sejauh mana orang/organisasi dianggap mengatakan yang sebenarnya dan menjaga komitmen
Sayangnya, situasi ini tidak tercermin dalam sikap jajaran pemimpin negeri kita.
Respons pemerintah hari ini terhadap keresahan masyarakat sering kali terkesan meremehkan, bahkan menambah ketegangan.
Contoh yang paling nyata adalah pernyataan tentang masalah “kabur aja dulu” yang dianggap sebagai tindakan tidak nasionalis yang dikatakan oleh bahlil, hingga isu “Indonesia Gelap” yang direspon dengan kalimat yang sangat tidak nyaman, seperti “kau yang gelap” oleh luhut.
Lebih parahnya, teror yang terjadi di ruang-ruang pers, seperti peristiwa yang menimpa jurnalis Tempo, yang disambut dengan komentar seperti “Ya dimasak aja” oleh Hasan Nasbi sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, semakin menunjukkan kurangnya empati dalam komunikasi publik.
Dari sini, kita bisa menilai bahwa rusaknya kualitas komunikasi pemerintah hanya akan menciptakan kegaduhan yang semakin kompleks di kalangan masyarakat.
Ketika pemimpin gagal menunjukkan sensitivitas dan empati, rakyat akan mulai mempertanyakan kualitas kepemimpinan mereka.
Komunikasi yang sembrono ini tidak hanya merusak hubungan antara pemerintah dan masyarakat, tetapi juga melunturkan kepercayaan publik.
Ketiadaan substansi dalam komunikasi yang dibangun justru akan menciptakan jarak antara pemimpin dan rakyat.
Kepercayaan akan semakin tergerus, dan dalam jangka panjang hal ini dapat berbalik menjadi boomerang yang merugikan pihak pemerintah, bahkan dapat mempengaruhi hasil kontestasi politik di pemilu berikutnya.
Oleh karena itu, perbaikan komunikasi publik harus menjadi salah satu prioritas utama untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, adil, dan transparan.
Penulis : M. Rozien Abqoriy














