SUARA UTAMA.Ricky Elson adalah sosok teknokrat Indonesia yang namanya sempat mencuat saat ia memutuskan pulang ke tanah air setelah lebih dari satu dekade berkarier di Jepang. Di negeri Sakura, Ricky bekerja di sebuah perusahaan ternama, dimana ia terlibat langsung dalam pengembangan motor listrik berkecepatan tinggi, salah satu teknologi inti dalam kendaraan listrik. Keahliannya membuatnya disegani di dunia teknologi Jepang, namun hatinya tetap terpaut pada tanah kelahiran. Ia pulang dengan harapan bisa berkontribusi nyata untuk Indonesia, khususnya dalam membangun kemandirian teknologi di bidang transportasi ramah lingkungan.
Sepulangnya ke Indonesia, Ricky tidak memilih jalur nyaman seperti menjadi konsultan industri atau pejabat perusahaan besar. Ia lebih memilih membangun Pabrik Mikrohidro dan bengkel teknologi di daerah Sumatera Barat, tempat ia bisa mendidik anak-anak muda, melatih mereka mengembangkan teknologi sendiri. Di sana, ia mengembangkan motor listrik lokal dan bahkan sempat meluncurkan prototipe mobil listrik hasil karya anak bangsa. Mimpi besarnya adalah menciptakan kendaraan listrik nasional yang benar-benar dibuat dan dikuasai teknologinya oleh bangsa Indonesia sendiri.
Namun jalan Ricky tidak mulus. Ketika mobil listrik nasional Garuda dan Selo dipamerkan pada era awal 2010-an, proyek itu sempat mendapatkan sorotan besar dari publik dan pemerintah. Sayangnya, dukungan nyata tidak datang sepenuhnya. Alih-alih diberi ruang dan perlindungan sebagai proyek strategis nasional, kendaraan listrik karya Ricky malah tersandung masalah legalitas karena urusan regulasi dan uji tipe. Pemerintah terkesan enggan memberi karpet merah, seolah enggan mengambil risiko terhadap inovasi anak bangsa yang belum masuk dalam jalur industri besar.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, di banyak negara maju, teknokrat seperti Ricky menjadi tulang punggung arah kebijakan teknologi. Di Indonesia, ia justru terkesan jalan sendiri, tanpa dukungan penuh dari lembaga riset negara, industri, maupun regulasi yang progresif. Alih-alih menjadi mitra strategis, Ricky justru lebih sering diberi pujian simbolis namun minim dukungan sistematis. Harapan akan adanya kolaborasi antara negara dan anak bangsa seperti dirinya hanya menjadi wacana yang mengambang.
Meski begitu, Ricky tidak berhenti. Ia tetap konsisten di jalur pendidikan dan pemberdayaan teknologi. Lewat kegiatan di daerah, ia mencetak generasi muda yang tidak hanya mengerti teori, tetapi juga mampu menciptakan sendiri alat dan teknologi. Ia percaya bahwa kemajuan bangsa tidak hanya ditentukan dari kota besar atau keputusan pejabat, tapi dari akar rumput, dari desa-desa yang diberdayakan dengan ilmu dan teknologi.
Kisah Ricky Elson menjadi cermin bagaimana Indonesia sering kali kurang peka dalam mengelola potensi terbaik anak bangsanya. Di saat dunia berlomba mengembangkan kendaraan listrik dan teknologi hijau, kita justru membiarkan teknokrat handal seperti Ricky berjuang sendirian. Tidak ada kebijakan besar yang sungguh-sungguh memayungi inisiatif seperti milik Ricky agar bisa menjadi bagian dari strategi nasional.
Kini, banyak pihak menyesali minimnya perhatian terhadap kiprah Ricky. Namun penyesalan tidak cukup. Indonesia membutuhkan keberanian untuk membangun ekosistem teknologi yang berpihak pada inovator lokal. Kisah Ricky Elson seharusnya menjadi pelajaran: bahwa talenta anak bangsa bukan untuk disia-siakan, tapi harus dirangkul, diberi ruang, dan dijadikan tulang punggung pembangunan teknologi negeri ini.
Penulis : Ilham Akbar














