SUARA UTAMA – Syawal berarti bulan peningkatan. Setelah satu bulan penuh kita melatih diri dengan berbagai ibadah Ramadhan, kini kita memasuki bulan Syawal.
Peningkatan dalam arti positif, yaitu lebih baik dari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam hal agama, akhlak lebih santun, ibadah lebih ikhlas, orientasi hidup juga lebih fokus dan terencana. Intinya segalanya menjadi lebih baik.
BACA JUGA : Lima Pesan Moral setelah Ramadhan pamit
Bulan syawal secara harfiyah artinya
“peningkatan” yakni peningkatan ibadah
sebagai hasil latihan selama bulan Ramadhan.
Umat Islam di harapkan mampu meningkatkan amal kebaikannya, bukan malah menurun atau kembali pada semula yang jauh dari Islam.
“Bulan Syawal merupakan bulan peningkatan keimanan umat Muslim”
Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang berpuasa Ramadhan kemudian di sambung puasa enam hari Syawal, maka pahalanya senilai puasa satu tahun.
SYAWAL BULAN TRAINING DAN TARBIYAH
Bulan ini di sebut sebagai peningkatan, karena berada tepat setelah bulan suci Ramadhan yang merupakan pelatihan (training) dan pendidikan (tarbiyah) umat Islam.
BACA JUGA : Satukan Langkah Ingat Kebesaran Allah
Bukankah wajar jika seseorang yang baru keluar dari pendidikan atau pelatihan memiliki pengetahuan yang meningkat dari sebelumnya?
Selama Ramadhan, satu bulan penuh kita melatih diri dengan berpuasa, menahan makan, minum dan kegiatan seksual di siang hari, menahan amarah dan menjaga semua indera kita dari perbuatan dosa.
Oleh karena itu, seharusnya kita memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menahan hawa nafsu dan meningkatkan ibadah kita di bandingkan bulan sebelumnya. Tetapi fakta yang kita alami biasanya justru sebaliknya.
Ibadah setelah Ramadhan
Segala kebaikan dan amal ibadah yang rutin kita lakukan pada bulan Ramadhan tiba tiba berlalu seiring berlalunya bulan Ramadhan.
Tadarus Al Quran yang khatam pada akhir Ramadhan, tidak lagi rutin di bulan selanjutnya. Shalat tarawih yang tidak pernah kita tinggal selama malam Ramadhan, tidak kita gantikan dengan ibadah malam (tahajud) di bulan lain.
BACA JUGA : Tak mesti mewah untuk kembali Fitri
Demikian pula dengan ibadah lainnya. Semuanya seolah berlalu bersama datangnya gema takbir di ujung Ramadhan.
Tidak berbeda dengan ibadah yang di sebut di atas, kemampuan kita pun dalam melawan hawa nafsu yang pada bulan Ramadhan begitu kuatnya, tiba tiba kendor dan jebol bersama datangnya hidangan makanan lebaran yang beraneka ragam.
Lalu kita lupa pahala besar yang di janjikan Allah SWT. Jika kita mau kembali berpuasa 6 hari di bulan Syawal ( bulan peningkatan ).
Maka mulut dan perut kita pun kembali di penuhi makanan tanpa kenal waktu. Lidah kita kembali berbusa, mudah mengumpat dan berdusta, mata kita tak mampu lagi menahan dari pandangan yang melenakan syahwat.
Begitu pula dengan panca indera kita lainnya. Semuanya seolah kembali kepada keadaan semula, sebelum Ramadhan.
Mengapa bisa terjadi demikian? Mengapa setiap Ramadhan selalu berlalu tanpa bekas yang nyata dalam kehidupan kita selanjutnya?
Salahkah ibadah Ramadhan yang baru kita lalui itu?
Atau karena pola pikir kita yang salah menempatkan Ramadhan dan bulan lainnya dalam kesadaran beragama kita. Sehingga kita menempatkan Ramadhan untuk memohon ampunan dan taubat serta mengais pahala sebanyak banyaknya sedangkan bulan lain kita pergunakan untuk mengikuti hawa nafsu kita?
Jika itu yang terjadi, berarti kita benar benar salah kaprah. Padahal sukses atau di terimanya ibadah (puasa) Ramadhan kita oleh Allah swt. Hanya bisa di ukur oleh sikap dan perilaku kita setelah Ramadhan.
Jika setelah Ramadhan akhlak dan ibadah kita semakin baik dan meningkat, berarti ibadah Ramadhan kita di terima oleh Allah SWT.
Sebaliknya, jika setelah Ramadhan akhlak kita justru semakin tidak terkendali dan ibadah kita semakin rendah kuantitas dan kualitasnya, berarti ibadah Ramadhan kita tidak di terima oleh Allah SWT.
Semoga bermanfaat