Seseorang Mencari Kebenaran dalam Keheningan

- Penulis

Selasa, 29 April 2025 - 15:06 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Suara Utama,- Dalam dunia yang riuh dengan suara, hiruk-pikuk, dan opini yang bersahut-sahutan, keheningan sering kali dipandang sepele. Padahal, justru dalam keheninganlah banyak kebenaran sejati tersembunyi, menunggu untuk ditemukan oleh jiwa-jiwa yang sabar dan peka.

Keheningan bukan sekadar absennya suara; ia adalah ruang suci di mana pikiran kembali jernih, hati menjadi bening, dan suara batin terdengar paling murni. Dalam diam, kita belajar mendengar bukan hanya dengan telinga, tetapi dengan jiwa. Kita mendengarkan bisikan nurani, intuisi, bahkan suara kebenaran yang selama ini tenggelam di balik kebisingan dunia luar.

Mencari kebenaran dalam keheningan adalah perjalanan ke dalam diri sendiri. Ia menuntut keberanian untuk menghadapi ketakutan, keraguan, dan ketidakpastian yang tersembunyi di balik topeng keseharian. Hening adalah cermin, tempat kita melihat refleksi diri tanpa ilusi — siapa kita sebenarnya, apa yang kita yakini, dan nilai apa yang benar-benar kita pegang.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Seseorang Mencari Kebenaran dalam Keheningan Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam tradisi spiritual maupun filsafat, keheningan selalu dihormati sebagai jalan menuju pencerahan. Tokoh-tokoh besar, dari para sufi, rahib, hingga filsuf, memilih diam untuk menyelami lapisan terdalam eksistensi. Mereka percaya bahwa kebenaran hakiki bukan sesuatu yang dapat diteriakkan atau diperdebatkan, melainkan ditemukan dalam ketenangan batin yang hening.

Namun keheningan bukan pelarian. Ia adalah ruang aktif di mana pemahaman bertumbuh. Di dalamnya, kita menyusun kembali kepingan-kepingan pengalaman, menggugat keyakinan palsu, dan perlahan menyusun gambaran kebenaran yang lebih utuh. Dalam keheningan, kita berhenti untuk berlari dari pertanyaan-pertanyaan besar: Siapa aku? Mengapa aku di sini? Apa makna hidup ini?

Maka, mencari kebenaran dalam keheningan adalah sebuah laku — perjalanan yang penuh kesabaran, ketekunan, dan keikhlasan. Ia bukan perjalanan yang ramai, bukan pula yang penuh gemerlap. Ini adalah perjalanan sunyi, namun justru karena itu, begitu memerdekakan.

Dalam dunia yang gemar memuja kebisingan dan kecepatan, mereka yang berani berhenti dan berdiam diri untuk mencari kebenaran adalah para peziarah sejati.

Di dalam keheningan, kebenaran akhirnya berbicara.

Keheningan adalah medan kosong tempat eksistensi berbicara tanpa kata-kata. Dalam ruang sunyi yang melampaui indra, manusia akhirnya dihadapkan pada dirinya sendiri — tanpa kedok, tanpa hiasan, tanpa ilusi. Di sana, kebenaran bukan lagi narasi yang bisa direkayasa, melainkan sesuatu yang harus dihadapi dengan ketelanjangan total.

Sejak awal sejarah pemikiran, para filsuf besar memahami bahwa kebisingan dunia hanyalah gema dari keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi. Retorika, opini, dan narasi publik tidak lebih dari tirai tipis yang menutupi absurditas keberadaan. Maka, untuk menemukan kebenaran, manusia harus berani menanggalkan semua konstruksi sosial dan memasuki keheningan yang mutlak — ruang di mana eksistensi dan esensi bertemu dalam pergulatan yang sunyi.

Dalam keheningan, struktur bahasa runtuh, dan kebenaran memperlihatkan dirinya bukan sebagai kumpulan proposisi, melainkan sebagai pengalaman langsung. Ia bukan sekadar “diketahui”, tetapi “dihidupi”. Kebenaran dalam keheningan tidak membutuhkan pembuktian logis, sebab ia hadir dengan kepastian ontologis yang tidak dapat disangkal oleh rasio semata.

Namun pencarian ini menuntut keberanian radikal: keberanian untuk kehilangan orientasi, untuk menanggalkan identitas, dan untuk berdiri di hadapan kehampaan. Dalam keheningan yang paling dalam, manusia berhadapan dengan absurditas eksistensial — kenyataan bahwa hidup tidak menawarkan jawaban siap saji. Dan justru di tengah kehampaan itu, kebenaran mulai membisikkan dirinya: bukan sebagai jawaban, melainkan sebagai kehadiran yang tak terelakkan.

BACA JUGA :  Angkatan Covid-19 IPI ‘Aisyiyah Sulawesi Selatan: Wisudawan Torehkan Prestasi Gemilang di Wisuda ke-V

Martin Heidegger pernah menulis tentang Gelassenheitsikap membiarkan segala sesuatu ada sebagaimana adanya. Dalam keheningan, manusia belajar membebaskan diri dari kehendak untuk menguasai kebenaran, dan malah membiarkan kebenaran menyingkapkan dirinya secara otentik. Ini bukan pencapaian, melainkan penerimaan; bukan konstruksi, melainkan penyingkapan.

Maka, mencari kebenaran dalam keheningan bukanlah sebuah proyek intelektual biasa. Ia adalah perjalanan eksistensial yang mengharuskan manusia untuk menanggung kekosongan, menghadapi keterasingan, dan tetap bertahan tanpa janji keselamatan. Ia menuntut kesiapan untuk menjadi, tanpa jaminan makna yang pasti.

Di ujung keheningan, barangkali kita tidak menemukan jawaban yang selama ini kita cari. Tetapi justru dalam ketakterjawaban itulah, manusia menemukan dirinya — dan di sana, dalam ruang kosong yang penuh misteri, kebenaran bersemayam diam-diam.

Mencari Kebenaran dalam Keheningan Menurut Islam

Dalam tradisi Islam, keheningan bukan hanya sikap pasif, melainkan jalan aktif menuju makrifatullah (pengenalan terhadap Allah). Dalam kesunyian batin, seorang hamba mampu mengosongkan hatinya dari hiruk-pikuk dunia, sehingga ia dapat mendengarkan suara kebenaran yang datang dari fitrahnya — fitrah yang diciptakan dalam keadaan mengenal Tuhannya (QS. Al-A’raf: 172).

Islam memandang bahwa hakikat kebenaran (al-haqq) bersumber mutlak dari Allah. Maka, pencarian kebenaran sejati dalam Islam bukanlah pencarian spekulatif semata, melainkan perjalanan ruhani menuju sumber kebenaran itu sendiri. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya” (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu). Untuk mencapai pengenalan ini, keheningan — baik lahir maupun batin — menjadi alat penting.

Dalam keheningan, seorang mukmin berlatih tafakkur (merenung), tadabbur (menghayati), dan ta’amul (merenungkan dalam-dalam). Allah berulang kali dalam Al-Qur’an menyeru manusia untuk berpikir dan merenung:
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran: 190)

Keheningan dalam Islam juga tercermin dalam laku uzlah (menyendiri) — suatu bentuk pengasingan diri dari keramaian dunia untuk fokus beribadah dan bermunajat kepada Allah. Rasulullah ﷺ sebelum menerima wahyu pertama sering beruzlah di Gua Hira, berdiam dalam keheningan, menyucikan hati dari segala kegaduhan batin duniawi.

Dalam tasawuf, para sufi menekankan pentingnya sukut (diam) dalam perjalanan spiritual. Sukut bukan sekadar membungkam lisan, melainkan membungkam hawa nafsu, bisikan syahwat, dan kegaduhan batin, agar hati bersih dan dapat menangkap bisikan Ilahi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis bahwa diam adalah pintu keselamatan, karena banyak dosa bersumber dari lisan yang tak terjaga.

Dalam keheningan yang sejati, seorang hamba tidak hanya menemukan dirinya, tetapi juga menyaksikan tanda-tanda keberadaan Allah dalam ciptaan dan dalam dirinya sendiri. Ia mencapai kondisi muraqabah (merasa diawasi Allah) dan musyahadah (menyaksikan kehadiran Allah dalam segala sesuatu).

Mencari kebenaran dalam keheningan, menurut Islam, pada akhirnya adalah perjalanan menuju tauhid murni: menyadari bahwa tiada kebenaran mutlak selain Allah, dan segala yang lain adalah bayang-bayang sementara. Sebagaimana firman-Nya:

“Allah adalah kebenaran yang nyata.” (QS. An-Nur: 25)

Dalam perspektif Islam, keheningan bukan sekadar pelarian dari dunia, tetapi metode suci untuk membersihkan jiwa, mendekatkan diri kepada Allah, dan menemukan kebenaran hakiki. Keheningan adalah ruang suci di mana fitrah kembali bersinar, dan kebenaran Ilahi menyingkapkan dirinya kepada hati yang bersih.

Penulis : Tonny Rivani

Berita Terkait

Bumdes Desa Mudo Diduga Mangkrak, Kolam Lele Senilai Rp 85 Juta Tak Beroperasi Maksimal
Semakin Memanas, Terindikasi Dugaan Pesanan Dalam Rotasi/Mutasi Pegawai Perumda Air Minum Tirta Argapura 
Umat Stase Goodide Gelar Renungan Pendalaman Masa Adven: Keluarga dalam Terang Iman 
Warga Desa Tegalwatu di Dampingi Pakopak, Terduga Pelaku Penipuan Asli Kelahiran Dusun Klagin Desa Brabe
Rakor Kecamatan Dorong Efektivitas Program Tata Kelola Pemerintahan Responsif
Polsek Tabir Bergerak Cepat Usai Viral Dugaan Penampungan Emas Ilegal Milik Badi
Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Program Rehabilitasi Lapas IIB Bangko Berakhir, 20 WBP Tunjukkan Hasil Positif Pemulihan
Berita ini 88 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 5 Desember 2025 - 21:28 WIB

Bumdes Desa Mudo Diduga Mangkrak, Kolam Lele Senilai Rp 85 Juta Tak Beroperasi Maksimal

Jumat, 5 Desember 2025 - 19:21 WIB

Semakin Memanas, Terindikasi Dugaan Pesanan Dalam Rotasi/Mutasi Pegawai Perumda Air Minum Tirta Argapura 

Jumat, 5 Desember 2025 - 18:08 WIB

Umat Stase Goodide Gelar Renungan Pendalaman Masa Adven: Keluarga dalam Terang Iman 

Jumat, 5 Desember 2025 - 12:32 WIB

Warga Desa Tegalwatu di Dampingi Pakopak, Terduga Pelaku Penipuan Asli Kelahiran Dusun Klagin Desa Brabe

Jumat, 5 Desember 2025 - 11:26 WIB

Rakor Kecamatan Dorong Efektivitas Program Tata Kelola Pemerintahan Responsif

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:14 WIB

Program Rehabilitasi Lapas IIB Bangko Berakhir, 20 WBP Tunjukkan Hasil Positif Pemulihan

Kamis, 4 Desember 2025 - 14:37 WIB

Tinjau Proyek Jalan Rp1,3 Miliar di Pamanukan, Bupati Subang Tegaskan: Tidak Ada Anak Emas, Semua Wilayah Prioritas

Berita Terbaru