SUARA UTAMA, 20 September 2024 Salah satu kelompok berpendapat bahwa bid’ah adalah sesuatu yang baru dalam agama. Akibatnya, muncul kesimpulan bahwa tidak ada bid’ah hasanah (yang baik) dalam agama (syariat), karena semua bid’ah adalah dholalah (sesat) dan ujungnya adalah neraka.
Sebaliknya, kelompok lain menganggap segala sesuatu, bahkan yang terkait urusan duniawi, sebagai bid’ah. Mereka jengkel dengan kesimpulan kelompok pertama. Sehingga, mereka mengatakan bahwa mikrofon yang digunakan untuk adzan, jam dinding sebagai patokan waktu sholat, atau pesawat untuk berangkat haji juga merupakan bid’ah. Bahkan, telepon, internet, radio, dan televisi dianggap sebagai bid’ah yang tidak boleh digunakan sekalipun untuk sarana dakwah (syi’ar Islam).
Pertanyaan kritis yang muncul adalah, di mana batasannya? Mana yang masuk urusan duniawi dan mana yang termasuk syariat?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai contoh, bagaimana Sayyidina Umar berijtihad untuk sholat Tarawih sebanyak 23 rakaat secara berjamaah, sementara Nabi Muhammad SAW hanya melaksanakannya dua kali secara berjamaah. Itu pun, Nabi tidak berniat untuk berjamaah, hanya diikuti oleh para sahabat. Nabi tidak melarang (taqrir), dan inisiatif sahabat muncul karena mereka ingin mengikuti semua hal yang Nabi kerjakan. Namun, penghentian tarawih berjamaah ini karena alasan takut diwajibkan, yang perlu ditinjau kembali keabsahan riwayatnya. Sebab, jika benar rasa takut itu adalah alasan utama, tentu Nabi Muhammad SAW tidak akan melaksanakan sholat malam secara terus menerus, karena bisa saja diwajibkan juga kepada umatnya.
Belum lagi jika membicarakan jumlah rakaat, karena Nabi SAW tidak pernah melaksanakan lebih dari 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan.
Apakah sholat bukan syariat? Lalu, mengapa Sayyidina Umar berani menambah jumlah rakaat? Apakah mungkin beliau tidak memahami konsep bid’ah?
Lalu, ada yang membela dengan hujjah, “Itu kan sunnah?” Jika benar demikian, maka pelaksanaan peringatan Maulid yang dianggap bid’ah juga bisa dikategorikan sebagai sunnah, karena membaca sholawat dalam berbagai bentuk, seperti membacakan sirah Nabi dalam bentuk syair-syair, juga merupakan sunnah. Ini merupakan bentuk kecintaan dan bahkan kewajiban bagi setiap mukmin terhadap Nabi Muhammad SAW.
Masih banyak contoh lain yang membuat rancu apakah suatu perbuatan termasuk ranah syariat atau hanya masalah duniawi. Atau mungkin ada irisan di antara keduanya? Memisahkan syariat dari urusan duniawi adalah hal yang sulit, karena Islam mengatur kehidupan umatnya 24 jam sehari, bahkan hingga urusan duniawi seperti hubungan suami istri, potong kuku, cukur rambut, atau masuk dan keluar kamar mandi.
Oleh karena itu, menolak adanya bid’ah hasanah sebagai bid’ah lughowi (secara bahasa) untuk sekadar membenarkan perbuatan Sayyidina Umar agar tidak disebut bid’ah adalah upaya hilah (mencari pembenaran) yang masih bisa diperdebatkan.
Penulis : Abu Mahdi Ibn Ibrahim
Editor : Redaksi Suara Utama