SUARA UTAMA – Jakarta, 13 September 2025 — Pemerintah berencana memperluas insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) ke sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka). Kebijakan ini masuk dalam paket stimulus ekonomi yang digulirkan pada semester II/2025.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa insentif tersebut sebelumnya hanya berlaku bagi industri padat karya. “Perluasan insentif pajak yang sebelumnya hanya diberikan kepada industri padat karya akan kita dorong juga untuk sektor lain, khususnya horeka,” kata Airlangga dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (12/9).
Sejauh ini, insentif PPh 21 DTP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025, berlaku untuk masa pajak Januari hingga Desember 2025. Fasilitas ini diberikan kepada:
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
- Pegawai tetap dengan penghasilan bruto bulanan maksimal Rp10 juta.
- Pegawai tidak tetap dengan rata-rata penghasilan harian hingga Rp500 ribu.
Pemerintah berharap kebijakan tersebut dapat meringankan beban pekerja horeka yang terdampak perlambatan ekonomi global, sekaligus menjaga daya beli masyarakat di tengah pemulihan ekonomi nasional.
Pandangan Ahli Pajak
Meski dinilai positif, sejumlah pakar mengingatkan adanya potensi dampak negatif. Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, Konsultan Pajak dan Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur, menilai perluasan insentif harus diiringi pengawasan ketat.
“Saya memahami maksud pemerintah ingin meringankan beban pekerja horeka, tetapi konsekuensi fiskalnya cukup besar. Pajak yang semestinya masuk ke kas negara kini ditanggung pemerintah, artinya ada potensi pelebaran defisit,” ujarnya saat diwawancarai Suara Utama, Sabtu (13/9).
Ia menambahkan, insentif berisiko menimbulkan ketergantungan. “Jika diberikan terlalu lama, pekerja dan perusahaan akan terbiasa dengan fasilitas tersebut. Begitu dihentikan, resistensinya bisa tinggi. Selain itu, sektor ini bisa jadi kurang termotivasi untuk meningkatkan daya saing,” jelasnya.
Yulianto menguraikan sedikitnya lima potensi masalah:
- Beban Fiskal Negara – pengurangan penerimaan pajak berpotensi memperlebar defisit.
- Ketergantungan pada Insentif – resistensi ketika fasilitas dihentikan.
- Risiko Tidak Tepat Sasaran – pekerja yang lebih mampu bisa tetap menikmati fasilitas.
- Moral Hazard dan Penyalahgunaan – manipulasi data penghasilan untuk memenuhi syarat.
- Efektivitas Terbatas – tidak otomatis meningkatkan omzet horeka bila daya beli masyarakat belum pulih.
Menurutnya, insentif ini hanya solusi jangka pendek. “Jika tidak dibarengi strategi lain, seperti penguatan sektor pariwisata dan stimulus konsumsi, maka dampaknya terhadap pemulihan industri horeka tidak akan maksimal,” pungkas Yulianto.
Penutup
Perluasan insentif PPh 21 DTP untuk sektor horeka menunjukkan upaya pemerintah menjaga daya beli pekerja sekaligus menopang industri jasa yang berperan penting dalam perekonomian. Namun, di sisi lain, kebijakan ini memunculkan tantangan baru dalam menjaga keseimbangan fiskal dan efektivitas stimulus.
Ke depan, pelaksanaan insentif diharapkan tidak hanya fokus pada jangka pendek, tetapi juga terintegrasi dengan kebijakan struktural yang lebih luas. Dengan demikian, insentif benar-benar menjadi penopang pemulihan ekonomi, tanpa menimbulkan ketergantungan yang justru menghambat daya saing sektor horeka.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














