SUARA UTAMA- Setiap tahun, jutaan umat Islam Indonesia menaruh harapan besar pada satu ibadah yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup: ibadah haji. Namun, di tengah semangat spiritual tersebut, terselip problem struktural dalam tatalaksana penyelenggaraan haji yang perlu dikaji ulang secara kritis.
Apakah negara benar-benar melayani umat, atau justru menjadikan haji sebagai lahan bisnis terselubung?
Sistem pendaftaran haji reguler di Indonesia bersifat terbuka sepanjang tahun. Siapa pun yang memenuhi syarat administratif dan membayar setoran awal minimal Rp25 juta, berhak mendapatkan nomor porsi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di balik sistem ini tersembunyi ironi besar: waktu tunggu keberangkatan yang ekstrem, dari 10 tahun hingga bahkan 47 tahun di beberapa wilayah. Untuk Provinsi Lampung saja, menurut data Kemenag tahun 2024, masa tunggu sudah mencapai 24 tahun. Tercatat ada 150.727 orang dalam antrean, sementara kuota tahunan hanya sekitar 7.253 jemaah. Artinya, seseorang yang mendaftar tahun ini harus menunggu hingga 2048 untuk berangkat ke Tanah Suci.
Pemerintah melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mengelola dana setoran awal para pendaftar. Total dana haji yang dikelola diperkirakan telah melampaui Rp150 triliun, menjadikannya salah satu sumber dana investasi syariah terbesar di Indonesia.
BPKH menyatakan bahwa imbal hasil dari pengelolaan dana digunakan untuk subsidi biaya haji tahunan (Bipih). Namun, transparansi dan keadilan dalam pemanfaatan hasil investasi ini patut dipertanyakan. Faktanya, calon jamaah tetap menanggung biaya pelunasan yang naik setiap tahun. Fasilitas di Tanah Suci pun kerap dikeluhkan tidak sebanding dengan biaya dan lamanya antrean.
Dari sudut pandang fikih, haji hanya wajib bagi yang benar-benar mampu secara finansial dan fisik. Tapi sistem pendaftaran saat ini mengaburkan batas antara “mampu” secara syariat dengan “mampu setor” secara administratif.
Banyak calon jemaah justru mendaftar dengan cara menjual aset atau berutang, hanya demi mendapatkan nomor porsi lebih awal.
Sebagian ulama menegaskan bahwa berhaji dengan dana pinjaman tidak memenuhi syarat istitha’ah. Maka timbul pertanyaan mendasar: apakah negara secara sadar mendorong masyarakat untuk mendaftar sebelum benar-benar siap, demi menghimpun dana umat untuk kepentingan investasi jangka panjang?
Jika ya, maka sistem ini bukan lagi sekadar administrasi ibadah, melainkan telah berubah menjadi instrumen bisnis terselubung.
Pemerintah memang berkewajiban melayani penyelenggaraan ibadah haji sebagai amanat konstitusi dan tanggung jawab keagamaan. Namun, ketika pelayanan ini menjelma menjadi skema eksploitasi dana umat yang dikemas dalam narasi pengabdian, kepercayaan publik akan tergerus.
Sudah saatnya sistem ini ditata ulang. Negara harus berani menetapkan verifikasi istitha’ah berbasis syariat, membatasi pendaftaran hanya bagi mereka yang benar-benar siap secara fisik, finansial, dan mental. Bahkan, sistem tertutup bisa menjadi opsi: pendaftaran dibuka hanya untuk calon jemaah yang siap berangkat pada tahun berjalan, tanpa harus menunggu puluhan tahun.
Selain itu, biarkan dana calon jemaah dikelola secara pribadi hingga tiba masa keberangkatan. Ini tidak hanya menghindari praktik pinjaman dan tekanan ekonomi, tapi juga menjaga akuntabilitas pengelolaan dana umat.
Haji bukan sekadar perjalanan spiritual. Ia adalah ibadah puncak, yang seharusnya dilayani dengan martabat, bukan dimonetisasi tanpa kendali. Dana umat bukan instrumen investasi negara. Ia adalah amanah suci yang harus dikembalikan dalam bentuk layanan yang transparan, adil, dan berkeadaban.
Penulis : Nafian Faiz, jurnalis tinggal di Lampung sedang menunggu Kouta berangkat ke tanah suci ibadah haji














