SUARA UTAMA – Jakarta, 23 September 2025 – Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak pernah lepas dari perjanjian. Mulai dari transaksi jual beli sederhana, kerja sama bisnis, hingga janji dalam keluarga, semuanya berakar pada prinsip perikatan. Agar perjanjian memiliki kekuatan hukum yang mengikat, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur secara tegas mengenai definisi serta syarat sahnya perjanjian.
Definisi Perjanjian Menurut Pasal 1313
KUHPerdata Pasal 1313 menyebutkan:
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Definisi ini menegaskan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang melahirkan hubungan hak dan kewajiban di antara para pihak. Meski demikian, para ahli menilai definisi tersebut masih sempit karena hanya menekankan pihak yang “mengikatkan diri”, tanpa menyinggung keseimbangan hak dan kewajiban timbal balik.
Syarat Sah Perjanjian Pasal 1320
Agar perjanjian sah menurut hukum, Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan empat syarat pokok:
- Kesepakatan para pihak tanpa adanya paksaan, penipuan, atau kekhilafan.
- Kecakapan hukum, yaitu para pihak harus dewasa, tidak berada di bawah pengampuan, dan tidak dilarang undang-undang.
- Suatu hal tertentu, di mana objek perjanjian jelas dan dapat ditentukan.
- Suatu sebab yang halal, artinya tujuan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum.
Jika syarat subjektif (kesepakatan dan kecakapan) tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan jika syarat objektif (hal tertentu dan sebab halal) dilanggar, perjanjian batal demi hukum alias dianggap tidak pernah ada sejak awal.
Ilustrasi Janji Orang Tua kepada Anak
Praktisi hukum, Eko Wahyu Pramono, memberikan contoh sederhana. Misalnya, seorang ayah berjanji akan membelikan sepeda kepada anaknya jika berhasil meraih peringkat satu di sekolah.
“Janji tersebut memang bisa disebut perjanjian dalam arti moral, tetapi secara hukum tidak termasuk perjanjian yang melahirkan wanprestasi. Mengapa? Karena hubungan orang tua dan anak tidak serta merta memenuhi syarat sah perjanjian dalam KUHPerdata. Itu lebih tepat dipandang sebagai perikatan natural atau kewajiban moral, bukan kontrak hukum yang bisa digugat di pengadilan,” jelas Eko.
Ia menambahkan, anak juga belum cakap hukum. Menurut ketentuan perdata, kecakapan hukum umumnya melekat pada orang dewasa atau yang sudah menikah. “Seorang anak secara hukum belum bisa dianggap subjek yang cakap membuat perjanjian. Karena itu, meskipun ada janji antara orang tua dan anak, secara yuridis perjanjian itu tidak sempurna,” ujarnya.
Pinjam Uang dengan Jaminan Sertifikat Tanah
Eko juga menyinggung praktik lain yang sering terjadi di masyarakat: pinjam uang dengan jaminan sertifikat tanah tanpa adanya perjanjian tertulis.
“Dalam hukum perdata, perjanjian tidak selalu harus tertulis. Selama ada kesepakatan antara pemberi pinjaman dan peminjam, serta terpenuhi syarat Pasal 1320, maka hubungan itu sudah bisa disebut perjanjian. Jika peminjam gagal bayar, hal itu termasuk wanprestasi, meskipun tidak ada kontrak tertulis,” terangnya.
Namun, ia mengingatkan, ketiadaan bukti tertulis kerap menimbulkan sengketa. Karena itu, masyarakat disarankan tetap membuat perjanjian hitam di atas putih, bahkan lebih baik dalam bentuk akta notaris agar memiliki kepastian hukum.
Relevansi di Era Modern
Pemahaman masyarakat mengenai Pasal 1313 dan 1320 KUHPerdata sangat penting, terutama di tengah maraknya transaksi digital dan kontrak elektronik. Dengan memahami syarat sah perjanjian, masyarakat dapat membedakan mana yang sekadar janji moral dan mana yang benar-benar kontrak hukum, sehingga terhindar dari sengketa yang merugikan di kemudian hari.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














