SUARA UTAMA – Pernahkah Anda merasa bingung ketika setiap pekerja atau teknisi yang baru selalu menyalahkan pekerjaan sebelumnya? Lalu, bagaimana jika pola ini juga terjadi dalam kepemimpinan?
Kejadian seperti ini, meskipun tampak sepele, sebenarnya mengandung pelajaran besar tentang pola pikir yang sering kita temui—baik di dunia teknis maupun dalam kepemimpinan.
Sebagai contoh, saat memperbaiki rumah atau sepeda motor, teknisi baru sering kali mengomentari hasil pekerjaan teknisi sebelumnya: “Siapa yang kerjakan ini? Ada yang salah, seharusnya begini dan begitu.” Panjang lebar memberi penilaian sebelum bekerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Anehnya, jika kita mengganti teknisi lain, komentarnya hampir selalu serupa—dengan sudut pandang berbeda tentu, tetapi tetap menyalahkan orang lain.
Lucu memang. Namun, jika direnungkan lebih dalam, pola ini mencerminkan ego profesional yang lebih mementingkan siapa yang benar daripada bagaimana mencari solusi bersama.
Fenomena serupa juga sering terjadi dalam dunia kepemimpinan, baik di organisasi, perusahaan, maupun pemerintahan.
Pemimpin baru sering terjebak dalam narasi yang menyalahkan pendahulunya, mulai dari manajemen buruk hingga kebijakan yang dianggap tidak efektif.
Namun, apakah menyalahkan pendahulu membuat segalanya lebih baik?
Seorang pemimpin yang hebat tidak melangkah dengan semangat menyalahkan, melainkan dengan tekad memperbaiki. Ia memahami bahwa pekerjaan pendahulunya adalah pondasi, meskipun tidak sempurna.
Mengkritik pendahulu hanya untuk menonjolkan diri bukanlah kepemimpinan sejati, justru menunjukan kekurangnya dan menciptakan pembenci-pembenci baru.
Pemimpin bijaksana tahu bahwa setiap keputusan pendahulunya memiliki konteks. Mengkritik hanya memperburuk keadaan, sementara berfokus pada perbaikan membawa hasil nyata.
Daripada mencari kesalahan, pemimpin baik akan mencari solusi dan merancang langkah konkret menuju masa depan yang lebih baik.
Seni memimpin adalah seni merangkul: merangkul kesalahan untuk diperbaiki, keberhasilan untuk dilanjutkan, dan perbedaan untuk menciptakan harmoni.
Dengan semangat itu, pemimpin meninggalkan warisan tidak hanya berupa hasil kerja, tetapi juga teladan kebijaksanaan.
Sebagai pemimpin—di organisasi, keluarga, atau komunitas—mari kita belajar untuk fokus pada solusi daripada kesalahan. Tanyakanlah, “Apa yang bisa saya perbaiki?” alih-alih, “Siapa yang salah?”
Pada akhirnya, yang akan dikenang bukanlah siapa yang menyalahkan atau merasa paling benar, tetapi siapa yang memperbaiki dan meninggalkan warisan berharga bagi generasi selanjutnya.
Penulis : Nafian faiz