SUARA UTAMA – Kemarin Ramadhan berlalu. Bulan Syawal telah datang. Gema takbir, tahmid dan tahlil berkumandang tanda insan-insan Muttaqin sedang mengucap syukur atas anugerah agung ini. Mereka mengucapkan takbir, pertanda syukur dalam rangka mengamalkan perintah Allah SWT.
“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang diberikan padamu, supaya kamu bersyukur” (QS Al-Baqarah: 185).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika Ramadhan ibarat sebagai sebuah universitas, maka pada hari ini seperti mahasiswa yang sedang merayakan kelulusannya. Seperti mahasiswa yang baru saja selesai dari ujian mata kuliah. Hari ini di wisuda menjadi sarjana. Sarjana Ramadhan.
Hari ini kita merayakan kemenangan, tapi tidak semua kita menang. Tidak semua kita lulus dengan hasil memuaskan. Sungguh, tak semua kita pada berhak di wisuda. Masih ada yang belum menggenapkan puasanya dengan alasan yang tak dibenarkan. Masih ada yang berpuasa hanya menahan lapar dan dahaga semata. Mereka yang di khawatirkan Rasulullah saw dalam sabdanya, Artinya: Betapa banyak mereka yang berpuasa dan tidak mendapat apa apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”.
BACA JUGA : Ramadhan ke Idul Fitri, perjalanan pulang ke kampung batin
Sejatinya, ketika Ramadhan berlalu, ia meninggalkan bekas. Inilah ciri di terimanya ibadah. Seorang ulama berkata, jika telah melakukan ibadah, tapi masih berbuat maksiat, maka harus mengevaluasi diri. Jangan jangan ibadah kita hanya sebatas formalitas di mata manusia dan sia sia di hadapan
Allah.
Sejatinya, ibadah membawa perubahan pada tingkah laku kita, sikap kita, moral kita. Islam pertama di sebarkan dengan moral, bukan dengan jabatan atau harta. Dengan berjuluk al-Amin alias terpercaya, Rasulullah saw berdakwah. Sebab semua perilaku bermuara pada moral, maka rangkaian ibadah semestinya melahirkan moralitas yang baik. Ahmad syauqi, seorang penyair Mesir mengatakan, Suatu bangsa tetap diakui ketika ia memiliki akhlak. Ketika akhlak bangsa hilang, lenyap juga bangsa itu.
Di sinilah firman Allah tentang shalat menjadi sebuah kaidah yang kita
pegang bersama. Allah berfirman:
Artinya: ” Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar,” (Q5 al-Ankabut: 45).
Kalau di antara kita telah biasa melaksanan shalat, tapi perbuatan keji dan munkar tetap di lakukan, maka harus buru buru mengevaluasi shalat kita. Jangan-jangan kita baru sebatas melaksanakan” shalat dan belum “mendirikan” shalat. Mereka yang melaksanakan” shalat adalah orang-orang yang hanya Sebatas menggugurkan kewajiban secara
formalitas.
BACA JUGA : Satukan Langkah Ingat Kebesaran Allah
Di antara nilai moral yang bisa di lahirkan dari Ramadhan adalah:
Pertama, Keikhlasan.
Sikap inilah yang mulai hilang dari umat Islam negeri padahal ikhlas adalah tapak sekaligus tenaga suatu ibadah. Ibadah hanya akan diterima Allah jika dilandasi keikhlasan. Ikhlas juga menjadi tenaga penguat untuk melakukan kebaikan. Suatu amal yang tak dilandasi keikhlasan biasanya tak bisa bertahan lama. la akan segera kehilangan tenaga seiring habisnya faktor pendorong amal tersebut. Karenanya, amat berbeda capaian suatu amal yang dimotori oleh sikap ikhlas dengan amal yang dilandasi riya’ (ingin dilihat orang lain) dan yang dilandasi dengan pondasi keikhlasan akan jauh berkualitas dan bermutu. Sebaliknya, pekerjaan yang dilakukan karena “ingin dilihat orang, Asal Bapak Senang atau karena ingin dipuji, hasilnya banyak yang tidak memuaskan.
Ramadhan mendidik kita menjadi orang yang ikhlas. Sebab, ikhlas inilah yang menyebabkan kita mendapatkan ampunan Allah SWT. Rasulullah
bersabda:
“Barangsiapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka akan di ampunkan dosanya yang terdahulu, (HR Bukhari Muslim).
Keikhlasan dapat memberikan kekuatan rohani. Jiwa orang yang ikhlas tak bisa di kalahkan dengan kekuatan apapun. la mempunyai benteng pertahanan kokoh dan tak terkalahkan. Apa yang dialami para sahabat saat berperang melawan musuh cukup menjadi bukti. Walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit di banding lawan, namun kekuatan rohani yang di bentuk oleh keikhlasan, membuat mampu menaklukkan musuh yang berlipat ganda.
Dengan kekuatan tersebut, orang yang berbuat ikhlas mampu melakukan ibadah secara berkesinambungan.
Orang beramal untuk mencukupi kebutuhan makannya, akan menghentikannya jika tidak mendapatkan apa yang mengenyangkan perutnya.
Yang beramal karena mengharap ketenaran atau kedudukan, akan malas jika mengetahui harapannya kandas.
Yang cari muka di hadapan pemimpin, akan berhenti jika atasannya di pecat atau meninggal. Sedangkan yang beramal karena Allah, tidak akan memutuskan amalnya sampai kapanpun. Sebab yang mendorongnya untuk beramal tak akan pernah punah
selamanya.
Kedua, disiplin.
Sikap disiplin bisa kita petik langsung dari ibadah meski makanan masih banyak terhidang, perut masih bisa merasakan makanan, tapi kalau adzan Subuh sudah berkumandang, tak satu pun makanan yang berani kita makan. Kita belajar disiplin. Tidak berani melanggar. begitu juga dengan saat berbuka. Meski perut melilit lapar kerongkongan kering kehausan, walau waktunya tinggal dua menit makanan sudah tersaji, kita takkan memasukkan sedikit pun makanan itu sampai adzan Magrib terdengar. Kita belajar disiplin. Kita bersekolah bagaimana menjadi orang yang taat aturan. Moral seperti ini seharusnya terus mengalir dalam keseharian kita dari berbagai lembaran kehidupan. Sangat di sayangkan, akhlak mulia yang menjadi bagian penting dari ajaran Islam ini mulai pudar dalam kehidupan masyarakat.
Kita sudah terlalu biasa melanggar peraturan lalu lintas. Bahkan, ketika melanggar, kita bukannya sadar lalu berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Kita justru merasa bangga telah melanggar peraturan lalu lintas tanpa di ketahui aparat. Meski telah di sediakan kotak sampah, kita masih kerap membuang sampah sembarangan.
Ketiga, kepedulian sosial.
Kalau ibadah qurban menjadi sarana orang orang miskin menikmati kekayaan orang mampu, maka ibadah shaum, menjadi wahana orang orang kaya merasakan penderitaan. Benar
benar merasakan, bukan sebatas teori.
Puasa mendidik kita menjadi orang yang peka terhadap kepedulian sosial. Karenanya, sebagaimana di riwayatkan Abdullah bin Abbas, Rasulullah saw adalah orang yang paling dermawan. Tapi di bulan Ramadhan, kedermawanannya lebih meningkat lagi. Untuk itu juga, menjelang ldul Fitri kita di wajibkan membayar zakat fitrah. Tujuannya, agar jangan ada di antara kaum Muslimin yang merasa sedih saat hari kemenangan itu tiba. Kita di anjurkan untuk berbagi. Untuk itu, ketika menjelaskan ciri ciri orang bertakwa dalam surah al Baqarah, Allah menyebutkan bahwa di antara tanda orang muttaqin adalah gemar berinfaq. Allah berfirman: “Alif lam mim, Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang di anugerahkan kepada mereka,” (QS al-Baqarah: 1-3).
Dalam surah Ali Imran, ketika menjelaskan ciri orang bertakwa, Allah Juga menyebutkan hal serupa. Allah berfirman:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang di sediakan untuk orang orang yang bertaqwa (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali Imran: 133-134).
Begitu erat hubungan antara puasa dan mengasah kepedulian ini sehingga mereka yang tak mampu sama sekali berpuasa, di haruskan menggantinya dengan membayar fidyah kepada fakir miskin. Allah menyatakan:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin” (QS Al Baqarah: 184).
Mengasah kepedulian sosial begitu penting dalam kaitannya dengan ibadah puasa. Bahkan mereka yang melanggar batasan puasa, misalnya, sepasang suami istri yang bercampur di siang hari, diharuskan membayar kafarah, dimana salah satu pilihannya adalah memberi makan 60 fakir miskin. Ketika kondisi umat sedang terpuruk, kepedulian sosial justru lebih di butuhkan. Dengan berpuasa, kaum Muslimin di harapkan mampu mengasah kepeduliannya terhadap sesama.
Keempat, kejujuran.
Kita belajar kejujuran dengan melaksanakan ibadah puasa. Berada di manapun, kita tetap memelihara puasa. Baik saat berada di depan keramaian, di tempat sepi, di masjid, di kantor dan tempat lainnya, kita tetap jujur bahwa kita sedang berpuasa, Bahkan, saat berada sendirian di dalam kamar, tak’ ada yang melihat, kita tetap memelihara puasa. Kendati dalam keadaan haus, meski di atas meja tersedia minuman segar, kita tak meminumnya. Kita jujur di mana pun berada.
Puasa mengandung sifat rahasia, bahkan rahasia antara hamba dengan Allah. Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan Bukhari Allah berfirman:
“Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya” (HR Bukhari Muslim). Moralitas ini seharusnya membekas dalam pribadi kita. Jujur di mana pun, dalam kondisi apa pun.
Begitu pentingnya kita memelihara sikap jujur lantaran ia adalah induk kebaikan. Kejujuran akan membawa kebaikan- kebaikan yang lain. Sebaliknya, berbohong merupakan cikal bakal kejahatan. Rasulullah saw bersabda:
“sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan. Dan kebaikan menunjukkan kepada surga. Seorang laki-laki benar-benar telah jujur hingga ia dicatat di Sisi Allah sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya kebohongan itu menunjukkan kepada kezaliman. Kezaliman menunjukkan kepada neraka. Seorang laki-laki telah berbuat dusta hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta,” (HR Bukhari Muslim).
Ironisnya, kini kejujuran seperti barang langka yang kian sulit ditemukan. Kita sudah sangat terbiasa dengan kebohongan. Dari hal yang paling kecil hingga kebohongan besar. Kita sadari atau tidak, saat menyuruh anak kecil kita masuk rumah karena hari sudah sore dan Maghrib segera menjelang, kita sering berkata, Nak, buruan masuk, di luar ada anjing” Padahal, tak ada anjing. Kita tak hanya mendidik anak agar takut dengan anjing, tapi juga telah melatihnya berbohong. Keseharian kita pun berselimut kebohongan. Ketika menebus obat di apotik, kita kerap tidak jujur. Pembayaran yang mestinya Rp 100 ribu, kita klaim ke kantor dengan Rp 200 ribu. Kecil, memang. Tapi ini tetap saja merupakan kebohongan Kita kerap terlambat masuk kantor dengan alasan macet. Padahal, tidak. Kita bolos tidak kuliah dengan alasan sakit. Padahal, kita sehat. Ini kebohongan!
Dalam masalah kecil kita sudah terbiasa berbohong, maka kita juga akan terbiasa melakukan kebohongan yang lebih besar. Kita jadi terbiasa ambil uang untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan rakyat, kita jadi terbiasa memberikan laporan fiktif, mark up dana dan tindak korupsi lainnya.
Semakin hari budaya kejujuran dalam masyarakat kita kian terkikis oleh gelombang informasi yang sering mendorong manusia berbohong dan memanipulasi diri. Kalau saja sifat jujur ini di miliki para penguasa, niscaya kepercayaan rakyat akan menguat. Kita sering sungkan berbuat jujur kala di benturkan untuk mengakui sebuah kesalahan. Kita kerap takut berterus terang saat di minta menyampaikan aspirasi pada penguasa zalim. Bahkan, tak jarang kejujuran kita tergadai oleh sebuah tuntutan pribadi yang mesti di tebus. Kalau saja kondisi ini tidak segera di atasi, jangan harap sebuah tatanan masyarakat akan terbentuk dengan baik.
Keadaan yang selalu dalam pengawasan Allah seperti yang di peragakan oleh orang yang berpuasa sejati itu menjadi modal penting bagi kita untuk bersikap jujur dalam segala hal.
Di tengah-tengah merebaknya kepalsuan dan kebohongan pada masyarakat dan pemimpin kita. Selama ini posisi selalu dalam pengawasan Tuhan hanya kita sadari saat berada di masjid atau di majelis pengajian.
Pada tempat tempat sakral itu, biasanya kita selalu berpenampilan terpuji (baik fisik maupun perilaku), karena kita sadar bahwa saat itu kita sedang di awasi Tuhan. Maka kita selalu mendapati kebaikan dari orang-orang yang baik-baik pula. Namun biasanya kesadaran dalam pengawasan Tuhan itu hilang saat kita berada pada tempat tempat yang memungkinkan kita berbuat buruk. Ketika di pasar, misalnya, kita sudah lupa bahwa Allah sedang mengawasi, sehingga dengan berani kita mengurangi timbangan atau takaran.
Betapa sejahtera masyarakat ini, Jika kejujuran menjadi naungannya. Sebab dalam payung sistem yang jujur itu, tentu takkan ada korupsi. Para pejabat dalam jajaran birokrasinya (baik pemerintah maupun swasta) takkan berani memanipulasi angka dalam anggaran untuk mengeruk uang haram. Karena, meskipun mereka memiliki siasat canggih untuk berkelit sehingga kejahatannya tidak akan terdeteksi. Ada tidaknya orang lain, tidak akan mempengaruhi kejujurannya dalam mengelola amanah uang perusahaan, uang rakyat, atau uang negara. Mereka sadar betul bahwa Allah hadir dan mengawasi perbuatannya. Betapa damainya masyarakat kita jika bersendikan kejujuran. Sebab dengan sendi itu tidak akan ada segala jenis perselingkuhan dan perzinaan. Para suami (atau istri) tidak akan berani berselingkuh, karena mereka sangat sadar Allah SWT akan melihatnya.
Betapa malunya berbuat nista di hadapan Tuhan! Para remaja tidak akan berani melakukan seks pra nikah, karena meskipun orang tua, guru, atau temannya tidak mengetahuinya, tetapi Allah maha tau. Semoga puasa yang kita jalankan ini benar benar mantap membangun kesadaran akan kehadiran Allah SWT.
Dengan merasakan pengawasan dari Allah, insya Allah kita akan terjaga dari perbuatan perbuatan tercela dan sebaliknya termotivasi untuk selalu berbuat kebaikan. Kita akan bekerja dengan sungguh sungguh, karena kita sadar sedang di lihat Tuhan. Betapa senangnya saat diawasi oleh Allah SWT, Tuhan pemilik jagad raya ini, sementara di lihat presiden saja hati kita sudah berbunga bunga.
Kelima, sabar.
Ketika di sebutkan kata sabar, sering kali yang terlintas benak kita adalah keteguhan menghadapi penderitaan. Padahal, medan sabar terletak pada tiga tempat. Sabar terhadap ketaatan kepada Allah, sabar dari larangan, dan sabar terhadap musibah yang di takdirkan Allah. Ketiga dimensi kesabaran tersebut pernah di wasiatkan oleh Luqman kepada anaknya, sebagaimana di firmankan Allah:
“Hai anakku, dirikan shalat, dan suruh (manusia) mengerjakan yang baik, serta cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu” (QS Luqman: 17).
Sabar terhadap perintah Allah dapat diwujudkan dalam tiga tahapan.
Sabar sebelum memulai pekerjaan, sabar saat melaksanakannya dan sabar ketika selesai mengerjakannya.
Sebelum melakukan sebuah pekerjaan, kita di tuntut untuk meluruskan niat dan melepaskan diri dari noda noda riya’. Tanpa membebaskan diri dari dua jeratan itu, mustahil ridha Allah bisa di capai. Allah berfirman, “Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal shalih, mereka itu mendapat ampunan dan pahala yang besar” (QS Hud:11).
Setelah melepaskan diri dari jerat riya, saat melakukan ketaatan hendaknya dilaksanakan dengan sempurna, sesuai dengan syariat yang di tentukan Allah SWT.
Kemudian, usai melakukan suatu pekerjaan, campakkan sifat ujub (bangga diri), sehingga apa yang telah di kerjakan tidak sia sia. Adapun sabar terhadap larangan, dapat di realisasikan dengan meningkatkan pengendalian jiwa. Karena jalan menuju neraka selalu di penuhi hamparan permadani berkilau, Untuk menjaga diri agar tidak terperosok ke dalam lembah kerugian, sesama Muslim harus saling menasihati. Sungguh, kita membutuhkan sifat sabar dalam segala kondisi.
BACA JUGA : Tak mesti mewah untuk kembali Fitri
Seorang Muslim tidak bisa melaksanakan ibadah dengan benar tanpa kesabaran penuh. Siapa pun tidak mungkin mampu hidup tenang kala mendapat cobaan musibah, tanpa kesabaran. Karena takdir yang di tentukan Allah terhadap hamba tak mungkin bisa di hindari.
Hanya dengan kesabaran itulah semuanya bisa di nikmati. Hanya dengan kesabaran dan ketakwaan, keberuntungan bisa di raih.
“Hai orang orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkan kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu ber-untung” (QS Ali Imran: 200). Lima pesan moral itu hanyalah sebagian dari hikmah shaum yang sejatinya tetap melekat pada diri kita saat Ramadhan berlalu. Jika lima pesan itu bisa kita pelihara, kita berharap negeri ini akan bangkit dari keterpurukan.
Semoga kita bisa tetap mempertahankan kemenangan yang telah kita raih di bulan Ramadhan.